Rabu, 08 Februari 2012

Renungan Sahabat by Putri Dinah Husna Raswandi

Tatapan mata selalu tegang, badan tegak dan wajah yang pucat. Sudah jadi hal yang biasa bagi sahabat ku jika mulai merasa terpojokan. Jika ia akan tersenyum akan terasa hampa dan ketika dia terdiam akan terasa pilu bagiku. Ada sebuah tali yang menyambung, jika aku putuskan akan serasa hidup dalam kematian. Dikala aku jatuh dia selalu ada merangkul ku. Seringnya dia jatuh namun aku tak dapat merangkulnya. Terkadang aku merasa gila karena nya. Sebutlah aku Raka. Seorang siswa yang sangat beruntung memiliki sahabat yang setia, desy namanya. Semua mengacuhkan aku kecuali dia. Dia tidak perduli berteman dengan orang seperti aku. Dia juga tidak malu. Aku tidak memiliki keterbelakangan apapun hanya saja aku gagap dan buruk rupa. Membuat ku hanya punya teman seorang saja yaitu desy. Desy adalah sang bunga di bak air yang dalam. Bunga nya jauh di dalam air telah tenggelam, sayang nya cahanya nya pun ikut tengelam didalamnya. Ah sang desy tertawa dikala aku bergurau. Memang tidak lucu dan aku tau namun tawanya selalu ada, selalu menghiasi hariku meski terkadang terasa kosong. Cukup bicarakan tentang desy, mari bicarakan tentang kisahku. Sinar mentari menghantam wajahku pagi ini. Betapa pagi yang indah, burung memang tidak berkicau namun manusia manusia lah yang mulai berkicau. Kupasang mental baja pagi ini, biarlah orang berkata apa. Apa yang kupercayai adalah keyakinanku. Keyakinanku pagi ini yaitu untuk melihat langit dan mencari tuhan. Silau nya mentari kuhirau kan, tapi terkadang kuterpikir mungkin tuhan bersembunyi dibalik awan. Di depan jalan menuju sekolah terdapat sebuah gubuk tua, disanalah Desy tinggal. Aku tidak pernah masuk kedalam rumahnya namun dia selalu datang keluar jika aku sudah dekat dengan rumahnya. Desy hari ini menggunakan kemeja sekolah yang kusut. Tapi jika dilihat sekali lagi, kemeja kusutnya terlihat sungguh rapih dengan suatu cahaya yang ada padanya. Hanya saja tidak ada yang bisa melihat cahaya itu. Butuh sebuah keyakinan yang kuat untuk bisa melihat. Desy tersenyum namun ia tidak berbicara satu patah katapun. Kita pun berjalan bersama kesekolah. Saat aku memasuki gerbang sekolah detak jantung serasa terhenti. Aku takut akan tempat ini. Benarkah orang tua ku sayang kepadaku? Namun mengapa mereka membuatku berada disini. Tidak ada yang menyapa, suasananya tegang dan dingin. Tapi aku tetap berjalan menuju ruang kelas. Sekolah sangat memojokan diriku. Ketika sang guru menyuruh kami untuk membuka lembaran lembaran itu, aku sama sekali tidak melihat jendela yang dapat menghubungkan aku dengan dunia. Apakah bohong kata mereka tentang “buku jendela dunia”? Tapi tak butuh jendela aku sudah ada di dunia kejam ini. Mata mata yang pedas membuat hatiku teriris setiap hari. Apakah aku dibenci dunia? Andaikan buku bukanlah jendela dunia, melainkan ke alam lain dimana aku bisa bebas dari mata mata ini. Guru dengan wajah yang keras itu bernama Bu Tantri. Seorang yang sangat spesifik akan apapun. Bu Tantri mengelus punggung ku. Aku terdiam ketakutan. Desy tersenyum kepada ku dan bilang semua akan baik baik saja. Aku pun memasang senyum kecil diwajahku. Bel berbunyi menandakan istirahat. Ketika aku hendak keluar kelas kulihat sepasang remaja berpegangan tangan, saling pandang memandang. Seperti ada detakan jantung dari hati ke hati. Aku tidak tau namun aku merasa tersentuh melihat mereka. Alangkah indahnya memiliki kekasih. Namun aku tidak tau siapa untuk dicinta. Desy pun memandang mata ku dalam, aku pun tau siapa. Apakah aku yakin? Atau hanya karena iri melihat sejoli berpegangan tangan disekolah. Aku berjalan menuju taman sekolah lalu aku memandang langit tak perduli seberapa teriknya mentari menusuk mataku. Aku terdiam aku mencari tuhan. Aku pun bertanya “Tuhan, apakah yang aku rasa benar? Apa hanya sugesti dari diriku sendiri?”. Aku menunggu jawaban, dan tidak ada satu patah kata pun terdengar atau terlihat. Sekali lagi aku terdiam. Aku berlutut dan seketika setetes air jatuh dari mataku. Orang orang yang melihat heran ada apa dengan ku, tapi menurutku mereka tidak harus tau. Hari ini adalah hari yang sangat buruk. Tidak ada yang mendengarku, bahkan tuhan tak mendengarku. Seorang gadis dari kelasku melihatku iba, namun aku tidak mau orang iba kepadaku. Aku hanya mau mereka cukup mendengar, tapi aku melupakan fakta bahwa aku jarang bicara. Bisakah mereka yang bertanya? Tapi mereka hanya terdiam di keheningan yang mengiris hati. Bel kembali berbunyi aku pun masuk kekelas dengan hati yang tersayat. Saat aku memasuki ruang kelas, kelas serempak terdiam. Mataku nampak sembab dan wajah ku merah namun aku tak perduli. Aku hanya berjalan dengan tenang lalu duduk di bangku ku. Bangku yang paling depan paling kanan. Ketika guru masuk, semua mengalihkan perhatian nya dariku. Tapi ada seorang gadis disana tetap memerhatikanku. Gadis itu gadis adalah gadis yang melihat ku iba dilapangan tadi. Seharusnya aku tahu namanya karena kita sekelas. Aku tidak tahu namanya, aku memang memiliki masalah dalam mengingat nama nama. Hal ini memang menjadi salah satu faktor mengapa aku jarang bicara dan bersosialisasi, karena aku sulit menghafal nama nama. Dikala guru menerangkan, gadis itu tetap melihatku. Kali ini wajahnya seperti sedang berfikir. Ada apa? Apakah ada yang aneh dariku? Gadis itu terus memperhatikan ku membuat ku resah. Tangan ku mulai berkeringat, aku tak dapat mengerti satu patah katapun yang guru terangkan. Aku mencoba untuk mengalihkan perhatian ku, namun aku selalu ingin tau apakah dia masih memperhatikanku. Memang dia memperhatikanku terus menerus. Keringat pun mulai turun dari kepalaku, ribuan pertanyaan tentang gadis ini di kepalaku tiba tiba menghilang saat aku melihat desy memegang tangan ku. Untunglah bel pulang akhirnya berbunyi. Aku langsung memasukan semua barang ku kedalam tas. Tas ku sudah kotor dan usang. Ketika aku memasukan barang barang ku tiba tiba tas ku tersobek, aku pun mulai panik . Gadis itu menghampiriku perlahan. Nafasku serasa tertahan, darah serasa tak mengalir di nadiku. “Tas mu robek. Sepertinya bisa ku bantu.” Dia memberiku kantung plastik yang besar dan memasukan barang barangku kedalamnya. Aku menyadari mungkin gadis itu adalah jawaban tuhan, gadis yang akan mendengarku. Aku tersenyum kecil dan bertanya “maaf siapa namamu?”. Gadis itu tertawa puas. “kita sekelas dan bahkan kamu tidak tahu namaku? Nama ku Raina”. Aku pun malu tidak tahu namanya saat dia bilang begitu. Dia pun tersenyum dan mengajak pulang bersama. Aku pun mengangguk namun aku meminta dia menunggu Desy. Saat aku menyebut nama Desy dia menunjukan ekspresi wajah yang aneh. “siapa Desy?” Tanya nya. Ternyata dia juga lupa salah satu nama murid dikelas ini yang membuat ku dapat bernafas lega. “Desy itu teman kelas kita. Masa kamu tidak tahu? Dia yang memiliki kulit gelap dan rambut dikuncir satu”. Dia pun terdiam sejenak, membuat keheningan selama beberapa menit. “Aku merasa aku hafal semua teman kelas kita. Desy? Mungkin aku lupa. Bisa tunjukan aku siapa dia?” aku pun mengganguk dan mengajak Raina menunggu Desy didepan sekolah. Raina dan aku menunggu desy di sebuah kursi biru tua yang dekat dengan tumpukan sampah. Raina tidak merasa jijik ataupun risih dengan hal tersebut. Diapun memulai percakapan terlebih dahulu, aku hanya mengikuti alur pembicaraan yang dia pilih. Dia bertanya beragam hal tentang ku. Hal yang aku tidak heran dia bertanya, mengapa tadi aku menangis. Aku menjawab nya dengan mata berkaca kaca, aku bilang kepadanya apa yang kurasakan dan ku alami. Dia hanya binggung dan dia bilang bahwa jawaban ku sangat tidak masuk akal. Sudah pukul lima sore dan kita masih menunggu Desy. Raina mulai kesal dan dia melihat ku sinis aku pun menunduk. “Kelihatannya Desy tidak akan muncul, sudah sore aku harus pulang sekarang” Raina pun pergi meninggalkan ku sendiri. Tak lama setelah Raina pergi Desy pun datang, kami pun akhirnya pulang bersama. Aku sangat menyesal membuat Raina menunggu kemarin, aku berniat untuk meminta maaf padanya. Dikala aku menyesal hari esok serasa sangat lama. Namun aku sangat berterimakasih untuk hari ini, akhirnya ada yang mendengarkan kata – kataku “ayo bangun nak, kamu terlambat kalau tidur terus”. Badan ku digoyang – goyangkan membuat mata ku terbuka sedikit demi sedikit. Ah silau sekali membuat ku ingin menutup mata kembali namun aku harus bangun. Ternyata aku tertidur diruang kelas saat guru menerangkan. Ibu guru tadi yang membangunkan. Betapa malunya aku semua tertawa lepas. Raina tidak memperhatikan aku lagi, dia sudah tidak penasaran akan siapa aku sepertinya Untungnya setelah guru membangunkan ku, waktu istirahat langsung tiba. Ketika semua keluar kelas aku menghampiri Raina. “Maaf ya membuatmu menunggu kemarin”. “iya tak apa” kata Raina, ia pun tersenyum. “Tadi pagi aku mengecek absen kelas kita. Tidak ada satu muridpun yang bernama Desy.Mungkin kamu berimajinasi saja” . Aku merasa tidak nyaman, aku tidak tahu nama perasaan ini, tapi rasanya aku ingin memukul sesuatu. “tentu Desy ada! Mungkin kamu yang salah” . Dia pun menekan kan katanya dengan lebih keras “Desy itu tidak ada! Kalau tidak percaya bacalah absen kelas! Carilah yang namanya Desy! Bangun lah dari mimpi, ini realitas.” Aku hanya menangis, aku merasa seperti lelaki yang lemah. Lelaki yang menangis setiap hari. Aku tidak percaya bahwa Desy adalah imajinasi belaka. Aku memanggil nama Desy berkali kali. Biasanya setiap kupanggil dia selalu ada, tapi mengapa setiap ada Raina dia tidak pernah ada? Aku ingin dia ada disini sekarang. Menggengam tangan ku dan bilang semua akan baik baik saja. Namun sayang nya dia tidak ada. Raina memeluku “maaf jika kataku kasar.” Ucapnya. Ketika dia memeluku aku menyadari Desy memang imajinasi. Rasa peluk yang sebenarnya memang hangat dan membuat ku memiliki dunia ini. Dunia serasa berbalik. “Raina, apakah selama ini aku gila?”. Raina menggelengkan kepala. “tidak, kamu hanya kesepian.” Rasanya aku bodoh dan gila. Mengapa imajinasi ku terasa begitu nyata. Aku mencintai imajinasi ku yang membuatku merasa tertekan karena sesungguhnya itu tidak nyata. Kenyataannya begitu perih bagiku. Apakah selama ini hidup ku hanya imajinasi saja? Apakah Raina juga tidak nyata? Ratusan pertanyaan membuat ku muak. Entah mengapa aku merasa nadiku terhenti dan aku berteriak. “RAKA!” Raina memukul ku dengan keras. Alis ku berkerut dan untuk pertama kalinya aku menatap Raina dengan sinis. Raina mencoba menenangkan aku, tapi ada sesuatu yang janggal, ada sesuatu yang terasa tidak benar. Aku bahkan tidak tahu apa yang aku harus kupercaya dan kuperbuat. Aku tidak mau bangun dari mimpi aku mau terus berimajinasi. Aku mengusap wajahku, menghentikan tetes mata ini, lalu menarik nafas yang dalam. Aku memeluk Raina “sepertinya aku tidak mau bangun dari imajinasi ini. Apa yang kupercaya adalah yang kuyakini. Aku yakin suatu hari nanti Desy akan kembali. Entah dalam wujud imajinasi atau nyata. Terimakasih untuk menyadarkan ku. Aku merasakan hangatnya peluk mu, hangat pelukmu adalah hangat sesugguhnya. Bukan hangat peluk Desy. Aku berharap kita tetap berteman, namun kelihatannya akan menjadi kerugian jika kamu berteman denganku. Aku merelakanmu, meskipun kamu adalah orang yang mendengarkan ku”. Raina pun ikut menangis, dia membuat ku terkejut saat dia menggengam tangan ku erat. “Apakah kamu pernah merasa ada sebuah tali yang menyambung antara kamu dan Desy. Dan jika kamu putuskan tali itu kamu akan merasa hancur, tersakiti atau lainnya? Kalau misalkan ia, itu lah yang kurasakan saat berteman dengan mu. Aku tidak perduli seberapa dampak buruk yang kamu berikan kepada ku. Tapi aku merasa terikat dan kita mungkin memang seharusnya berteman. Aku membangunkan mu dan sekarang kamu hidup dengan kenyataan. Bisakah kamu berbalas budi kepadaku?” Benar apa yang dia katakan tentang tali menyambung itu. Aku tercengang mendengarnya. Kini aku masih dalam keadaan kaget, aku tak tahu harus memutuskan apa. Aku akan berbalas budi kepada Raina tentunya. Aku tidak akan membiarkan dia berteman denganku. Aku bukan orang yang tepat bagi orang sebaik dia. Biarkanlah hatinya hancur sejenak, selama dia tidak terkena dampak buruk apapun dariku. Jika ia tak berteman dengan ku dia akan bahagia dia tidak akan hidup dari mimpi. Dia akan membuat mimpi menjadi kenyataan dan hidup dalam kenyataan. Aku meninggalkan Raina,semenjak itu kami tidak pernah berbicara lagi. Maafkan aku Raina aku akan memutuskan tali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar