Rabu, 08 Februari 2012

Rahasia dan Prasangka Buruk by Nicol Naraysha

Aku duduk termenung di teras rumah nenek yang luas dan berhiaskan patung-patung binatang. Ku lihat jalan masih sepi hanya ada dua atau tiga mobil yang lewat setiap menitnya.Sesekali ku tengok ke samping kiri, kanan, dan depan rumah. Namun keadaannya semua sama sepi sekali.Ya bagaimana tidak ini kan baru pukul setengah lima pagi . Siapa yang mau bangun sepagi ini pada hari Minggu sedingin ini. Oh iya kita belum berkenalan ya? Namaku Trinidad Puteri Alberqueqe-Jaya, biasa dipanggil Put. Aku adalah siswa kelas enam di sebuah sekolah internasional di Milan, Italia dan aku menetap di Italia bersama keluargaku. Namun setiap dua hari sebelum dan sesudah Idul Fitri aku dan keluargaku selalu mudik ke kampung halaman kami di Bogor. Ayahku asli Bogor sementara kakek dari ibuku berkebangsaan Portugis. Ayahku berprofesi sebagai diplomat jadi kami sering berpindah dari satu Negara ke Negara lain. Kebetulan sekarang aku sedang menikmati liburanku di rumah nenek di Bogor. Sekarang sudah hari ke-dua aku di sini berarti hari ini adalah hari terakhir puasa. Nanti malam sudah malam takbiran dan besok sudah Idul fitri. “Put pagi-pagi sudah asyik sendiri nih” kata Aya saudarku, “ah dasar kamu buat orang kaget tahu!”, “hahaha habis sahur kamu enggak tidur lagi?” “enggak mood buat tidur” “ya ampun tidur memang mesti ada mood ya?” “terserahlah mau bilang apa bikin rusuh saja”. Anak tadi adalah Aya saudara sepupu ku yang paling jahil. Sebenarnya bukan Aya saja yang jahil aku juga tidak kalah jahilnya dengan Aya. Dulu waktu kami masih sekitar usia lima tahun kami suka sekali main pukul-pukulan. Namun sejak aku kelas dua aku mulai berhenti main pukul-pukulan. Ini karena suatu peristiwa mengerikan yang terjadi sewaktu liburan musim panas saat aku naik ke kelas dua. Waktu itu aku baru pulang dari flat guruku untuk mengantarkan buku yang aku pinjam darinya. Kebetulan flat guruku hanya beberapa meter dari tempat tinggalku waktu itu jadi Ibu memperbolehkanku untuk pergi sendiri. Saat aku berjalan melewati sebuah jalan setapak aku melihat sebuah kantung warna-warni. Karena penahsaran aku mendekati kantung itu. Tiba-tiba aku mendengar teriakan dari sebuah jendela flat disebelah jalan setapak itu. Saat aku melihat ke atas aku melihat ke atas aku melihat seperti ada bayangan dua orang yang sedang berkelahi. Tiba-tiba aku melihat ada cipratan darah yang keluar dari jendela flat itu. Karena takut aku pun langsung lari secepat tenaga menuju rumah. Aku tidak pernah menceritakan kejadian itu.Sejak saat itu aku tidak mau lagi berkelahi dan selama seminggu setelah kejadian itu aku sakit panas dan tidak mau masuk sekolah. Awalnya dengan aku takut berkelahi ini aku pikir orangtuaku akan senang. Namun kenyataannya mereka justru menajdi khawatir dan punya firasat bahwa aku menyembunyikan suatu rahasia. Sudah ah aku tidak mau memikirkan hal yang tidak menyenangkan seperti ini. “Aduh-aduh pagi buta begini kamu sudah melmun ya!” seru ibuku dari belakang “ah hahaha hanya menikmati suasana saja” “yayaya melamun memang menjadi kebiasanmu bebrapa tahun belakangan ini, tidak baik sebenarnya” lanjut ibu “iya bu tapi ibu kan tahu sendiri sikap buruk itu sangat sulit untuk dihilangkan” “iya tapi kalau berusaha pasti segala hal akan bisa kita capai dan rubah” “iaya bu aku mengerti” “ya sudah sekarang kamu mau ikut ibu tidak ke pasar tradisional, ibu sudah kangen dengan suasana pasar tradisional ” “ malas ah bu kan di Eropa banyak pasar tradisional, kemarin saja waktu aku field trip ke Oia, pasar ikan ada di tiap sudut” kataku melawan. “Ya sudah kalau begitu ibu pergi dulu ya!” pamit ibu “ iaya bu hati-hati di jalan ya!” jawabku. Breeet breeet tiba-tiba saja suara e-mail masuk ke notebook Apple ku berbunyi keras. Aku pun langsung membuka e-mail terbaruku itu. Rupanya ada dua e-mail yang masuk. Yang pertama dari dari Coco teman sekolahku di Milan. Dia menanyakan dalam bahasa mandarin (aku fasih berbahasa Latin, Inggris, dan mandarin) bagaimana liburanku dan film-film yang aku tonton di Portble player sewaktu di pesawat (tentu saja aku ke Indonesia menggunakan pesawat kalau menggunakan kapal perjalanannya memakan waktu berbulan-bulan). Dan yang kedua dari Ana temanku di Milan yang juga orang Indonesia. Dia mengucapkan selamat hari Idul fitri dan bercerita tentang persiapan perayaan Idul fitri di Jakarta (Ana juga mudik ke kampung halamannya di Jakarta), dia juga menanyakan bagaimana kabarku. Setelah semua e-mail terkirim aku membuka situs itunes untuk melihat apakah ada lagu Jonas Brothers terbaru yang bisa aku download. Namun sayang sekali nasib sedang tidak mujur. Tidak ada lagu Jonas Brothers maupun lagu dari penyanyi lain yang cukup enak untuk didengar. Sehingga aku tidak jadi download lagu apa-apa. Lalu suara notebook berbunyi lagi. Rupanya Ana telah menjawab e-mail yang tadi aku kirim. Rupanya selain menjawab terimakasih atas ucapan selamat Idul Fitri dia juga menanyakan apakah aku mau berbicara empat mata dengan dia. Lalu aku langsung menjawab dan menerima ajakan untuk berbicara empar mata dengan dia. Setelah e-mail balasanku terkirim Ana langsung menjawabnya. Dia meminta aku memberi tahunya saat sampai di Milan sehingga dia bisa menelpon aku (kartu telepon Italia yang aku pakai tidak bisa befungsi di sini). Setelah mendengar kalau Ana ingin berbicara empat mata denganku aku merasa aneh dan curiga. Ada apa gerangan sampai bicaranya harus empat mata?. Tiba-tiba aku jadi teringat peristiwa ketika aku kecil itu. Semenjak peristiwa rahasia itu orangtuaku menjadi berubah dan tidak mudah mempercayai apa yang aku katakan. Saat aku pertama kali melihat Ana aku tiba-tiba teringat peristiwa itu pula (aku pertama bertemu Ana saat naik ke kelas empat). Yang membuat aku bingung kenapa Ana tidak berbicara saja dengan teman dekatnya yang lain?. Toh selain dekat dengan aku dia juga dekat dengan Coco, Maria, Ara, dan Lana. Malah dia sudah pernah kepergok telpon-telponan emapt mata dengan Lana saat aku main di flat Lana. Toktoktok, ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku. “Put mau tidak membantu ibu memotong kue untu besok?” Tanya ibuku “iya mau” jawabku. Lalu aku mengikuti ibu ke meja dapur. Di sana sudah ada beberapa makanan yang disiapkan untuk besok Lebaran. “Yang mana bu kuenya?” tanyaku pada ibu karena di meja ada beberapa kue dengan hiasan dan rasa yang berbeda. “Yang mana saja terserah kamu, kalau bisa pilih yang menurutmu paling mudah untuk dipotong supaya potongannya lebih rapih” perintah ibu. Kuenya nampak unik dan sayang untuk dipotong-potong. Namun tingkat kesulitan untuk dipotongnnya kecil karena semua kuenya memiliki tekstur yang sama. Lalu aku memilih satu porsi kue lapis dengan pola zig-zag yang cukup unik dan memotongnya dengan hati-hati. “Waow tumben rajin” kata Aya mengagetkanku. “Duh loe kenapa sih kayaknya sering banget ngagetin gue cape tahu!” kataku “trus kenapa? Kan seru main kaget-kagetan” “aduh dasar kampungan kalau gue jantungan gimana?” “terserah salah loe! Huahehuhahuehahah” tandas Aya menggila. “Aduh capek gue ngomong sama orang aneh, eh daripada loe berdiri di depan sana terpaku kayak patung gitu mendingan loe bantu gue” “iya bu iyaaaaaa” jawab Aya sambil duduk dan mengambil seporsi kue lapis. “Eh loe pernah diajak curhat?” Tanya Aya sambil memotong kue lapisnya. “Aduh bu apa ada bahasa Inggrisnya curhat?, yang gue tahu bahasa Inggrisnya bicara empat mata” jawabku ketus. “Aduh bu maaf gue lupa loe hamper enggak pernah tinggal di negri sendiri, tapi loe pernah diajak bicara empat mata?” “hmhmmm kayaknya enggak tuh tapi kemarin ada teman yang mau ngajak bicara empat mata” jawabku. “Jiah sejak kapan Trinidad Puteri Alberqueqe-Jaya diajak bicara empat mata!, diajak ngegosip saja belum tentu ada yang mau!” sindir Aya dengan nada yang sangat nyolot.“Waduh nyolot ya loe!!!!!!,loe pikir gue ini Ayaka Armanda Angraini apa!!!!!” jawabku dengan nada yang lebih nyolot lagi. Setelah semua kuenya selesai dipotong wajah Aya tiba-tiba berubah menjadi serius. Padahal sangat jarang aku melihat wajahnya yang cukup “baik!,rendah hati!,dan tidak sombong!”(tentu saja kebalikannya!) itu bisa menjadi serius. “Put gue boleh tahu lebih dalam enggak tentang teman loe yang ngajak ngomong empat mata itu?” Tanya Aya.”Boleh memang kenapa?, tumben loe mau membantu orang tanpa pamrih” “aduh Put aku serius! Bukan apa-apa takutnya ada yang bahaya sama teman loe itu!”. Tumben-tumbenan sekali Aya mau bicara serius dengan cara yang cukup dewasa. “Iya ok, teman gue itu namanya Ana dia blasteran Itali dari nyokapnya, rambutnya strawberry blond, kulitnya sawo matang, matanya agak belo tapi enggak ada kelopak ma…” aku belum juga selesai ngomong si Aya main serobot “gue bukan minta loe buat deskripsiin fisiknya tapi sikap sama kebiasaannya Put!!!!!!” gertak Aya. Ok ok ok kali ini gue mesti serius. “Jadi dia itu anaknya ceria, suka banget bercanda, baik banget sampai-sampai enggak pernah marah, tapi kadang-kadang suka diam, terus kalau bad mood dia diam aja enggak ngomong sama sekali, hoho dia juga jomblo padahal tampangnya lumayan” jawabku mendeskripsikan Ana. “Well-well waduh, tapi dia sama sekali enggak pernah cerita tentang masalah dia?, maksud gue kenapa dia bisa diam aja enggak berkutik gitu?” “iya dia enggak pernah bilang sama gue” “wah-wah mmm kayaknya…eh enggak nanti aja kita omongin lagi gue ngantuk mau tidur dulu ya!” kata Aya menutup pembicaraanku sore ini. Karena bingung mau nagapain aku pun hanya bisa melamun tentang Ana. Sayang sekali aku tidak tahu dia menginap dimana, kalau dia menginap di rumah saudaranya aku bisa menelponnya. Tapi ah masak Cuma gara-gara diminta bicara empat mata aja gue jadi gelisah gini. Itu toh juga masalha dia walupun aku sahabta dia gimana pun itu masalah dia bukan gue. Tapi kenapa lagi kok gue yang malah sewot. Haduh pantes aja ortu gue bisa enggak percaya, begini toh sifat asli gue yang jarang gue sadarin dari dulu. O iya! Kenapa aku enggak mencoba mengiriminya e-mail?. Aku pun langsung meloncat dan menuju notebook apple dan memasangkannya modem internet. Setellah menyala aku langsung menulis e-mail untuk Ana. Ana apa kabar? Sorry kalau boleh tahu loe nginep di rumah saudara atau hotel?. Kalau di rumah saudara, boleh enggak gue telpon loe?. Mungkin ini terdengar agak tidak sopan tapi kan masalah pasti akan lebih cepat selesai jika lebih cepat ditangani. Dan untungnya Ana langsung menjawab e-mail yang aku kirim. Gue baik kok Put. Wah sorry Put gue nginep di hotel dan kartu telpon gue juga enggak dapat signal di sini. Btw kenapa loe mau telpon gue? Tumben banget biasanya loe paling malas nelpon atau texting? Waduh gimana sich? Bukannya gue punya janji sama dia? Kok malah dia yang nanya kenapa gue nelpon dia. Harusnya kan dia udah tahu dan langsung nanya “Loe mau Tanya soal bicara empat mata itu ya Put?”. Ya udah deh daripada buang-buang waktu mending langsung gue bales aja kali. Hahahaha iya yak ok gue enggak nyadar kalu gue paling malas nelpon atau texting. Hhhmmm bukannya kenapa tapi waktu itu loe pernah ngajak gue bicara empat mata kan? Nah sekarang gue mau nana soal itu. Sorry kalau loe agak kesal gue nanya enggak langsung to the point. Jiiiaaah dibales enggak ya? aku takut ini justru membuat dia sedih dan inget dengan sesuatu. Dan ternyata notebook apple kepuyaan ku itu berbunyi. E-mail balasan dari Ana pun telah tiba. Hhhhm ok-ok. Gue udah kenal loe lama. Dan gue juga udah liat perkembangan sifat dan hati loe dari kecil sampai sekarang. Gue yakin 100% kalau loe sendirian sekarang. Ok daripada nunggu lama,mending gue ngomong sekaranga aja. Sebenarnya gue Cuma mau nanyain pertanyaan yang cukup simple. Apa ada masalah atau rahasia besar yang loe rahasian selama ini dari semua orang yang masih hidup dan saying sama loe?. Please banget jawab yang jujur karena dari dulu gue udah menyembunyikan rahasia yang dalam dan well… jawab aja pernah atau enggak. Loe enggak perlu ngejelasin rahsia apa itu. Ohh ok-ok. Mmmmm perlu waktu lama bagi aku untuk menjawab pertanyaan ini. Walauupun dia enggak menanyakan apa itu, aku tetap takut untuk menjawab iya. Humph kasihan juga kalu dia harus menunggu. Akhirnya aku menguatkan diriku untuk menjawabnya dengan jujur. Iya pernah dan gue harap kejadian ini hanya sekali seumur hidup gue. Hmmm gue rasa satu kalimat tadi sudah cukup malah kepanjangan mungkin. Hmmm ok trims y ague Cuma mau Tanya itu kok. Eh gue mau pergi, gue off dlu ya! Dagh!. Setelah selesai berkirim surat elektronik (e-mail maksud gue) tiba-tiba Aya sudah berteriak-teriak memanggil namaku. “Puuuuuuuuuut” panggilnya sambil menggedor-gedor pintu. “Iya kenapa loe teriak-teriak” kataku sambil membukakannya pintu. “Gue mau bicara soal ajakan temen loe itu” kata Aya dengan mimik yang cukup serius. “Ou itu boleh baget, soalnya gue mulai agak curiga” jawabku menyambut ajakannya. “Gini bukannya kenapa, tapi gue punya firasat kalau dia itu pernah terlibat keadaan kriminal” jawab Aya. “Ou gue juga mikir kesana tapi enggak mungkin kalau gue nuduh teman gue kayak gitu” jawab gue. “Hmmm ya sudahlah itu kan Cuma perkiraan” kata Aya berusaha menenangkanku. “Ya pokoknya to the point dia itu punya hidup yang agak keras”. Tidak terasa hari raya Idul Fitri telah usai. Dan kini saatnya kami pulang kembali ke Milan. Di bandara aku sempat mengirim e-mail untuk teman-temanku, suapaya mereka tahu kalau besok aku sudah sampai di Milan. Setelah 30 menit perjalanan berlangsung (perjalanannya bisa memekan waktu berbelas-belas jam) aku mencari film yang bagus untuk ditonton di media player yang ada di depan kursiku. Semua film yang ada sudah aku tonton. Kecuali satu film yang berjudul “The Hannibal Rising”. Film ini bercerita tentang seorang psikopat. Saat menonton film ini entah mengapa aku jadi teringat dengan Ana. Apa Ana seorang psilopat? Namun tidak mungkin. Lagi pula akhir-akhir ini pikiranku sedang agak kacau. Jadi bukan hal yang ajaib jika aku memikirkan hal-hal impossible seperti tadi. Setelah sekitar 15 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Milan. Saat kami sampai di rumah aku segera membereskan barang-barang yang aku bawa sehingga aku bisa cepat-cepat mengecek e-mail balasan dari teman-temanku. Semua temanku sudah membalas dan mengucapkan selamat dating kembali. Namun aku merasa cemas karena Ana belum membalas. Padahal dia sudah sampia di Milan beberapa jam sebelum aku sampai. Karena aku sudah kangen aku memutuskan untuk menelponnya. “Ini kediaman Sirtis, mau bicara dengan siapa?” Tanya suara Ibu Ana. “Saya Puteri temannya Ana, apa saya bisa bicara dengan…” gubrak!. Sebelum aku selesai bicara telpon sudah terputus dengan suara gubrak yang kencang. Breeeet, tiba-tiba suara notebook kepunyaanku berbunyi. Ternyata itu adalah e-mail dari Ana yang berbunyi cukup aneh. Sebenarnya kamu sudah menemuiku saat itu. Kau berjalan dan melihat cipratan darahku terbang dari jendela flatku. Lalu kau lari. Sebenarnya itu diriku yang engkau lihat sedang tersiksa. Aku yakin kau masih ingat peristiwa itu. Musim panas ketika kau naik ke kelas dua. Selamat jalan semoga kau buka aibku ini yang selama ini kau sebunyikan di gudang bawah laut. Temanmu Ana. Setelah aku masuk sekolah aku tidak pernha bertemu Ana. Teman-temanku yang lain juga tidak pernah menyinggung tentang dia. Karena takut aku juga tidak mau tahu apa yang terjadi padanya. Hingga suatu hari aku melihat berita yang cukup mencengangkan. Milan 21 Oktober 2009 Tidak sulit untuk mencari anak penderita kelainan mental. Salah satunya adalah Ana Sirits yang menderita kelainan mental berat sehingga sering berbuat anarkis seperti: memukul hingga mencoba mencelakai orang dengan benda tajam. Ana masuk ke sebuah rumah sakit jiwa di Milan sejak dua bulan lalu. Dan itulah kahir pencarianku. Aku menemukan sahabat baikku telah menjadi orang sakit jiwa. Aku berniat menjenguknya. Namun tentu saja bukan sekarang, mungkin beberapa tahun lagi. Bhakan aku berharap dia bisa sembuh, semoga Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar