Rabu, 08 Februari 2012

Biola Aurel by Indira Dwesy Ariyani

Annisa Ditya. Sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Sahabat yang selalu membuat duniaku berwarna. Sahabat yang selalu ada saat aku membutuhkan tempat untuk bercerita. Sahabat yang sudah mengerti sifat-sifatku dan aku merasa sangat beruntung memiliki sahabat sepertinya. Aku dan Ditya mempunyai hobi yang sama, yaitu bermain musik. Alat musik yang dikuasai Ditya adalah piano, sedangkan aku senang bermain biola. Namun Ditya lebih pandai menyalurkan bakatnya, Ditya sering mengikuti konser atau perlombaan, bahkan Ditya pernah mengikuti lomba di Amerika. Keahlian Ditya memang sudah terbukti, Ditya banyak mendapatkan penghargaan dan hal itu membuatku iri. Aku memang senang bermain biola namun aku tahu bahwa kemampuanku masih sangat standar. Aku tidak seperti Ditya yang mengikuti kursus, aku berlatih sendiri. Dulu sewaktu aku berusia 7 tahun, mama mengajariku bermain biola. Mama adalah pemain biola yang cukup terkenal, namun saat ingin mengikuti konser di Perancis, mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan dan akhirnya mama meninggal. Seluruh keluargaku sangat terpukul atas kejadian itu, dan karena aku anak tunggal, mereka mengharapkan aku untuk menjadi penerus mama. Aku sebenarnya kesulitan untuk mewujudkan harapan itu karena mereka meminta agar aku belajar bermain biola sendiri dan tidak mengikuti kursus, seperti yang dilakukan mama dulu. Ditya selalu memberiku semangat, dia selalu mengingatkanku untuk terus berlatih. Bahkan Ditya sering menawariku untuk mengikuti perlombaan di tempat kursusnya, hanya saja aku merasa belum siap dan aku menolaknya. “Rel, ada perlombaan biola lagi loh! Para juaranya nanti dapat kesempatan untuk sekolah musik di Paris. Ikut dong!” ajak Ditya seperti biasanya. “Mmm, gak deh. Aku merasa belum siap Dit”, “Terus kapan kamu siap? Jadi orang itu harus berani mencoba. Cari pengalaman saja. Ingat Rel, kamu harus menjadi penerus mama mu,” kata Ditya. “Tapi aku…”. “Sudah ikut aja! Nanti aku ambilkan formulirnya”. Ya, Ditya benar. Aku harus mulai mencoba. Menang atau kalah itu urusan belakangan yang jelas aku harus mengikuti perlombaan itu dan yang terpenting keluargaku harus mengetahui hal ini. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa. Hari ini adalah babak penyisihan pertama. Aku memang akhirnya setuju untuk mengikuti perlombaan itu. Papa, kakek dan Ditya datang menemaniku. Jujur, aku takut. Aku belum pernah bermain biola di depan banyak orang. “Aurel, Papa dan Kakek sangat mengharapkan kamu bisa lolos dipenyisihan ini. Tunjukan pada kami.” Tiba-tiba papa menghampiriku. Kata-kata papa terus terngiang di pikiranku. Aku menjadi sangat terbebani dengan kata-kata papa. “Aurel, lolos atau tidak, itu urusan belakangan. Aku juga sering gagal kok. Justru kegagalan itu adalah pelajaran yang paling baik. Sekarang kamu bermain dengan hati.” Ditya berusaha menghiburku. “Berikutnya kita panggil peserta dengan nomor undian 10, Aurelia Rizka. Beri sambutan yang meriah.” MC sudah memanggil namaku, ini saatnya untuk mempersembahkan yang terbaik. Tepuk tangan menyambutku saat aku berada tepat di tengah panggung. Aku memberanikan diri untuk tersenyum, meski sangat gugup. Di kursi penonton aku melihat ayah, kakek dan Ditya menatapku penuh arti. “Saya akan membawakan lagu ciptaan mama saya, Jessica Kusniandri, I Wish You Hear My Song” Kutarik napas dalam-dalam, lalu aku mulai mengesek biolaku. Aku mencoba menghayati setiap nada yang terdengar. Sampai pada lagu terakhir, aku merasa semua penonton terdiam, aku tidak tahu, mungkin permainanku tidak bagus. Tapi setelah aku berhenti memainkan biolaku, ku dengar tepuk tangan riuh dari para penonton. Semoga apa yang ku tampilkan adalah yang terbaik. “Permainan yang bagus, Rel. Selamat.” Ditya memelukku saat aku turun dari panggung. Aku hanya tersenyum kecil. Ditya mengajakku duduk di bangku penonton untuk menyaksikan penampilan para peserta lain. Aku tidak yakin bisa masuk 15 besar. Jumlah seluruh pesertanya saja hampir 50 orang dan menurutku semua peserta bermain bagus. “Baik, semua peserta sudah menampilkan yang terbaik. Kini saatnya pengumuman para peserta yang lolos 15 besar”. Aku mendengar tepuk tangan yang meriah dari penonton. Aku merasa takut. “Bianka Stevani, Riana Sandra, Kevin Junio, Gilang…..” Lama sekali. Kenapa namaku tidak disebut? “Yang terakhir adalah Aurelia Rizka. Selamat kalian semua lolos ke 15 besar. Grand final akan diadakan 4 bulan lagi. Tingkatkan kemampuan kalian dan tunjukan pada saat Grand Final. Terima kasih,” kata MC, sebelum akhirnya meninggalkan panggung. “Selamat Aurel, kamu sudah membuktikan pada Kakek dan Papa. Mamamu pasti bangga. Buktikan 4 bulan mendatang”. Kakek memelukku. Aku merasa sangat senang. “Aurel aku punya satu berita lagi. Dua bulan lagi aku akan mengadakan konser tunggal. Aku mau kamu bermain bersamaku, Nyonya Aurel,” ajak Ditya sambil tertawa.“hah? apa? Tidak, terima kasih, Nyonya Ditya,” jawabku cepat. “Oh, baik kalau begitu. Aku marah.” Ditya cemberut.“Yah, kok marah sih? Ya sudah lah. Aku mau“. Ini saatnya, beberapa menit lagi konser tunggal Ditya dimulai. Ayah Ditya sudah mempersiapkan semuanya, mulai dari tempat, dekorasi, MC serta piano indah di atas panggung dan semuannya sangat menakjubkan. Penonton yang hadir bukan hanya keluarga Ditya saja, tapi juga teman-teman Ditya, beberapa musisi terkenal, dan beberapa artis. Acara kini sudah dimulai. Ditya sudah duduk di depan pianonya, di atas panggung. Hari ini penampilan Ditya sangat berbeda, lebih segar. Dia menggunakan gaun putih yang sangat serasi dengan warna pianonya. Ditya akan memainkan 10 lagu dan 1 buah lagu akan dimainkan bersamaku. Sambil bermain piano, Ditya juga bernyanyi. Suaranya sangat indah. Semua penonton terdiam seakan terbius oleh penampilan Ditya. “Lagu yang terakhir berjudul You Are The Best Angel. Tapi kali ini saya akan ditemani sahabat saya, Aurel. Saya mohon tepuk tangannya untuk Aurel,” ujar Ditya di atas panggung. Aku naik ke atas panggung. Ku tatap semua penonton, lalu tersenyum. Ditya menganggukan kepalanya. Sorot matanya benar-benar dalam. Aku tersenyum padanya dan mulai menggesek biolaku. Suara lembut Ditya membuatku sangat berhati-hati akan permainanku. Sampai-sampai aku tidak menghayatinya. Aku gugup. Tiba-tiba nada yang kumainkan fals. Saat ku tatap Ditya, dia tampak bingung. Aku semakin tegang. Aku sudah melakukan kesalahan. Fatal. Ditya berhenti memainkan pianonya. Ku lihat tangannya gemetar. Dia menatapku cemas. Kesalahanku saat bermain biola mengakibatkan Ditya menjadi bingung dan melakukan kesalahan juga. Kami terdiam. Ku dengar penonton mulai berisik. Ditya panik. Ditya melanjutkan lagunya tanpa diiringi piano. Setelah lagu selesai dinyanyikan, penonton bertepuk tangan. Wajah Ditya pucat. Dia langsung pergi meninggalkanku di atas panggung. Aku segera mencari Ditya di ruang kostum. Saat ingin membuka pintu, aku mendengar percakapan di dalam. “Anak bodoh. Kenapa kamu melakukan kesalahan? Kamu tahu, banyak teman-teman Papa yang menonton, mau ditaruh mana muka Papa. Keterlaluan”. “Maaf. Aku benar-benar gugup. Aku binggung, Pa”, “Makanya, dengarkan kata-kata Papa. Tidak perlu kamu mengajak pemain biola gadungan seperti dia. Berbakat apa? Permainannya sangat jelek. Seperti pengamen kampungan”. Tiba-tiba pintu terbuka. Papa Ditya kaget melihat aku yang berdiri di depan pintu. Papa Ditya tidak berkata apa-apa. Beliau langsung pergi setelah menatapku tajam. Ditya menatapku sinis, “Puas kamu, Rel? Sudah puas kamu mempermalukan aku? Sudah puas menghancurkan keinginanku?” teriak Ditya. “Maaf. Aku benar-benar gugup. Aku…”. “Halah, sudahlah. Kamu itu teman yang tidak tahu berterima kasih.” Ditya lalu berdiri menghampiriku dan mengambil biola yang ku pegang lalu melemparnya sekuat tenaga. Biolaku menghantam tembok, Ditya juga menginjak biola itu dan patah. “Ditya, biolaku?” “Biarkan. Biolamu tidak ada gunanya. Hanya membawa kesialan. Aku benci biola itu dan aku benci kamu, Aurel. Semua yang telah aku persiapkan bertahun-tahun, hanya dalam hitungan menit kamu hancurkan bersama biolamu yang gembel itu,” bentak Ditya. “Udah ya Dit! Aku memang salah! Aku memang pemain biola gadungan! Aku emang kayak pengamen kampungan! Tapi denger ya Dit, biolaku ini sangat berharga, Ini peninggalan almarhum mama. Kamu boleh mencaciku, tapi bukan dengan merusak biolaku! Jika konsermu kali ini gagal, kamu bisa mengadakan konser lagi. Tapi aku? Apa aku bisa dapat biola sama persis seperti ini? Pikir, Dit!! Kamu terlalu egois. Tidak memikirkan perasaanku juga”. Aku tidak bisa menahan tangisku. Aku pergi meninggalkan Ditya. Aku benci hari ini. Benci semua kebodohan yang sudah aku lakukan. Maaf Ditya, tapi kamu keterlaluan. Ternyata hidup tanpa sahabat itu sangat tidak nyaman. Sepi. Itu yang aku rasakan 2 minggu terakhir ini. Aku dan Ditya memang sudah tidak berkomunikasi lagi. Tapi memang itu adalah jalan terbaik. Pagi ini kuawali hari dengan kemalasan. Saat ingin berangkat sekolah, seperti biasa aku tidak bertemu papa. Dia pasti sudah berangkat kerja. Hanya ada Mbak Ayu yang setia menemani pagiku. Aku menemukan sebuah biola berwarna merah muda di depan pintu rumahku. Sangat cantik. Aku heran, mengapa ada biola di depan pintu rumah. Siapa yang meletakannya? Oh, mungkin papa ingin memberi kejutan. “Rel, aku turut berdukacita, ya” ucap Santya saat aku baru tiba di kelas. “Apa?” tanyaku heran. “Sabar ya, Rel, semua pasti ada hikmahnya” kata seorang murid lain. Dan dengan seketika semua orang yang berada di dalam kelas menghampiriku, menyalamiku dan berusaha menghiburku. Seakan ada sesuatu hal yang terjadi. Tapi aku belum juga mengerti. “Gina, ada apa sih? Kok teman-teman menyalamiku?” tanyaku pada Gina akhirnya. “Loh? Kamu gimana sih Rel? Semua menyalami kamu karena kita turut berdukacita atas meninggalnya Ditya, dia kan sahabat kamu. Jadi pasti kamu sedih banget, ya? Sabar ya, Rel”. Tuhan, apa yang baru aku dengar? Ditya? Annisa Ditya? Meninggal? Aku pasti mimpi. Ditya tidak mungkin meninggal. Sangat konyol. Tuhan sadarkan aku dari mimpi buruk ini! Jantungku berdetak kencang. Pandanganku mulai berbayang. Tubuhku lemas hingga akhirnya semuannya menjadi gelap. Aku bahagia atas semua anugrah yang Tuhan beri, terlebih saat ku menemukan gadis cantik seperti Ditya. Gadis manis yang baik, yang selalu ada jikaku membutuhkannya, yang mengisi hariku dengan kesenangan. Sayang, aku terlalu bodoh. Aku ga bisa menjaga hatinya. Melukai perasaan Ditya. Mengapa semua ini terjadi? Mengapa kamu benar-benar pergi dari hidupku? Perih rasanya mengingat Ditya. Bayang-bayang kematian Ditya yang tragis seolah menghantuiku. Ditya meninggal setelah mengantarkan biola itu ke rumahku, dia kecelakaan, mobilnya tertabrak kereta api dan kini aku membenci diriku sendiri. Aku membenci biola itu! Ya, biola merah muda yang sangat cantik dari Ditya dan dibelakang biola itu ada inisial namaku, AK. Ditya ingin menggantikan biolaku yang rusak dengan yang baru. Sayangnya setelah biola itu tergantikan, justru Ditya yang kini membuatku sedih. Mengenangnya, mengingat semua tentang persahabatan kita, sungguh menyesakan dadaku. Ingin ku putar waktu dan perbaiki semua kesalahkan ku pada Ditya. Penyesalan ini sungguh memilukan. Aku benci biola! Biola telah membuat 2 orang yang aku sayangi pergi meninggalkanku. mama, Ditya, lalu besok siapa lagi? Aku benci biola! Aku benci mendengar setiap nada yang dihasilkan barang itu. Aku benci mendengar setiap alunan nadanya. Nada yang membuatku mengingat semua kenangan pahit. Akan ku buang jauh-jauh impianku untuk menjadi pemain biola. Maaf ya mama, papa, Ditya, aku tidak akan menyentuh biola lagi. Terlalu banyak kenangan buruk yang sudah kulewati bersama biola. Aku tidak akan melanjutkan perlombaan itu. “Selamat datang pada konser kolaborasi 2 musisi handal. Para hadirin dipersilakan duduk dengan tenang karena konser akan kita mulai. Ini dia, Jesicca Kusniandri dan Annisa Ditya. Beri tepuk tangan yang meriah”. Mama? Ditya? Aku melihat mereka. Aku harap semua yang ada di depan mataku benar. Mama, Ditya, aku sangat merindukan kalian. Tapi bagimana mungkin mereka bisa konser bersama? Bukankah mama tidak mengenal Ditya? “Lagu ini kami persembahkan untuk seseorang yang sangat kami cintai. Dia sedang menghadapi banyak cobaaan. Tapi kami yakin, dia pasti mampu menghadapi semuanya. Lagu ini berjudul Give Me The Best”. Sudah lama aku tidak mendengar suara mama. Beberapa saat kemudian, mama memainkan biola biru muda kesayangannya dan Ditya dengan indah menyanyi dan memainkan pianonya. Semua penonton membisu, termasuk aku. Mendengarkan dan menghayati setiap syair lagu. Hingga sampai lagu selesai, tatapan mataku tidak pernah lepas dari mereka. “Untuk seseorang yang berada di bangku penonton, saya hanya ingin berkata, bahwa jangan pernah menyia-nyiakan talenta yang sudah Tuhan beri. Pergunakanlah, karena tidak semua orang memiliki kemampuan itu. Aurel, mainkanlah nada-nada indah melalui biolamu. Buatlah kami tersenyum. Mendengar setiap alunan indah yang kamu buat dari biolamu” Dengan segera aku berusaha berlari mengejar bayangan mama dan Ditya yang semakin menjauh. “Mama! Ditya!” teriakku. Keringat mengalir di tubuhku. Aku tersentak. Ketika aku sadar, aku masih berada di atas kasur. Bukan di konser. Jadi semua itu hanya mimpi? Kenapa terasa begitu nyata? Lalu apa maksud dari perkataan Ditya dan mama? Tuhan, bantu aku menjawab semua ini. Aku tidak mengerti. Paris. Kini kehidupanku berlanjut di kota impian mama, saat mama ingin mengadakan konser dulu. Akhirnya aku mengikuti Grand Final lomba biola itu dan ternyata Tuhan mempunyai rencana indah untukku. Aku menang dan aku mendapat beasiswa untuk memperdalam kemampuanku bermusik. Di Paris. Aku meninggalkan bangku SMP yang banyak memberiku kenangan, melanjutkan SMAku disini. Berat memang. Tapi inilah keputusanku. Semua ini kupersembahkan untuk mama, papa dan Ditya. Juga semua orang yang telah mendukungku. Aku dan biola akan tetap bersatu. Aku dan musik tidak akan pernah terpisahkan lagi. Aku memainkan biolaku. Memainkan lagu ciptaan mama, memainkan lagu ciptaan Ditya. Dalam setiap alunan nadanya mengantarkan rasa rindu dan sayangku untuk mama dan Ditya yang kini berada di tempat terindah. Terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar