Kamis, 09 Februari 2012

Sahabat Lama dan Pacar Baruku by Setiya Darmawan

Hai...gue Listya. Biasanya orang-orang cukup panggil gue “Listya”. Sejak 5 bulan lalu, gue menduduki kelas 2 SMU di sekolahan yang bisa dibilang cukup “Elit”. Nyokap gue bilang, gue ini anak perempuan satu-satunya yang paling bandel. Padahal di sekolah, gue nggak seperti yang dibilang nyokap. Kamar gue disamakan seperti kandang singa (Menurut gue biasa aja!). Jujur sih, perabotan di kamar gue nggak pernah ada yang rapi, semuanya gue sentuh dan alhasil, barang berserakan diseluruh sudut kamar gue ini. Apalagi skateboard kesayangan gue pernah hilang sebulan lalu. Dua hari berlalu, skateboard gue ketemu di kamar bokap-nyokap, tepatnya bawah ranjangnya. Seru juga sih liat bokap kepeleset gara-gara skateboard gue itu. Well, mau nggak mau skateboard gue disita 2 minggu. “Kelly, tolong ibu bawain barang belanjaan dong!” Teriak ibu dari halaman depan yang terdengar sampai di jendela kamarku. “Cukuppp....!! hari ini semua orang mengganggu kesibukan gue,” Keluhku yang sedang tak bersemangat. Bayangkan saja, sebagai salah satu pengurus mading, gue harus menulis 3 artikel sekaligus dalam sehari (Kelewatan banget ketua madingnya!). Untung saja gue cukup cepat memperoleh inspirasi. “Listya! Kamu denger ibu ngomong nggak sih?” Kembali ibu memanggilku dengan tambahan volume. Aku menghampiri balkon untuk menemui ibu yang sepertinya sudah lelah memanggil. “Ibu, maaf. Listya nggak bisa bantu ibu, tugas artikel Listya belum selesai semua,” Aku berucap dengan nada pelan. Aku kembali sibuk dengan tugasku tanpa mengharapkan omelan ibu. Sepertinya tak terdengar langkah kaki ibu ke arah kamarku, tiba-tiba saja wajah ibu berada tepat di belakang punggungku. Saat menoleh ke belakang, aku tersentak kaget hingga ponsel unguku terlepas dari tanganku, “Ibu! Jangan ngagetin kayak gitu dong. Liat tuh ponselku jatuh,” Seketika wajahku yang tadinya pucat berubah merah padam. “Maaf deh. Kamu sih ibu mintain tolong, males-malesan,” Tegurnya sedikit menyesal telah mengagetkanku. “Siapa yang males? Kan aku udah bilang, kalau tugas artikelku belum selesai dan harus dikumpulkan besok pagi.” Sungguh-sungguh mengesalkan sekali ibu ini. “Tapi kan ibu juga nggak sering nyuruh kamu! Ayo dong, tenaga kamu kan kayak anak jagoan,” Aku tertawa mendengar kalimat terakhir ibuku. Haaa...ha....“Bu, kenapa nggak nyuruh anak perempuan satunya saja?” Aku mengalihkan pembicaraan sedikit. “Anak perempuan? Siapa?” Ibu tak menyadari. “Itu si Anak Monitor!” Aku berbisik pelan di telinga ibu dan menyebutkan nama yang kumaksud, “Robin”. Robin adalah anak kesayangan ibu, sedangkan aku lebih ke ayah. Dia masih duduk di kelas 1 SMP tapi, kerjanya udah kayak orang kantoran. Yup...betah nongkrong di monitor kamputer. Ibu sangat mendukung hobi anehnya itu, tapi ayah bakal bertindak jika beban listrik naik lagi. Sudah larut malam, tugas gue tinggal menyusun susunan artikel dan mencantumkan nama. Ponselku berbunyi, ada 2 pesan yang terkirim bersamaan. Kulihat dari layar ponsel dan mendapati nama Sally dan Rasya. Kubuka pesan Rasya terlebih dahulu, “Listya, lu udah selesai ngerjain artkel???”Kujawab pesan Rasya, “Udh dong! Belom tidur ya?”Satu menit berlalu, aku mendapat 1 pesan dari Rasya lagi, “Sebentar lagi! Lu tidur, besok ada latihan skateboard di Skater’z Club. OK?”Aku tak harus menjawab pesannya, pasti Rasya udah tau. Setelah memilih buku pelajaran besok, aku menyempatkan diri menonton film favoritku yang memang tayang larut malam “Berisik banget sih!!! Ada konser Avenged Sevenfold ya di depan rumah?” Teriakku yang ngelantur kemana-mana. “Iya tuh, lagi manggung! Seru banget! Cepet bangun kebo,” Rayu Robin dengan semangat ’45nya. Seketika mataku membuka lebar dan dengan sergap aku berlari ke balkon kamar, kutengok sumber suara itu dan mencari sosok my favorite band. Hahaha...Waw! Ini pertama kalinya dalam sejarah hidup gue, Robin berani membangunkanku tepat jam 4 dini hari. Memang kurang kerjaan banget!. “Hei Anak monitor, rese banget sih. Lu tau sekarang jam berapa?” Pita suaraku bergetar hebat karena haus. Robin yang daritadi di kamar sedang membuka internet terpaksa kutinggal ke dapur. Lima menit berlalu, aku kembali dengan wajah tak berekspresi. Kulihat Robin sudah menghilang dari ruang kamarku, “Mungkin sekarang dia udah sadar, pagi-pagi kayak gini malah buka internet. Cuma adik gue aja yang kayak gitu.” Aku bergumam sendiri, kumatikan lampu dan teve yang sudah terasa panas. Pagi menghantarkan panasnya pada kedua kelopak mataku yang masih tertutup rapat. Sulit sekali aku berdiri, dengan kedua tanganku saja belum cukup kuat untuk membuka kelopak mataku. Aku melewatkan waktu beberapa menit, dan melihat arah jarum jam. Sudah cukup lama aku berbaring dan cepat-cepat bersiap. Saat akan sarapan, ayah sudah bersiap di depan mobil kinclongnya bersama Robin. Huh...terpaksa aku sarapan di mobil. Sampai di sekolah kebanggaanku, tempat yang kudatangi pertama ialah ruang mading. Belum ada siapa-siapa di dalam! Karena tak ingin menunggu lama, akhirnya aku menulis surat beserta artikel-artikel yang sudah kubuat di atas meja Hardi (Ketua Mading). Fiuh...selesai! “Pagi,Listya!” “Pagi,Listya!” Wah, seneng banget kan kalau jadi siswi famaous dan disenangi banyak orang, nah contohnya kayak gue ini (Ngarep banget). Tapi sungguh, sebelumnya gue cuma siswi yang dianggap biasa banget, bahkan golongan tersingkirkan. Pertemuan pertamaku dengan seorang Rasya, anak skateboard berlangsung tidak disengaja. Sekarang ini, dia telah resmi menjadi sahabat karibku. Satu hal yang membuat kami semakin dekat, yaitu hobi kami, “bermain skateboard”. Aku melewati lapangan basket, dan di sana sudah terlihat sosok Rasya yang sedang mendribel bola dan siap untuk dimasukkan pada ring. “Latihan yang bener ya!” Aku berteriak gaduh hingga satu lapangan melihat hal bodoh yang baru saja tak kusadari. Rasya tersenyum lebar ke arahku sambil melambaikan tangannya. Ok, aku kembali melanjutkan perjalananku ke kelas. Aku mendekati kelas dengan langkah cepat agar segera menemukan sosok Sally, sahabatku yang satu lagi. Yup, itu dia!“Sally, pagi!” Sapaku semangat. “Hai, tumben kawanku yang satu ini dateng pagi?” Wajahnya menunjukkan ekspresi curiga. Dalam beberapa detik Sally berhasil membuatku kebingungan mencari jawaban yang tepat. ”Gue mau nyontek pr fisika,” Wah...sepertinya gue mengucapkannya dengan santai, tanpa bersalah sedikit pun. “Lis, lu kan juara di kelas, masa iya kerjaannya nyontek pr mulu???” Keluhnya yang seakan baru kali ini aku mencontek tugasnya. “Jangan make gelar juara kelas deh! Gue ini juga manusia biasa yang punya keterbatasan. Jadi wajar dong!” Aku berhasil membuatnya percaya. “Duhh...kalo gue tau prnya banyak, mending sekalian di rumah aja.” Kepalaku sudah pusing sebelah. Rumus-rumus sudah semakin membuatku mual. “Ok, gue udah nggak bisa tahan....” Aku mengambil langkah super cepat ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh sarapanku pagi ini. Sally menungguku di wastafel dengan rasa khawatir. “Sall, tolong bawain gue minyak kayu putih dong di UKS,” Pintaku dengan wajah pucat. Sally segera bertindak cepat, dan tidak pernah menyangka bahwa Sally akan sekhawatir ini. Ha..ha..ha! Dia memang best friend gue sejati. “Ini Lis, mau gue pakein?” Tanya Sally sambil menyodorkan minyak gosok kepadaku. “Thanks, gue bisa sendiri kok!” Teng....teng....teng! Bel masuk telah meneriakkan bunyi nyaringnya. Hari ini ada ulangan Bahasa Inggris di kelasku, dan aku sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Tapi, gara-gara pr fisika, aku harus dirawat di UKS hingga rasa mualku tidak terasa lagi. “Sedang apa ya Rasya dan Sally?” Tiba-tiba saja otakku memikirkan kedua manusia itu. Sebentar lagi bel istirahat, rasa mualku sudah sedikit berkurang. Tapi, sekarang aku menjadi lapar dan haus. Aku mencoba bangun dari tempat tidur, “Duh..duh..duh! sakit amat kepala gue,” Aku sedikit merintih kesakitan. Aku harus menahan sakit untuk bisa mengganjal perutku dengan makanan. Hal yang harus kulakukan ialah pergi ke kantin dan memesan makanan. Siip...makanan telah menanti di depan wajahku. Rasa lapar telah menggerogoti bagian perutku. Aku makan dengan lahap semangkuk baso kuah dan segelas milk shake. “Terima kasih, Allah! Aku kenyang.” Kali ini gue kembali berjalan normal dan pergi ke kelas. Teng...teng...teng!“Hah...udah istirahat? Cepet banget,” Aku berlari ke halaman belakang dan belok ke kelas Ekonomi. “Sally....!!” Teriakku dengan lantang. “Ya.” Sally menghampiri pintu depan. “Lis, lu udah sehat bener?” Tanyanya sedikit tak percaya melihatku sudah bisa tersenyum. “You see? I’m fine,” Jawabku datar-datar saja. “Ok, kalo gitu temenin gue ke lapangan basket yuk?” Sally menarik lenganku sebelum aku menjawab ajakannya. Dalam perjalanan akan ke lapangan, aku bertanya pada Sally, tapi ia tidak menjawab sama sekali. Hingga akhirnya Sally membawaku dekat dengan Rasya. “Lis, tadi kata Rasya, dia mau ngomong sama elo!” Sally baru membuka mulutnya. “Sya, bener kata Sally??” aku masih ragu dengan ucapan Sally. “Bener kok! Lu udah sehat?” Tanya Rasya perhatian. “Udah dong, Listya gitu,” Kataku menyombongkan diri. “Ok, tugas gue udah selesai kan, Sya? Jadi gue mau ke kantin, ada yang mau nitip?” Ucapnya terburu-buru. “Gue nggak usah,” Jawab Rasya. “Haa..nggak usah? Heloo, lu kan main basket terus, ntar kalo sakit kayak gue gimana?” Sahutku. “Iya sih! cuma gue nggak enak nyuruh cewek, apalagi Sally,” Kembali Rasya beralasan. “Lu kan nggak mau nyuruh cewek, biar gue aja! Lu mau apa?” aku tetap mempertahankan pendapatku. “Tap....” perkataan Rasya sengaja kualihkan agar ia tak mencari alasan lagi. “Nasi goreng. Tunggu sebentar ya? 5 menit!” Kubawakan semangkuk nasi goreng dan sebotol aqua untuk Rasya, dan berlari ke lapangan. Kulihat Rasya sedang bicara serius dengan Sally, dan aku berpikir untuk mengusili mereka. Door!! “Lagi pada ngapain?” Tanyaku penasaran. “Nggak, cuma ngomongin tanding basket buat 1 minggu ke depan.” Jawab Sally. “Ohh...kalian nggak nyembunyiin sesuatu dari gue kan?” Aku semakin penasaran dan memperhatikan cara mereka memandang dan berekspresi. “Bener, Lis. Udah deh, percaya sama kita,” Rasya meyakinkanku. “Nih, Sya! Habisin lho, gue udah bela-belain ngantri tau,” Ku sodorkan nasi goreng. “Gratis nih aquanya?” Tanya Sally. “Yups! Baik kan gue?” Kataku bangga, mereka tertawa. “Sya, ntar jadi nggak latihan skateboard, mau bareng nggak?” Ajakku. “Ntar gue mau ke toko kaset sama Sally. Udah janji dari jauh hari soalnya,” Rasya menolak ajakkanku dengan lembut tapi, cukup menyakitkan buatku. Aku sedikit kesal pada Rasya, dan cepat kembali ke kelas. Aku mendengar Rasya dan Sally memanggilku dari jauh, tapi aku tak mau meladeninya. Aku merasa Rasya semakin jauh dariku dan semakin dekat dengan Sally. Memang kita bertiga bersahabat, tapi sejak Sally mengisi pertemananku dengan Rasya, aku merasa hubungan persahabatanku makin jauh dengan Rasya. Aku mencoba menenangkan diri di kelas, mengipas-ngipas wajahku yang sudah merah padam, dan memperhatikan sekilas teman-teman yang berada di kelas. Kulihat Dimas melewati kelasku, lalu kupanggil dia, “Dimas!!” “Listya, kenapa?” Tanyanya dengan kening mengerut. “Sini bentaran.” Kusediakan bangku untuk Dimas, dan menceritakan tujuanku memanggilnya. “Lu ntar mau ke pelatihan skateboard kan? Mau bareng nggak?”. Dimas berpikir sejenak, “Tumben lu ngajak gue, Rasya kemana?” “Nggak tau! Gimana, mau bareng nggak?” Tanyaku sekali lagi. “Ok deh, gue jemput lu sekalian jam 4-an.” Fiuhh...akhirnya gue punya temen juga berangkatnya. “Thanks, Dimas. Gue berhutang budi ama lu. Besok-besok kalo lu butuh bantuan, tinggal panggil gue aja,” Ucapku masih kegirangan. Lalu, kami berlanjut membicarakan skateboard hingga bel berbunyi. ”Lis, udah bel, gue balik ya?” Pamit Dimas sambil tersenyum lebar. “Ok, thanks juga atas bantuannya,” Aku balik tersenyum. Dimas berpapasan dengan Sally dan Rasya, “Woy, Sya! Tumben nggak bareng sama Listya??” Tanya Dimas iseng. “Bareng kok tadi! Emang kenapa?” “Nggak. Ok, gue cabut dulu ya?” pamit Dimas. “Yooi.”Rasya melihat ke arahku dengan pandangan bersalah. Aku tak membalas senyumannya. “Lis, besok lu mau ke pelatihan skateboard bareng gue nggak?” Ajak Rasya. Apakah gue nggak salah denger? Tawarannya sudah basi bagiku, “Sorry. Gue tekenin ya sekarang! Hari ini dan seterusnya gue selalu bareng Dimas!” Aku merasa puas dapat membalas penolakkannya terhadapku. “Kenapa? Lu marah soal yang tadi?” Rasya tidak menerima alasanku. “Nggak! Gue cuma lagi butuh suasana baru aja, termasuk pindah duduk,” Kubawa tasku dan pindah duduk di depan. Selama jam pelajaran hingga akhir pelajaran, sama sekali aku tidak berbicara kepada Rasya dan Sally, menoleh saja aku malas. Rasya mengoper surat untukku, saat sudah digenggamanku, kertasnya aku sobek dan kubuang ke tempat sampah. Aku sudah kecewa pada mereka berdua. Aku meneteskan air mata dan mengenai catatan Ekonomiku. Pak Jojo melihatku tidak konsen mengikuti pelajaran, “Listya, kamu kenapa? Bapak lihat dari tadi kamu tak konsen belajar?” Tanya Pak Jojo. Aku segera mengusap air mataku dan menjawab pertanyaan Pak Jojo, “Iya pak, saya kurang enak badan.” “Ya sudah, sekarang kamu pulang saja, dan istirahat yang teratur di rumah.” “Makasih, pak! Saya pamit,” Ucapku sambil membereskan bukuku dan segera menjauh dari kelas Ekonomi. Kupanggil taksi, dan segera masuk ke dalam. Di dalam taksi aku kembali meneteskan air mata, sungguh aku tidak bisa menahan rasa kecewaku ini. Sampai di rumah, aku pergi ke kamar dan membersihkan air mataku ini. Di rumah hanya ada aku. Aku sibuk memandang jam dinding. Satu jam lagi Dimas akan datang. “Sambil nunggu Dimas, baca majalah di ruang tamu aja dulu.” Bip...bip! “Itu pasti mobil Dimas,” Aku berlari ke balkon dan melihat Dimas melambaikan tangannya kepadaku. Akhirnya waktu yang kutunggu datang juga. Aku segera mengambil tas dan skateboard dengan riang. “Lama nunggu ya? Sorry tadi nyokap minta anter sampe depan,” Kata Dimas manis. “Nggak kok. Nyantai aja kali!” Dimas membuka pintu untukku, “Apa-apaan sih? Lu tuh aneh ya?” Tegurku. “Aneh kenapa? Udah kenal lama gini, nggak apa-apa kan becanda dikit,” Ucapnya dengan tertawa pelan. “Iya sih, tapi lama juga ya kita nggak ngomong kayak gini dan kayaknya masih akrab gitu,” Aku heran pada diriku sendiri. “Gue juga bingung. Tapi, nyambung-nyambung aja kita ngobrolnya. Jangan-jangan kita jodoh lagi?” Tanyanya dengan tatapan menyindir tapi, cute. “Heh..jodoh apa! Emang lu mau sama cewek kayak gue?” Aku berbalik bertanya dengan nada serius. Dimas berpikir. “Ok, bercanda kok nanyanya!” Kataku memecah kesunyian. Sepertinya aku merasa cocok dengan Dimas, dan merasa memiliki sahabat seperti dulu. Dua minggu yang lalu kami bersahabat. Hubunganku dengan Rasya dan Sally telah membaik dari sebelumnya. Tapi bedanya, aku sudah tak pernah melakukan kegiatan bersama Rasya dan Sally seperti dulu. Setiap hari, aku tak pernah pisah dengan Dimas. Bahkan ada yang mengira aku dan Dimas berpacaran. Hingga suatu hari, saat Dimas mengajakku makan-makan, tiba-tiba dia menggenggam tanganku dan menyatakan perasaan cintanya padaku. “Lis, gue seneng punya sahabat kayak lu. Lu itu istimewa dari temen-temen gue yang lainnya. Lu baik, memberikan gue hal-hal yang positif, dan menjadi pendengar yang baik saat gue putus dari Dinda. Sekarang, gue baru sadar, kalo rasa cinta gue yang sebenernya cuma pada satu orang.” “Sama siapa?” Tanyaku penasaran. Dimas menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan, “Cuma sama kamu, Listya.” Kata-katanya membuatku terkejut. Kemudian Dimas melanjutkan ucapannya, “ Mau nggak, kamu jadi pacarku?” Dimas memperlihatkan wajah yang sangat lugu...lugu sekali. Selama aku bersama dengan Dimas, aku juga merasa nyaman, dan aku juga sayang sama Dimas, “Dimas. Aku juga punya perasaan yang sama sepertimu. Jadi, aku mau jadi pacar kamu.” Semenjak itulah kami resmi pacaran. Aku senang Dimas yang menjadi pacarku. Karena dia baik, sederhana, tidak pernah sombong dengan apa yang ia dapat, dan memiliki hobi yang sama pula. Waktu cepat berjalan, aku kembali dekat dengan Sally dan Rasya. Tapi, mereka tidak mengetahui hubunganku dengan Dimas. Hingga pada suatu siang, aku mengajak Rasya dan Sally ke tempat yang dulu sering kami datangi. Aku membuat pengakuan, “Sya...Sal, gue mau mengakui sesuatu ke kalian berdua,” Aku membuka pembicaraan. “Oh. Sama kayak Rasya dong!” Ucap Sally. “Ya udah, lu dulu Sya.” “Lu dulu deh.”“Ok, sebenernya sejak 2 bulan ini, gue udah resmi pacaran sama Dimas,” Aku mengucapkannya dengan perasaan lega, dan kulihat ekspresi yang ditunjukkan Rasya dan Sally. Seketika suasana seperti kuburan saja. “Loh, kalian kok kayak nggak seneng gitu siy?” Keluhku dengan muka bete. “Oh...ya tentu kita seneng dong. Ya kan, Sall?” Ungkap Rasya yang kulihat tengah menyikut tangan Sally. “Iya. Gue ikut seneng kok,Lis. Seneng banget!” Sally membalas perlakuan Rasya. Beberapa selingan obrolan, aku pun teringat dengan sesuatu. Yup, sesuatu yang akan diakui oleh Rasya. Tapi, aku belum sempat menanyakannya karena ia terburu-buru saat setelah menerima sebuah telepon dari ibunya. Besoknya di sekolah, aku sangat bersemangat menuju kelas. Aku segera mencari seseorang, Rasya. Tapi, dia belum terlihat di kelas atau di lapangan basket. Karena telah putus asa mengitari sekolahan, aku memutuskan untuk menghubunginya lewat sms : “Sya...lu dimana? Kok belom sampe sya???”Lima menit belum ada balasan. Aku mulai panas dan tidak bisa diam. Aku coba menelepon Rasya, tapi tidak ada yang mengangkat. Hal yang terakhir aku coba, ialah bertanya dengan Sally. “Sall, lu liat Rasya nggak?” tanyaku dengan nada tergesa-gesa. “Nah, emang lu nggak dikasih tau ama Rasya?” Sally balik bertanya. “Dikasih tau apaan? Kayaknya nggak deh,” Jantungku berdetak cepat, keringat dingin membasahi punggung belakangku. “Tadi malam Rasya bilang, kalo besok dia mau pergi ke Singapore untuk nemenin bokapnya yang sakit keras. Kira-kira dia balik 2 minggu lagi.” “Haa...2 minggu lagi? Terus gimana sekolahnya? Kok dia nggak ngasih tau gue?” beribu-ribu pertanyaan mengelilingi pikiranku. “Gue juga nggak tau. Mungkin dia nggak mau buat lu khawatir kali, atau apalah yang dia takutin,” Jawab Sally dengan singkat sekali. “Tapi gue nggak terima sama sikapnya yang sok ngerahasiain gitu. Gue kan juga sahabatnya!” Aku naik darah hingga tanpa sadar aku mendrobak meja dengan keras. “Tenang, Lis! Tapi, dia titip salam buat lu kok,” Hibur Sally berusaha menenangkan suasana. “Kapan dia berangkat?” “Ntar, sekitar jam 9.”“OK. Lu ijinin Bu Dini ya. Bilang gue ada urusan penting.”“Lu mau kemana?”“Nyusul Rasya. Gue mau ngomong penting ama dia. Bye!”Kuambil tas ranselku dan menghilang dari pandangan Sally. “Rasya....!!!” aku memanggil Rasya yang sedang duduk di kursi tunggu sambil membaca secarik kertas. “Listya? Ngapain lu di sini?” Rasya mengerutkan dahi. “Jahat banget sih lu nggak ngomong mau ke Singapore. Emang gue bukan sahabat lu?” “Sorry, hp gue rusak. hp nyokap nggak ada pulsa. Telepon belum bayar, jadi gue nggak bisa telpon lu,” Rasya menjelaskan alasan sedetail-detailnya. Pesawat tujuan Singapore akan segera take-off. Aku tak percaya Rasya akan meninggalkanku dengan jangka waktu yang tidak cepat. “Sepi dong nggak ada lu,” Ucapku dengan nada tersendat. “Yah, mau gimana lagi. Kesehatan bokap yang menjadi prioritas pertama gue.” “Ok. Selamat jalan ya? Semoga bokap lu cepet sembuh dan lu cepet balik.” Aku membantu Rasya mengangkat salah satu kopernya. “Hati-hati yah di sana.” Aku memeluk Rasya sekejap dan berbalik arah pulang. Aku menerima pesan dari Sally “Lis, Rasya mencintai lu lebih dari sahabat....”“What???” Ungkap Lis tak percaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar