Senin, 13 Februari 2012

Cita-cita Alif by Adrianto Sukasto

Alif masih menonton bola di malam itu. Padahal, keluarga Alif sudah tidur semua. Alif memang penggemar bola. Dia pun bercita-cita sebagai pemain bola. Namun, Alif mempunyai kekurangan, yaitu kakinya lumpuh sehingga dia harus duduk di kursi roda elektrik. Hal inilah yang membuat Alif rendah diri dan jarang bergaul. Padahal, dikalangan para penggemar bola, Alif sangat disegani karena dia bisa memprediksi siapa yang menang siapa yang kalah. Namun, Alif menutup diri dari pergaulan karena dia merasa tidak pantas berada di dekat mereka yang normal. Orang Tua dan Guru-Guru Alif sudah mengingatkan agar Alif tidak berkecil hati. Tetapi Alif begitu keras kepala sehingga dia tidak mau mendengarkan nasihat-nasihat mereka. Yang jelas, semakin hari, semakin sulit memberi tahu Alif agar tidak berkecil hati. Keesokan harinya, Alif bangun dalam keadaan segar. Mengingat pertandingan Arsenal vs Real Madrid yang berakhir dengan skor 2-1, Alif tampak puas, karena Real Madrid adalah tim favorit Alif. Saat Sekolah, Dani, teman Alif yang juga menyukai bola seperti Alif langsung menghampiri Alif. “Alif, prediksi lu bener lagi... Kok Real Madrid tiga kali berturut-turut menang melulu sih lawan Arsenal?” tanya Dani penasaran. Terlihat sekali Dani sangat menyukai Arsenal. “Van Persie sama Walcott cedera sih..” jawab Alif singkat lalu pergi menjauh. Dani hanya menggeleng pelan. “Lif, jangan sombong gitu kenapa? Mentang-mentang Madrid menang. Lo juga gak pernah gaul sama kita kenapa sih?” tanya Dani lagi. Alif tidak menjawab. Dia terus mempercepat kursi rodanya. “Woy! Jawab dong!” tegas Dani. Alif menghentikan kursi rodanya. “Nggak penting tau!” jawab Alif tegas, dingin, dan menusuk ke hati. Dani hanya melongo melihat Alif. Sedangkan Alif hanya maju menuju kelas, mempercepat kursi rodanya. Alif bersekolah di SMPN 11 Jakarta, Sekolah yang cukup bagus. Di Kelaspun, Alif anak yang cukup pandai, tapi kepandaiannya disembunyikan. Kalau tidak di panggil maju, Alif tidak menunjukan kepandaiannya. Saat bel berbunyi istirahat, Alif pergi ke Kantin, lalu makan dan sesekali mengobrol kalau diajak. Setelah itu, kembali ke kelas. Bel pulang, dia segera bergegas untuk pulang. Temen-temannya memanggil, dia tidak mengubris panggilan itu. Begitu terus setiap hari kegiatannya di Sekolah. Meskipun teman-temannya selalu mengajak Alif untuk mengobrol, Alif selalu menghindar untuk pulang. Suatu hari, ketika Alif mau pulang, Alif dicegat oleh Dani dan kawan-kawannya, yaitu Dika, Enal, dan Vito. “Lif, tunggu bentar deh.. Guam au ngomong bentar sama lo,” kata Dani. Alif mencoba untuk lewat. Namun dihalangi oleh Dika dan Vito yang berbadan besar. “Minggir atau gue tabrak!” ancam Alif. “Tabrak kalo berani. Lo nggak akan berani nabrak gue,” jawab Vito dan Dika serempak. Alif bimbang. Apa kata Vito dan Dika benar. Dia tidak mungkin mau menabrak mereka. Akhirnya Alif memutuskan untuk berbicara dengan Dani sebentar.”Yaudah. cepetan ngomong. Oh iya,lo berdua minggir, gue nggak akan kabur.” Kata Alif. Vito dan Dika minggir dari gerbang.”Lif, lo kan tau macem-macem strategi bola, lo mau nggak jadi pelatih kesebelasan bola tim gue?” tanya Dani. Alif diam sejenak.”Ogah ah.. Gue pengen jadi pemain bola, bukan pelatih bola.” Tolak Alif.”Tapi lo kan...””Nggak usah bawa-bawa kaki!” teriak Alif. Enal yang ingin berbicara pun terdiam. Alif pun pergi. Vito dan Dika tidak berbuat apa-apa. Mereka tahu jika mereka berbuat sesuatu, Alif akan mengadu ke orang tuanya. Di Rumah, Alif masih memikirkan tawaran Dani. Dalam hatinya, dia ingin melatih klub bolanya Dani, namun dia tidak ada niat menjadi pelatih. Keesokan harinya, ada upacara bendera mendadak. Setelah upacara, Ibu Lila, kepala sekolah SMPN 11 menyampaikan sesuatu.”Anak-anakku, kami turut berduka cita atas meninggalnya Bapak Jono, selaku guru olahraga SMPN 11, karena penyakit kanker paru-paru yang dia idap selama 2 Bulan.” Jelas Ibu Lila panjang lebar. Alif tampak kaget. Dia tidak menyangka gurunya meninggal. Dia merasa terpukul karena guru olahraga yang sekaligus pelatih sepak bola SMPN 11 meninggal secepat itu. Dan semakin sedikit kesempatan untuk menolak tawaran Dani. Namun, dia tetap berpendirian teguh untuk menjadi pemain sepak bola. Setelah upacara, Dani kembali menghampiri Alif.”Nah, lo udah tau kan kenapa gue nawarin lu jadi pelatih bola.” kata Dani. Alif tidak menjawab sepatah kata pun.”Ini tawaran terakhir gue, soalnya lima hari lagi SMPN 11 udah mau tanding sama SMP Citra Alam.” lanjut Dani. Alif masih terdiam.”Sekali lagi gue tawarin...” “Gue nolak.” Potong Alif.”Cita-cita gue nggak akan berubah dari dulu sampai sekarang. Jadi lo cari pelatih lain aja.” Kata Alif dan akhirnya dia pergi meninggalkan Dani sendirian di bagian tengah sekolah.”Woy! Tunggu dulu!” teriak Dani. Namun itu semua sia-sia. Alif sudah tidak ada disana. Lima hari pun berlalu. SMPN 11 akan segera bertanding melawan SMP Citra Alam.”Lif, lihat pertandingan bolanya yuk?” ajak Hadi, salah satu teman Alif yang penggemar bola.”Bentar dulu. Lu duluan aja. Nanggung nih.. Bukunya bentar lagi abis.” Jawab Alif. Hadi mengangguk dan langsung meninggalkan Alif. 10 menit berselang, Alif menuju lapangan untuk melihat pertandingan bola. Namun, bertapa terkejutnya Alif ketika kesebelasan SMPN 11 tidak didampingi seorang pelatih. Alif merasa agak menyesal. Penyesalan itu mencapai puncaknya ketika SMPN 11 dikalahkan oleh SMP Citra Alam 4-1. Belum lagi ketika ada seorang pemain SMP Citra Alam mengatakan “Permainannya nggak mutu!” Dani dan 10 orang lainnya hanya terdiam. Dani dan penjaga gawang Erik melirik Alif sekilas. Alif merasa terpukul. Keesokan harinya, Alif menghampiri Dani.”Dani...” “Lo mau ngelatih kita kan?” potong Dani. Alif mengangguk lemah. Dani tersenyum puas.”Gue mau ngelatih tim lo dengan satu syarat.” tawar Alif.”Apaan?” tanya Dani singkat.”Lo harus ngikutin apa kata gue. Kalo nggak mau, gue bakal berhenti ngelatih SMPN 11.” Jawab Alif panjang lebar. Dani tampak kaget, namun akhirnya dia tersenyum.”Apa kata lo... Pelatih.” Kata Dani setuju. Mereka berdua tersenyum, lalu tertawa. Dani agak kaget melihat Alif tertawa. Dia belum pernah melihat Alif tertawa selepas itu.”Jadi, kapan mulai latihannya?” tanya Dani.”Pulang sekolah. Siapin stamina lo!” jawab Alif tegas. Dani meberi hormat, lalu tertawa. Bel sekolah pun berbunyi. Alif bergegas mengumpulkan teman-teman kesebelasan SMPN 11.”Katanya nggak mau ngelatih SMPN 11... Labil nih Alif...” kata Adit.”Peraturan gue, yang berisik dan ngeselin,gue keluarin!” ancam Alif.”Kalo gue keluar, emang mau diganti siapa?” tanya Adit polos.”Gue bisa nyari pemain lain.” Kata Alif santai.”Atau gue yang keluar dan lu nggak punya pelatih lagi.” Lanjut Alif. Semua menggeleng cepat.”Nah, yaudah! Ayo mulai!” seru Alif. Mereka latihan selama seminggu lamanya. Perlahan tapi pasti, Alif mulai membuka dirinya dalam pergaulan. Awalnya semua agak bingung dengan perubahan sikap Alif. Namun mereka menjadi senang dengan perubahan sikap Alif. Teman-teman, orang tua, dan guru senang dengan perubahan sikap Alif. Dan akhirnya hari yang ditunggu pun tiba. Leg 2 pertandingan SMPN 11 vs SMP Citra Alam akan segera dimulai. Emil, pemain SMP Citra Alam datang menghampiri Dani.”Gue nggak nyangka lo bakal main. Padahal udah kalah 4-1.” Kata Emil mengejek.”Nggak ada yang nggak mungkin.” Balas Dani santai.”Yah... Banyak gaya lo. Pelatih aja kagak ada.” Kata Emil. Tiba-tiba Alif datang dari belakang, mengisyaratkan mereka akan bersiap-siap. Dani dan Alif pun pergi dari sana untuk bersiap-siap. Emil tersenyum mngejek. Pertandingan dimulai. SMPN 11 menggunakan strategi 4-2-1-3. Sedangkan SMP Citra Alam menggunakan strategi 3-4-1-2. SMPN 11 bermain agresif. Satu babak adalah 25 menit. Di babak awal, SMPN 11 sudah mencetak 4 gol langsung berkat Enal, Dani (2), dan Geri. Mereka seperti mengamuk. Namun, sungguh disayangkan di babak kedua SMP Citra Alam mendapat hadiah pinalti. Emil yang sebagai algojo pinalti berhasil menyamakan agregat 5-5. Skor bertahan hingga drama adu pinalti. SMPN 11 memilih Dani, Geri, Enal, Joni, dan Heri sebagai eksekutor pinalti. Sedangkan SMP Citra Alam memilih Emil, Joko, Tino, Beni, dan Koko sebagai eksekutor pinalti. Dani dan Emil berhasil mengeksekusi pinalti. Sungguh disayangkan Geri gagal mengeksekusi pinalti, sedangkan Joko berhasil. Enal dan Tino berhasil. Begitu juga Joni dan Heri. SMPN 11 semakin panik. Meskipun Heri berhasil, mereka tetap panik. Tiba saatnya Koko yang mengeksekusi pinalti. Kalau gol, mereka semua habis masa depannya. Semua ini bergantung terhadap sang kiper, Adit. HEBAT! Adit menepis tendangan Koko. Skor sama 4-4. Tiba saatnya penentuan. Vito mengeksekusi pinalti dan MASUK! Tiba saatnya Doni yang mengeksekusi. Dan... ADIT BERHASIL MENEPIS! SMPN 11 MENANG! Semua senang dengan hal ini. Sang pelatih Alif bangga dengan hal ini. Dan akhirnya, dia memutuskan untuk menjadi pelatih...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar