Kamis, 09 Februari 2012

Pribadi yang Kuat by Vanya Firyal

Saat berumur tujuh tahun, aku harus menghadapi sesuatu yang nggak pernah diharapkan oleh keluarga manapun, yaitu perceraian orangtua. Sebelumnya aku sudah merasakan hubungan yang nggak baik antara orangtuaku. Tiba tiba papa mulai jarang pulang ke rumah. Kalau aku Tanya pada mama, beliau selalu menjawab kalau papa pergi untuk urusan pekerjaan. Awalnya aku percaya dan menganggap semua baik baik saja. Lama kelamaan, aku menyadari kalau hubungan papa dan mamaku sedang bermasalah. Setiap hari mereka selalu bertengkar dan sering kali memaki satu sama lain. Papa bahkan sampai sering membanting barang dirumah. Aku sering dititipkan kepada pembantuku supaya tidak langsung melihat pertengkaran mereka yang terjadi hampir setiap hari itu. Mama juga nggak pernah mau memberikan penjelasan kalau aku bertanya seputar pertengkaran mereka. Mungkin mama berpikir aku masih kecil dan belum perlu mengetahui masalah orang dewasa. Suatu hari papa tidak pulang kerumah dan mama pun begitu. Tiba tiba tanteku datang dan bilang kalau mama ada dirumah nenek. Hampir seminggu mama dan papa tidak pulang ke rumah. Aku semakin gelisah dan merasa sedih. Aku merasa sudah tidak ada yang peduli lagi dengan keadaanku. Setiap malam aku tidak bisa tidur sampai jam dua dini hari. Aku menangis semalaman. Tidak ada yang tahu termasuk tanteku. Mamaku pulang. Sampai akhirnya aku mendapat kabar kalau papa dan mama memutuskan untuk berpisah. Aku sama sekali nggak menyangka kalau mereka akan bercerai. Mama berusaha menjelaskan sebijaksana mungkin mengenai hal tersebut. Kejadian tersebut membuatku syok dan berpengaruh terhadap perilaku aku. Aku mengambil kesimpulan sendiri bahwa akulah penyebab perceraian orangtuaku. Bahkan saat itu aku sampai nekat meneguk obat obatan yang ada dirumah hanya untuk menyembuhkan rasa sakit hati yang aku rasakan. Mama sampai harus membawaku ke seorang psikolog akibat kejadian itu. Aku pun tumbuh menjadi anak yang sangat sensitif. Aku jadi tidak suka bergaul, gampang minder dan sering berpikiran negatif secara berlebihan. Kalau aku melihat teman yang sedang berbisik bisik aku langsung berpikir mereka sedang membicarakan aku. Ataupun ketika ada acara acara disekolah yang mengharuskan orang tua untuk datang, aku sering kali iri dengan teman temanku yang datang bersama kedua orang tua mereka. Sedangkan aku hanya berdua dengan mamaku. Semakin hari perasaanku semakin terpuruk. Aku merasa hidup ini sudah tidak ada gunanya lagi tanpa kehadiran seorang papa. Nafsu makan ku memburuk. Wajahku selalu terlihat lesu. Badanku terlihat tidak sehat. Butuh proses yang cukup lama buatku untuk bisa bangkit kembali. Untungnya, mama nggak pernah berhenti memberikan support untuk aku. Aku juga punya keluarga dan teman teman yang selalu memotivasi dan memberikan masukan-masukan positif supaya aku nggak terus-terusan down. Aku mulai mengisi hari-hariku dengan kegiatan-kegiatan yang menarik sehingga aku mulai merasa tidak sedih lagi. Seminggu tiga kali aku mengisi hariku dengan mengikuti les tari tradisional. Disana aku merasa senang selain aku memang suka menari, disana aku mendapatkan banyak teman baru dan kegiatan ini sedikit membuatku lupa tentang masalah yang akhir-akhir ini membuatku selalu murung. Di samping itu, aku termotivasi dengan melihat betapa tabahnya mama menghadapi masalah dikeluarga kami. Aku tahu perasaannya mungkin lebih hancur dibanding aku. Beliau selalu memberiku contoh yang positif dan aku punya keinginan untuk bisa menjadi seperti beliau, yaitu dengan menjadi perempuan yang kuat. Berasal dari keluarga broken home bukanlah alasan untuk menjadi terpuruk dan menjalan hidup yang nggak normal. Aku sekarang sudah bisa membuktikan kalau aku juga bisa hidup normal dan melakukan banyak hal yang positif tanpa memikirkan masalah yang sudah berlalu itu. Bahkan saat ini, hubunganku dengan papa juga semakin baik. Aku udah mulai bisa berkomunikasi bahkan jalan-jalan bareng papa meskipun kadang kadang masih terasa canggung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar