Rabu, 15 Februari 2012

Sang Juara Kelas by Fridollin

Pada suatu hari, di Sekolah diadakan perlombaan seru dalam rangka ulang tahun sekolahku. Hari itu kelihatan mendung, namun berbagai perlombaan tetap dilaksanakan. Perlombaan yang diadakan antara lain basket, sepak takraw, volley, tenis meja, catur dan berbagai perlombaan lainnya. Aku mengikuti perlombaan catur. Pertandingan catur antarkelas diikuti oleh seluruh perwakilan kelas. Pertandingan catur akhirnya dimenangkan Wisnu sebagai juara pertama, kemudian disusul Sebastian sebagai juara kedua dan aku sebagai juara ketiga. Sambil menimang-nimang pialanya, Wisnu tertawa riang. Sedang aku dan Sebastian cukup puas dengan hadiah yang terdiri dari beberapa pensil dan buku tulis itu. Setelah bel terakhir berbunyi, kami lalu berlarian pulang. Jalan demi jalan kami tapaki. Namun di tengah jalan, ternyata hujan tiba-tiba menderas, kami pun terpaksa harus berteduh di pos ronda. “Untuk mengisi waktu, siapa yang berani melawan aku?” Tanya sang pemenang sambil mengeluarkan kotak caturnya dari dalam tas. “Perut lapar, Segan ah!” sahutku. ”Ah, juara ketiga takut rupanya, bagaimana dengan juara kedua?” tanya Wisnu pula. “Males, ah!!” jawab Sebastian yang sambil duduk memeluk lutut. “Ah… payah, dasar pecundang, masa takut sama aku!!” sahut Wisnu yang menyombongkan diri. Dan ketika itu masuklah seorang yang bertubuh kerdil, baju dan sarungnya basah kuyup. Sebelum duduk, orang itu mengambil sapu tangannya lalu mengelap muka. “Untuk iseng pak, mari main catur!!” Tantang Wisnu kepada orang itu. Orang itu menyulut rokoknya baru menyahut, “Saya tidak bisa main catur, Nak!” “Ah, masa!” Ujar Wisnu sambil membetulkan buah caturnya. “Ajari jalannya, ya!” sahut orang itu sambil mengingsut duduknya. Lalu dengan gaya seorang juara catur kelas berat, Wisnu memberi pelajaran kepada orang itu. “Untuk langkah pertama, pion boleh maju dua langkah” kata Wisnu. Dengan langkah ragu, orang itu memajukan sebuah pion dua langkah. “Nah, saya juga maju dua langkah.” “Kalau ini jalannya bagaimana?” “O, itu kuda. Jalannya membentuk huruf L” jawab Wisnu. “Ya, saya maju ke sini.” lalu orang itu memajukan kudanya. Keduanya lalu asyik bermain. Tiap mau melangkahkan buah caturnya, orang itu hampir selalu menanyakan bagaimana jalannya. Namun, Wisnu tetap teguh pada pendiriannya untuk mengajarkan bapak itu mengenai catur, walaupun kelihatannya Wisnu kesal mendengar bapak itu menanyakan cara jalannya. Hujan terus saja mengucur dengan derasnya. Kulihat Sebastian senyum-senyum sambil memeluk lutut. Aku hanya bisa duduk merunduk menahan lapar ingin segera pulang, segan mengikuti orang main catur. Saat aku melihat Wisnu, aku tertawa dalam hati ketika ia mulai kelihatan kebingungan. Ternyata aku tahu mengapa Sebastian tadi tertawa sendiri melihat Wisnu dan bapak itu saling beradu. Dalam hati aku berkata bahwa mungkin Sebastian tertawa karena wajah Wisnu kelihatan gugup menghadapi orang itu. “Yang ini, boleh maju dua langkah?” kata orang itu dengan suara agak keras. “Itu ster, boleh saja.” sahut Wisnu jengkel. Aku memutuskan tidur sejenak sambil memperhatikan mereka. Lalu aku bangkit dan memperhatikan permainan mereka berdua. Aku jadi tersenyum. Kiranya Wisnu semakin terdesak. “Kalau kuda jalannya L ya? Nah, saya mau maju ke sini saja!” kata orang itu. ”Itu namanya skak,” suara Wisnu gugup. ”O, ya skak!” Kata orang itu. Wisnu memindah rajanya. ”Ster boleh maju tiga langkah, ya?” Wisnu cuma mengangguk. Kelihatan gelisah sekali sekarang. ”Ya, saya maju ke sini!” Kulihat muka Wisnu menjadi merah padam. Kiranya dia kena skak lagi. Rajanya terjepit. Tidak ada jalan lagi. ”Celaka, raja saya mati!” suara Wisnu parau. ”Heh, mati?” tanya orang itu. “Ya, bapak yang menang.” “Apa? saya yang menang, masa?” tanya orang itu seolah-olah linglung. Wisnu mengangguk lalu memasukkan buah-buah caturnya ke dalam kotak. Sementara itu hujan telah reda. Kami pun berlarian pulang. ”Sialan, saya lengah dan jadi kalah.” gerutu Wisnu sambil berlari. ”Kau memang belum apa-apa kalau melawan orang itu,” sahut Sebastian terus disambung dengan tawanya. “Heh, jadi… jadi?” ujar Wisnu gugup. “Lawanmu tadi Pak Fauzan namanya,“ sahut Sebastian, “dia juara catur pertama tingkat kecamatan tahun lalu.” “Oh, pantas… pantas…”, desis bibir Wisnu. “Oh, jadi dia ini juara catur kecamatan tahun lalu, pantas…”, ujarku. Terdengar gelak tawa Sebastian. Tawaku pun tak bisa kutahan seiring ku ketahui ternyata orang itu adalah juara catur kecamatan. Sedang Wisnu kulihat nyengir kuda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar