Senin, 13 Februari 2012

Lukisan Ana by Ronald Aditya

Ana berjalan sendirian di pantai. Villa tempatnya menginap bersama orang tuanya sudah jauh di belakang. Dia menyusuri pantai carita yang indah. Ombaknya lembut dan tidak berisik, seperti di Pangandaran atau Bali. Beberapa pengunjung juga mandi di laut sambil menikmati matahari sore yang begitu terang. Anak-anak kampung pun bermain bola plastik dan berguling guling di pasir. Ana mebiarkan air laut menempel di kakinya. Akhirnya Dia berhenti, menyaksikan para nelayan yang sedang menarik jala, yang sudah ditebar sejak siang tadi. Mereka membuat barisan dua kelompok. Kedua tali itu mereka tarik berbarengan, diiringi nyanyian nelayan yang mengharapkan banyak ikan yang tertangkap. ”Ayo, tariiiik!” Teriak nelayan. ”Tarik!” Sambut yang lain. Para nelayan itu dengan gembira menarik tali jala. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Ana bahwa ikan yang selama ini yang berada di meja makan tersebut, taruhannya adalah tetesan keringat para nelayan. Betapa tidak seimbang antara tenaga yang dikeluarkan dan penghasilan yang didapat. Betapa asin hidup mereka, seperti rasanya air laut. Yang menikmati jerih payah mereka selalu saja para pedagang, dan orang orang kaya di restoran-restoran sea food yang ternama di kota besar. Di antara keharmonisan pantai; perahu, ombak, nelayan, dan pohon kelapa yang melambai, Ana melihat seorang pemuda berambut gondrong, tertawa-tawa ikut menarik tali jala. Ia bertelanjang dada dan berwajah ganteng. Pemuda itu tampak mencolok di antara para nelayan, yang rata-rata hitam dan kusut. Siapa anak gondrong itu? Batin Ana bertanya. Tidak lama jala pun sudah ditarik ke pantai. Beragam ikan terjaring di jala. Tidak begitu banyak, tetapi tetap membuat nelayan bergembira. Mereka sudah terbiasa pasrah menerima bahwa rezeki yang datang hari ini sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Besar. Mereka mengambili ikan itu lalu para wanita memasukkannya ke bakul-bakul. Wanita-wanita itu menawar harganya dan terjadilah jual-beli. Para wanita bakul itu membawanya ke pasar. Mereka menjual ikannya lagi. Dari pasar atau , ikan-ikan itu berpindah tangan lagi. Pada akhirnya, ikan itu terhidang di meja makan. Saat memakannya, kita tidak pernah menyadari bahwa para nelayan berada di tengah lautan untuk mencari ikan. Ana mendekat. Hatinya begitu sedih dan prihatin melihat nasib nelayan. Penghasilan yang mereka peroleh tidak seimbang dengan tenaga yang dikeluarkan. Tiba-tiba ia terlonjak kaget. Ia menjerit takut dan geli ketika ada udang meloncat ke kakinya. Orang-orang kampung tertawa lucu dan gembira, lebih-lebih pemuda kota itu. Malah, dengan nakal anak kota yang ganteng itu menakut-nakuti Ana dengan kepiting. Ana mundur sambil menjerit. ”Masak sih sama kepiting saja takut?” pemuda gondrong itu tertawa kecil, ” dasar anak manja!” Para nelayan tertawa melihatnya, sedangkan Ana tertegun mendengar omongan anak kota tadi. Anak manja, batinnya sebal. Sungguh tidak enak julukan itu. Sekarang, dia tidak ingin dibilang anak manja. Itu julukan ketika dia masih di SMP. Sekarang, dia baru saja berulang tahun yang ke 17! Berarti, kini masa pembebasan bagi hidupnya. Masa di mana dia dituntut lebih mandiri, mampu memutuskan sikap jika ada kesulitan, dan belajar untuk memecahkan persoalan sendiri. Kemarin, Ana merayakan ulang tahunnya yang ke 17 di sebuah hotel berbintang. Ia mendapat tepuk tangan, kecupan, dan kado dari kawan-kawannya. Akan tetapi, hatinya tetap kosong karena tidak ada pacar yang mendampingi. Ana anak tunggal. Orang tuanya memang sangat memanjakannya. Mereka tidak pernah melepaskannya pergi sendirian. Tidak pernah membiarkannya kepanasan, kehujanan, apalagi mesti berdesak-desakan di bis kota. Sebuah sedan serta supir pribadi selalu setia melayani ke mana saja Ana pergi. Ana gadis cantik, tetapi kekayaan, kehormatan dan aturan dari orang tuanya membuat setiap pemuda di sekolahnya berpikir jutaan kali untuk menjadi pacarnya. Di malam hari, tidak ada pacar yang bertamu sendirian bertamu ke rumahnya, terlebih malam minggu. Rumanya yang meah dipagari tembok setinggi 2 meter. Di pintu gerbangnya terdapat tulisan ”Awas anjing galak” dan dijaga Satpam. Ana memang terkurung di tembok seperti istana. Dia kadang suka bermimpi, suatu hari ada satria gagah berani datang melamarnya seperti di dongeng-dongeng jaman dulu. ”He, siapa anak manja! Sembarangan aja menuduh!” tiba-tiba muncul keberanian dalam diri Ana. Pemuda bandel itu tersenyum. ”Oh, jadi sekarang sudah tidak mau disebut anak manja lagi? Bagus itu,” katanya mendekat. ”Kalau betul begitu, kamu mesti berani memegang kepiting ini. Bagaimana Anak Manja?” Ana terkaget-kaget. Ia merasa jantungnya hampir copot. Keringat dingin tiba-tiba muncul dari kulitnya. Ia merinding. Perasaan takut itu muncul sangat kuat sekali. Ana merasa sekelilingnya tiba-tiba berputar dan berubah gelap. Ana jatuh pingsan. Pemuda gondrong itu menahannya untuk tidak jatuh ke pasir. Dia meminta tolong kepada beberapa nelayan untuk menggorong Ana. Ana menggeliat. Sebuah handuk basah menutupi keningnya, lumayan sejuk. Lalu ketika pulih, dia kaget sekali mendapatkan dirinya ada di sebuah dipan beralaskan tikar. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang sudah terjadi padanya. Si gondrong brengsek itu! Makinya kesal. Ana berusaha untuk bangun. Angin pantai bertiup sepoi-sepoi lewat jendela. Dia bisa melihat ombak berdebur dari jendela. Betapa nyaman dan indah pemandangan dari sini. Pasir, ombak dan langit yang penuh misteri. Dari jendela dia bisa melihat beberapa lukisan yang belum jadi, cat minyak, dan kanvas tergeletak di teras luar. Ana langsung meneliti ruangan ini, yang kira-kira sebesar 4 X 5 meter. Ruangan tersebut berdinding bilik dari anyaman kulit bambu. Di sana banyak lukisan tergantung, ada lukisan Purnama Dalam Laut, Senja Dan Perahu, Ombak Dan Karang, Matahari Pagi, dan lukisan seorang gadis Eropa tanpa busana sedang menelungkup di pasir. Huh, dia langsung mengalihkan pandang! Tidak beradab! Ana melihat keluar lagi. Di pantai tampak para nelayan yang berkerumun. Mereka tersenyum kepadanya. Ana berusaha membalas senyum mereka, walaupun masih terasa pusing. Tiba-tiba pintu berderit dibuka orang. ”Sudah bangun, non,” sebuah kepala melongok dari pintu. “Kalau masih pusing, istirahat saja, ” senyumnya mengembang. ”Tidak usah sungkan, ini gubukku, koq.” Lantai dari papanpun berderak diinjaknya. Ana bergetar melihat senyum si brengsek itu. Sebelumnya ia belum pernah merasakan ini. Dia langsung melengos, melihat suasana di luar gubuk yang mulai gelap. Pemuda itu menyalakan lilin. Cahayanya yang kecil mulai menyinari memenuhi ruangan. Betapa mulianya lilin, walaupun tubuhnya terbakar tetap memberi penerangan pada seisi bumi. ”Gubuk ini aku sewa sejak setengah tahun lalu. Aku rombak lagi. Aku bikin panggung, ” kata si pemuda. Ana sudah duduk di bibir dipan kemudian ia berdiri. “Aku paling betah jika duduk dekat jendela, ” kata si pemuda lagi, berdiri di depan jendela. Ia membuka daun jendela lebar-lebar. “ Pantai, ombak, dan langit seolah-olah menjadi milikku,” katanya lagi. Senja sebentar lagi akan tiba. ”Saya minta maaf, ” pemuda bandel itu tersenyum lagi. Ana menuju pintu. Dia bermaksud kembali ke villa. Orang tuanya pasti cemas menunggu. Dengan kikuk dia meniti tangga bambu yang curam itu. ”Mau pulang sendirian? Berani?” si Badung ini menakut-nakuti. ”Tidak baik lho gadis secantik kamu jalan sendirian. Sebentar lagi gelap. Nanti ada sandekala menculik kamu!” katanya sambil melompat ke pasir. Ana berhenti. Kalimat si Badung tadi mempengaruhinya juga. Apa lagi ketika sandekala, hantu yang suka berkeliaran menculiki anak-anak di saat pergantian saat senja ke malam hari, disebut-sebut. Bulu kuduknya berdiri. Ketakutan terlihat jelas di wajahnya. ” Orang tuaku pasi cemas menunggu aku pulang,” suara Ana bergetar. Pemuda gondrong ini tertawa. ”Mendingan kita nikmati senja dahulu, yuk!” ajaknya menawarkan. ”Nanti saya antar pulang, deh,” katanya lagi sambil memanggil pedagang kelapa muda. Dia minta dikupaskan 2 buah. Anehnya, Ana tidak sanggup menolak. Dia mengikuti saja ke mana pemuda ini melangkah. ”Nama saya Ronald,”dia memperkenalkan diri. Ana menatapnya dengan bingung. Selama ini, dia tidak terbiasa berbicara dengan lelaki asing. Di sekolah saja dia hanya bicara seperlunya dengan kawan-kawan lelakinya. ”Kalau keberatan menyebutkan nama, ya tidak apa-apa,” Ronald menyodorkan kelapa yang sudah dikupas dan dilubangi. ”Ayo, minumlah. Segar, lho,” ajaknya. Kelapa muda itu menantangnya. Ana ragu-ragu mengambilnya. Dia belum pernah minum kelapa muda sembarangan seperti ini. Bagaimana kalau goloknya kotor? Bisa-bisa kena diare nanti. Wah, orang tuanya pasti bakalan pingsan! ”Ambillah,” Ronald memaksanya. Akhirnya Ana mengambil kelapa muda itu. Ronald membayar lima ratus rupiah untuk 2 buah. ”Duduk disana , yuk,” dia menunjuk sebuah perahu yang ditelungkupkan. Ronald berjalan duluan. Anehnya kaki Ana bergerak mengikuti Ronald. Mereka menuju perahu rusak itu. Ronald melirik, tetapi Ana menunduk. Hati gadis manja itu berdebar-debar. Ronald duduk menggelesot di pasir sambil menyandar di punggung perahu. Ana berdiri kagok. Lengannya bergetar memegangi kelapa muda. ”Kalau takut kotor, ya , duduk di perahu saja,” Ronald meenggak air kelapa muda itu. Air kelapanya bercipratan dari bibirnya. ”Oh, segar!” betapa nikmatnya suaranya. ”Sekarang giliran kamu minum! Ayo!” Ana tanpa sadar mencoba meminum langsung dari buah kelapa. Belum juga bibirnya menempel pada lubang, air kelapa sudah berhamburan ke wajah serta kausnya. Ronald tertawa keras, sedangkan Ana cemberut. Ronald mengajari Ana, bagaimana cara meminum kelapa langsung dari buahnya. Ana mencobanya. Lagi-lagi air kelapa itu berhamburan ke pipi serta kausnya. Ana tertawa kecil. Tiba-tiba dia merasa gembira. Dicobanya sekali lagi, kali ini pelahan-lahan. Dia berhasil meminumnya sedikit, walaupun terbatuk-batuk. “Lumayan untuk permulaan! Dasar orang kota!” ejek Ronald. Ana dengan malu-malu duduk di perahu, tetapi terpeleset. Memang sulit duduk di punggung perahu jika tidak terbiasa. Gadis itu mencoba lagi. Kali ini lebih parah, ia tergelincir dan jatuh ke pasir. Ronald terpingkal-pingkal saking senangnya. ”Duduk di sini saja,” Ronald menarik Ana agar duduk di sebelahnya. Anehnya Ana menurut saja. Mereka kini menghadap layar raksasa di barat. “Kamu pernah melihat senja?” tanya Ronald. Ana mengangguk. “Saya melihatnya di Kuta dan Pangandaran,” jawab Ana. ”Senja di Kuta pasti indah ya,” kata Ronald. ”Saya rasa lebih indah di sini,” Ana terpaku begitu ada perubahan dahsyat serta magis di langit barat Selat Sunda. Ronald juga merasakannya. Matahari pelan-pelan mulai terbenam. ”Ya, senja di sini lebih indah, betapa damai dan tenang. Kalau di Bali dan Pangandaran, berisiknya minta ampun,” kata Ana. Ronald mendengarkan, tetapi matanya tetap terpaku pada perubahan alam yang ajaib itu. Baginya langit senja adalah kanvas Tuhan dengan lukisan yang cat minyaknya diambil dari sungai-sungai di surga. “Kamu seniman , ya?” Ana menebak. Ronald mendelik. “Maksudku, kamu pelukis,” lanjut Ana. ”Aku sedang latihan melukis alam,” Ronald memberitahu bahwa dirinya mahasiswa seni rupa di Jakarta. Ana menatapnya takjub. ”Lukisan-lukisan di gubuk kamu tadi bagus, lho,” puji Ana, ”kecuali ....,” dia tidak meneruskan kalimatnya. ”Kecuali apa?” Ronald tersenyum. ”Kecuali satu yang jelek,” kata Ana. ”Yang mana?” tanya Ronald. ”Lukisan cewek telanjang!” kata Ana. Ronald tertawa. ”Kamu mau aku lukis seperti itu?”pancingnya. ”Ih, amit-amit!” pipi Ana memerah. ”Kamu mau saya lukis?” tanya Ronald. ”Betul? Kapan?” Ana gembira. ”Besok , ya!” Ronald menentukan. Ana mengangguk-angguk mirip bocah yang mendapat hadiah boneka. ”Sekarang antar saya pulang,” Ana berdiri. Dia menepuk-nepuk pasir yang menempel di kakinya. ”Akan tetapi, kamu belum menyebutkan nama,” kata Ronald. ”Nama saya jelek,” Ana menyebutkan namanya malu-malu. Ia menunduk. ”Siapa yang bilang jelek?” Ronald tersenyum dan mencari-cari sesuatu di balik karang. ”Cari apa, Ron?” tanya Ana. ”Cari kepiting!” jawab Ronald. Ana berlari ketakutan, ”Oh, jangan, Ron!” Ronald tertawa mengejarnya sambil mengacung-acungkan seekor kepiting. Mereka berkejaran di pantai dengan latar belakang cakrawala yang merah jingga. Mereka tertawa-tawa bermain ombak sampai basah serta berlumuran pasir. Senja betul-betul sudah berlalu. Langit kini berubah hitam dan terang oleh sejuta bintang. Laut yang semula biru juga berubah hitam. Cahaya bintang-bintang di angkasa bergoyang-goyang di permukaan laut. Ombak terus saja berdebur ditimpali dengan desau angin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar