Senin, 13 Februari 2012

Pelukis Kampungku by Bagas Anugerah

Di kampungku di Cianjur ada seorang laki-laki yang unik. Dia adalah seorang pelukis dan hanya akan melukis wajah manusia yang sudah meninggal. Orang kampungku menyebut lukisannya, lukisan kematian, lukisan keabadian. Ada juga yang menyebutnya, lukisan kenangan. Sedangkan aku menyebutnya lukisan misteri kematian. Dua hari yang lalu, seorang ibu-ibu memintanya membuat lukisan seorang lelaki yang sudah cukup tua, berkumis tebal, mengenakan kopiah warna hitam dengan hiasan tambahan. Hiasan itu berupa sebuah mobil yang hancur sebab tertabrak truk. Mobil itu berdiri gagah di samping lelaki yang tampak sedang tersenyum. Senyum yang seolah-olah telah memisahkannya dengan ibu-ibu itu, istrinya. Seminggu kemudian, ibu-ibu itu datang kembali, mengambil lukisan yang dipesannya. Dia senang sekali sebab di dalam lukisan itu, suaminya tampak gagah seperti masa mudanya, seperti seorang Jendral. Berdiri di puncak kariernya menjadi pemimpin pasukannya di samping mobil dinasnya. ”Lukisan ini akan menjadi lukisan bersejarah bagi kehidupan suamiku,” katanya kepada pelukis itu. Pelukis itu tersenyum. ”Lho, tapi Mas, kok…….!” Ibu-ibu itu kaget. Tiba-tiba seperti sadar dengan apa yang dilihatnya pada lukisan. ”Ini kok, mobilnya utuh?” Pelukis itu hanya diam. ”Saya kan memesan lukisan suami saya setelah kejadian. Sebab kecelakaan itu, mobilnya hancur dan suamiku meninggal. Lukisan wajah suami saya yang gagah itu, benar, tapi, hiasan mobilnya? Harusnya sudah hancur.” Dengan tenang, pelukis itu menjawab. ”Mudah kok, Bu. Kalau Ibu mau melihat hiasan mobil yang hancur, Ibu tinggal bayangkan saja pada saat peristiwa kecelakaan suami Ibu, pasti mobilnya akan kelihatan hancur. Tentunya, ya, dalam kenangan.” ”Apa cukup semudah itu?” ”Coba saja! Sekarang, mundur agak jauh dari lukisan! Lalu, pikiran Ibu harus difokuskan pada peristiwa kecelakaan itu.” Setelah menjauh dari lukisan, ibu-ibu itu tersenyum. Hiasan mobil itu dilihatnya hancur betulan. Sebab imajinasinya yang tajam, atau keunikan lukisan? Entahlah. Yang pasti, pelukis itu telah membuatnya tersenyum, tanda puas. Dua hari kemudian, seorang lelaki datang padanya untuk mengambil lukisan pesanannya. Di dalam lukisan itu, ada seorang kakek yang berdiri gagah di sawah, dia sedang memegang sebuah cangkul. Kata lelaki itu, sawah adalah tempat terakhir yang dikunjungi kakek itu. Dan, kakek yang dipanggilnya ayah itu, meninggal di kamar mandi, sepulangnya dari sawah. ”Parmin, Ayah mau mandi, terus mau tidur. Itu nanti, sawah diteruskan nyangkulnya, ya,” katanya. Eh, setelah itu, lama tak keluar-keluar, pintunya pun didobrak. Dia kaget saat melihat ayahnya telah meninggal. ”Kenapa kamu mau mengabadikan gambar ayahmu?” tanya si pelukis. ”Ayahku adalah pahlawan dalam hidupku.” ”Ibumu?” ”Sejak kecil, aku tak punya ibu. Jadi, ibu hanya pahlawan dalam angan-angan,” katanya, lalu dia pergi. Beberapa hari kemudian, semakin sibuk ia melukis melayani pesanannya setiap aku datang ke sana. Bagaimana tidak? Lukisannya sangat indah. Lukisannya kelihatan seperti nyata. Lukisannya menjadi kenangan yang terabadikan. Apalagi, ongkos pembuatan lukisan itu tidak mahal. Ia hanya ingin membagi apa yang bisa ia kerjakan, kepada warga kampung. Baginya, ya, dengan melukis. Ia tidak memasang harga yang tetap untuk sebuah lukisan yang telah diselesaikannya. Baginya melukis adalah sarana penyaluran imajinasi yang bercampur dengan kehidupan. Seakan-akan ia mengerti apa yang diinginkan pembeli lukisannya. Meskipun begitu, justru, tak jarang, ia menerima uang lebih dari pembeli lukisannya. Mereka tampak merasakan kepuasan tersendiri atas lukisannya yang mengagumkan. Sebagai teman sebayanya, aku juga sering bermain ke rumahnya. Aku pun mengagumi kecanggihannya dalam melukis. Lukisan yang lukisnyanya berlatar belakang kematian. Memang, setiap kali ia melukis, lukisannya seperti nyata dan seolah-olah menyimpan sejarah yang bermakna. Pernah waktu itu, aku bertanya kepadanya. Lukisannya tampak hidup dan nyata, mengagumkan. Seakan-akan, wajah-wajah kematian yang dilukisnya, hidup kembali. Ada ruh di dalamnya, mengagumkan setiap orang yang melihatnya. Maka, tak aneh kalau hanya dalam waktu beberapa bulan, reputasinya sebagai pelukis handal, terdengar sampai ke luar daerah. Bahkan, sampai ke kota Bogor. Namanya banyak dikenal orang-orang, apalagi warga kampungku. Sarjo, itu namanya. Dulu, kami satu kelas, ketika belajar di sekolah dasar. Setelah lulus dari sekolah dasar saya tidak bertemu dengan dia lagi, ketika aku tanya kepada ayahnya, katanya ia pergi merantau ke Pulau Sumatra. Ketika aku mulai kuliah, ia pulang. Sejak itu, ia mulai melukis. Kabarnya, dari perjalanannya itu, ia belajar melukis. Ketika aku menjadi sarjana, orang tua satu-satunya, ayahnya, meninggal. Ia mengabadikan wajah ayahnya dalam lukisan. Ibunya, hanyalah angan-angan yang tak pernah bisa terungkapkan keberadaannya. ”Kenapa kamu tidak melukis keindahan alam saja?” ”Aku tidak suka melukis tentang alam. Biarkan orang itu melihat kenyataan saja. Alam yang diciptakan Tuhan itu lebih indah daripada gambarku,” katanya. ”Tapi, kamu malah melukis wajah-wajah orang yang sudah meninggal?” ”Kenapa, emang?” Aku diam. ”Kuabadikan ayahku dalam lukisan. Aku selalu mengingatnya, bagaimana kematiannya.” Aku diam saja. ”Kamu tahu?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala. ”Lukisan itu adalah satu-satunya ingatanku tentang wajah ayah. Aku selalu berziarah padanya. Aku kirimkan surat Al Fatihah kepadanya. Lukisan itu, ingatanku tentang ayahku.” Hampir aku menangis terbawa suasana, karena dia merupakan teman dekatku dan ia selalu baik kepadaku dan keluargaku. “Bolehkah aku melihat lukisan-lukisanmu?” Dia mengangguk. Lukisan-lukisan itu kulihat satu-satu. Lukisan pertama, seorang lelaki muda sedang duduk di taman, bersama seorang perempuan sebayanya. Lelaki itu memegang sebilah pisau. Dari jauh, aku melihat misteri kematian lelaki. Ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri. Perempuan itu berbicara samar-samar. Bahkan, dia membiarkan kematian si lelaki. Pikirku, itu kisah ’cinta gila’, di mana perempuannya sama gilanya dengan lelaki, lelaki yang rela mati hanya untuk pembuktian cintanya. Lukisan kedua, lukisan ketiga, lalu lukisan keempat, kulihat sebentar saja. Hanya dari dekat. Sebab, tiba-tiba aku merasa muak dengan kisah sejarah di balik gambar dalam lukisan. Pikirku, segala misteri dalam lukisan itu, semuanya memiriskan. Aku terlalu takut dan trauma. Mendapati lukisan lain, aku tercengang. Lukisan itu dibungkus kain putih serupa kafan. Wajah dalam lukisan itu sendiri, seperti, aku telah mengenalnya. Warna kulitnya saja yang tampak terlalu putih, seolah-olah tak ada merah darah di dalamnya. Serupa jenazah. Kutatap lukisan itu. Seperti sketsa lukisan yang pernah kulihat sebelumnya. Hanya ada wajahnya dan laut. Aku ingat, lukisan itu seperti sebuah lukisan ayahnya. Lukisan yang berlatar belakang laut. Apa artinya? Kulihat sekeliling ruangan, dia tidak ada. Kupanggil dia, tak ada yang menjawab. Aku keluar dari rumahnya. Berjalan menuju laut yang jaraknya dekat, sepuluh menit aku sampai. Tak ada apa-apa. Laut sepi. Akupun pulang ke rumah. Aku menjadi khawatir sekali kepadanya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kudengar ada berita menggemparkan dari laut. Aku berlarian menuju laut. Ada banyak orang di pinggir pantai. Aku masuk ke tengah kerumunan orang tersebut. Ada mayat, kulitnya putih sekali, lalu kulihat wajahnya. Aku tak sempat berpikir, semua akan berakhir di sini. Wajahnya? Oh, tidak…..! Aku ingat sebuah lukisan, lukisan itu seperti lukisan ayahnya. Lukisan itu adalah gambar di hari dia meninggal, ia telah menggambar hari dimana dia mati. Menurut warga ia berenang ke laut kemarin sore dan tak kembali. Hingga pagi ini, aku pun pulang membawa lukisan yang ia lukis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar