Rabu, 26 Januari 2011

Perbedaan yang Indah by Zevanya Wenas

Ifa adalah seorang anak berumur 13 tahun yang cukup pintar dalam sekolahnya, ia selalu dapat ranking 1 dalam kelasnya, namun ia bukanlah orang yang berkecukupan, ibunya adalah seorang guru di sekolah negeri yang gaji nya bisa dibilang sedikit. Ayahnya adalah seorang loper koran yang gajinya pun tidak dapat mencukupi seluruh kebutuhan Ifa beserta adiknya Ify. Ifa termasuk anak yang berprestasi di sekolahnya, ia sering memenangkan beberapa lomba cerdas cermat di berbagai sekolah ataupun kompetisi lainnya. Ifa juga anak yang berbakti kepada orangtuanya, ia selalu membantu orangtuanya meringankan biaya sekolah maupun kebutuhannya sendiri tiap hari dengan menabung dari hasil lomba cerdas cermatnya. Suatu hari di sekolah, Ifa dipanggil oleh kepala sekolah dan ditawarkan beasiswa ke sebuah SMA unggulan yang kualitasnya bagus dan biaya nya juga lumayan mahal, ia diberi waktu oleh kepala sekolahnya untuk meminta persetujuan dari orangtuanya.
“Bu.. Pak.. Hari ini aku ditawarin beasiswa ke sekolah unggulan”, kata ifa dengan semangat. “Sekolah apa nak?”, tanya ayahnya. “Itu pak, SMA Cakra Buana itu kan sekolahnya keren banget, terus kan pernah masuk acara TV gitu.. aahh, aku mau masuk situ.. boleh ga bu, pak??”, mohon Ifa. Lalu ibunya menjawab, “Asal kamu bisa beradaptasi di sana, ibu sih setuju-setuju saja….”, perkataan ibunya belum selesai, Ifa pun menyambar “Iya iya iya iyaaaa! Aku pasti bisa beradaptasi.”, ayahnya pun berkata, “Pesan bapak, tingkatin terus prestasimu ya nak.. Bapak bangga sama kamu”. Ifa senang sekali, ia langsung memeluk ibu bapaknya dengan riang. Keesokan harinya, Ifa langsung bilang ke kepala sekolahnya kalau orangtuanya mengizinkan ia untuk mengambil beasiswa itu.
Ketika ia lulus SMP, ia mendapat nilai yang sangat bagus dan ternyata ia mendapatkan nilai tertinggi diantara teman-temannya. Orangtua Ifa sangatlah bangga dengan prestasi yang dicapai oleh Ifa. “Akhirnya gue lulus SMP juga, sekarang masuk deh ke dunia SMA. Hmm, ga sabar deh masuk SMA, pasti temen-temennya seru terus belajarnya lebih asik”.
Sehari setelah ia lulus SMP, ia pergi ke SMA untuk psychotest. Di saat ia masuk ke area kampus, ia melihat mobil-mobil mewah, beserta anak-anak yang penampilannya sangatlah glamor. Di sela-sela perjalanannya ke gedung SMA, ia mendengar beberapa murid yang sedang ngobrol, “Eh, lo liburan sekolah nanti kemana?”, kata anak 1. “Wah, gue kayaknya mau pergi ke singapore deh, biasa belanja disana, kan ada sale gede-gedean tiap tahun, lo mau ikut??” kata anak 2. “Yaaahh, gue ngga bisa, gue mau liburan ke australia sama sepupu gue”. Ifa berfikir di dalam hatinya, “Wow, nih anak-anak kayaknya kaya banget yah, hmm.. gimana nanti kalo temen gue kayak gini? Kan gue ga kayak mereka”. Tapi, ia tetap berikir positif, “Gue masuk sini buat belajar, bukan buat gaya-gayaan. Jadi diemin aja”. Ifa langsung bergegas pergi untuk psychotest.
Ketika Ifa pulang, ia kaget melihat adiknya yang terkapar lemah di tempat tidur. Ia pegang badan adiknya dan menyadari badan adiknya panas sekali. Tanpa berfikir, ia langsung membawa adiknya ke Puskesmas terdekat. Ifa sangat khawatir, ia takut terjadi apa-apa kepada adiknya. Setelah adiknya diperiksa, beberapa lama kemudian dokter memberitahu bahwa adiknya terjangkit penyakit tifus. Ifa sangat kaget, ia langsung pergi ke sekolah, tempat dimana ibunya mengajar dan memberitahukan keadaan adiknya. Ibunya panik dan langsung meminta izin untuk mengunjugi Ify di Puskesmas. Sesampainya Ifa dan ibunya di puskesmas, dokter memberitahukan bahwa Ify harus dibawa ke rumah sakit karena peralatan di puskesmas kurang memadai. Ibunya hanya diam dan berfikir sejenak, “Aduh, pasti kalau Ify dibawa ke rumah sakit, biaya nya lebih mahal”. Ibu berkata pada dokter, “Dok, gimana kalau anak saya dibawa pulang dulu, biar kami sekeluarga yang coba merawatnya”. Akhirnya Ify dibawa pulang oleh ibunya karena biaya rumah sakit termasuk mahal, orangtuanya tidak mampu membayar.
Di sisi lain, ada seorang anak yang bernama Rifan. Ia termasuk anak yang berkecukupan. Ibunya adalah seorang manager bank ternama di Jakarta, sedangkan ayahnya adalah wiraswastawan yang sangat maju usahanya. Rifan tinggal di rumah yang mewah dan apa saja yang ia inginkan pasti dapat diwujudkan oleh orangtuanya. “aduuuh, raport gue jelek banget. Duh gimana ya kalo bonyok gue ngeliat? Bisa mampus gue dimarahin”, Gumam Rifan. Ya, sudah bisa dilihat, Rifan bukanlah anak yang pintar. Rifan adalah anak yang sering memboros-boroskan uang. Rifan juga bukanlah anak yang dapat dibanggakan oleh sekolahnya. Beberapa kali ia ketahuan bolos sekolah, ataupun merokok di area sekolah. Guru-guru di sekolahnya sudah lelah dengan perbuatan Rifan. Rifan juga sudah sering dipanggil ke ruangan kepala sekolah, bahkan orangtuanya sering dipanggil oleh sekolah karena ulahnya. Orangtua Rifan juga sangat sibuk, mereka tidak pernah mempedulikan dia.
Suatu hari, Rifan ditanya oleh ibunya yang terlihat sibuk sedang melihat ke layar Hp, “Kamu nanti masuk SMA mana?”. Rifan menjawab dengan santai “Gak tau ma, terserah aja mau dimana”. “Gimana masuk SMA Cakra Buana lagi? Kan kamu SMP nya disana”, tanya ibunya. “Yaudah, terserah”, jawabnya dengan santai, seolah-olah dia tidak perduli.
Setelah selesai ngobrol dengan ibunya, Rifan langsung pergi menggunakan mobil mewahnya. Rifan pergi ke tempat nongkrongnya, bertemu dengan teman-temannya. Tiba-tiba ada salah seorang temannya berkata, “Eh bro, cobain deh nih”. Rifan bingung melihat sebungkus bubuk yang dipegang temannya, ia bertanya, “Apaan tuh?” dengan nada polos. “Ini tuh kunci kehidupan, bro. Sekalinya lo coba, dunia lo terasa indah deh, percaya sama gue”, rayu temannya yang berusaha menawarkan barang itu. Di dalam fikiran Rifan terdapat dua suara yang berbeda, satu suara berkata, “Ayolaaaah, tuh barang kayaknya menarik cuy, coba sekali aja gaada ruginya kan? Kalo lo gasuka yaudah tinggal lo buang”. Di sisi lainnya, “Fan, lo udah cukup bermasalah di sekolah, cukuplah disekolah aja. Lo tau kan tu barang apa? NARKOBA bro! Lo kayak ga pernah denger aja efeknya. Sekalinya lo coba pasti hidup lo kebuang percuma!”. Rifan terdiam sejenak, lalu berkata, “Ehm, kayaknya ngga deh, sorry ya”, katanya sambil berjalan kearah mobilnya dan pergi sementara teman-temannya menertawakan dia.
Dua minggu kemudian, liburan sekolah selesai. Saatnya memasuki sekolah yang baru, jenjang yang lebih tinggi bagi Ifa. Pagi-pagi dia sudah bangun dan bersiap-siap masuk sekolah baru. “Wah, hari ini gue masuk sekolah baru. Senengnyaaaa”, kata Ifa dengan perasaan girang. Semua perlengkapan sekolah sudah lengkap, bajunya rapih, buku pelajaran pun rapih terorganisir di dalam tas. “Bu, Pak, aku pergi sekolah dulu yaa”, kata Ifa berpamitan pada orangtuanya.
Sangatlah berbeda dengan Rifan. “Mas, bangun mas, udah jam berapa, hari ini kan hari pertama mas masuk sekolah, jangan sampai telat”, kata Iyem pembantunya. Dengan perlahan, Rifan membuka matanya dan melihat jam dinding di tembok tepan tempat tidurnya yang menunjukkan pukul 07.15 pagi. Rifan panik, langsung berlari ke kamar mandi, mandi secepat mungkin. Setelah mandi, ia langsung memakai seragam dan tidak memperhatikan seberapa rapih penampilannya. Lalu ia mengambil tas, menaruh sebuah buku dan langsung pergi ke sekolah menggunakan mobilnya.
Suasana di sekolah dimana Ifa bersekolah lumayan ramai. Ifa masih kagok dan tanpa sadar ia menabrak seseorang, “Eh, maaf gue ga sengaja”, kata Ifa memohon maaf. “Makanya, kalo berhenti jangan di tengah jalan, jadi nabrak kan tuh!”, sahut seorang anak yang cantik, dan kelihatannya sangat sombong. “Iya, maaf gue masih kagok disini”, jelas Ifa. Anak itu langsung pergi dari hadapan Ifa bersama dua temannya. Di dalam hati Ifa, ia berfikir, “Gila, sombong banget tuh cewek, hmm.. sabaaaarr”. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya. “Sabar ya, tuh cewek namanya Bella, ia termasuk anak yang eksis di sekolah. Dia cantik, terus lumayan pinter, dia juga pujaan banyak cowok dari SMP. Tapi sayang, dia tuh sombong banget, suka milih-milih temen gitu. Dia cuma temenan sama anak yang kaya dan terkenal gitu deh”, jelasnya. “Oooh, pantesan”, kata Ifa. “Oh iyaa, gue lupa kenalan. Nama gue Ifa, kalo lo?”, Tanya Ifa. “Gue Dhea, salam kenal ya”, katanya. Akhirnya Ifa mendapat teman juga di sekolah barunya.
Mata Ifa tiba-tiba tertuju pada seorang cowok yang lewat didepannya. “Eh, Dhe, itu cowok namanya siapa?”, Tanya Ifa. Dhea menjawab, “Ohh, itu namanya Rifan. Dia seangkatan sama gue waktu SMP”. “Ehm, lumayan ganteng juga yah dia”, kata Ifa tanpa sadar. “Emang sih dia ganteng, tapi sifatnya tuh ga bener, Fa. Dia tuh waktu SMP pernah di skors sama sekolah gara-gara dia ketahuan ngerokok di area sekolah, terus anaknya juga ga pernah dapet nilai bagus soalnya dia kelewatan banyak banget materi”, jelas Dhea. Ifa tak menyangka apa yang didengarnya.
Bel pun berbunyi, kepala sekolah SMA memberikan pengarahan kepada anak-anaknya. Setelah itu, saatnya pembagian kelas. Salah seorang guru berkata, “Iya, saatnya penbagian kelas. Bagi anak yang ibu sebut namanya, harap berkumpul di sebelah kanan ibu”. Nama Ifa pun disebut, beberapa lama kemudian nama Dhea juga disebut, setelah beberapa lama, nama Rifan pun terpanggil. Di dalam hati Ifa, ia senang sekelas dengan Rifan.
Suasana di kelas sangat sunyi karena para murid tidak mengenal satu sama lain. Tiba-tiba wali kelas memasuki ruangan dan berkata, “Selamat pagi anak-anak, nama saya Ibu Yani. Saya adalah wali kelas kalian. Berhubung kalian belum mengenal satu sama lain, ibu ingin kalian mencatat nama dan nomor telfon tiap anak di kelas ini agar kalian lebih kenal satu sama lain”. Seluruh nama telah Ifa catat kecuali nama anak yang duduk di belakang, yaitu Rifan. Ifa dengan malu berkata, “Ehm, halo. Nama gue Ifa, nama lo siapa?”. Rifan memandangnya dan berkata, “Gue Rifan. Eh, sekalian nomor telfon lo ya”. Ifa tak menyangka kalau dia sedang berbicara dengan seorang cowok yang dia kagumi sejenak. Rifan mulai melirik Ifa, dan tanpa sadar Rifan mengajak Ifa untuk ngobrol bersama. Ifa mendapat teman baru lagi di SMA baru nya.
Bel istirahat pun berbunyi, Ifa dan Dhea berjalan bersama keluar kelas. “Eh, Fa, gue ke toilet sebentar ya. Lo tungguin gue”, kata Dhea sambil berjalan ke kamar mandi. Tiba-tiba Rifan datang dan menyapa Ifa, “Eh, ngapain lo disini sendirian?”. “Hahaha, gue nungguin temen gue lagi di toilet”, kata Ifa. Rifan berkata, “Ke kantin bareng yuk”. Ifa kaget mendengar apa yang barusan dikatakan oleh Rifan, tanpa sadar iya meninggalkan Dhea yang masih di kamar mandi.
Selama perjalanan ke kantin, Ifa dan Rifan ngobrol bersama. “Ehm, lo SMP dimana, Fa?” Tanya Rifan. “Gue tuh lulusan SMP negeri, gue masuk ke sekolah ini juga gara-gara beasiswa”, jelas Ifa. “Ohh, emang bonyok lo kerja apa Fa?”, Tanya Rifan. “Nyokap gue tuh guru SD negeri di deket rumah. Bokap gue juga kerja nya jadi loper koran”, jelas Ifa. Rifan menyadari kalau Ifa adalah anak yang kurang mampu. Tiba-tiba Ifa bertanya “Eh, kata anak-anak disini lo tuh banyak masalah ya waktu SMP?”. “Iya, Fa. Lagipula bonyok gue ga perduli juga gue mau ngapain”, jelas Rifan. Ifa baru menyadari kalau Rifan adalah anak yang kurang perhatian dari orangtuanya. “Jangan gitu juga lah, Fan. Gitu juga mereka tuh orangtua lo, durhaka loh”, jelas Ifa. “Itulah gue, Fa”, kata Rifan.
Bel pulang sekolah berbunyi. Ifa sedang berjalan pulang sendirian, tiba-tiba disebelahnya berhentilah sebuah mobil dan kaca mobil itu terbuka, terlihatlah wajah Rifan yang berkata, “Ifa, sendirian aja? Pulang bareng gue aja yuk?”. Ifa berkata, “Gak usah Fan. Gue bisa naik angkot sendiri”. Namun Rifan memaksa, akhirnya Ifa diantar pulang oleh Rifan.
Sesampainya mereka di rumah Ifa, ia mengajak Rifan masuk untuk sekedar berbincang. Ketika Ifa masuk ke dalam rumah, ia melihat adiknya terbaring lemah di lantai. Ifa dan Rifan panik melihatnya. Rifan langsung menggendong Ify ke dalam mobil dan mereka pergi ke puskesmas terdekat. Selama Ify diperiksa dokter, Rifan bertanya kepada Ifa, “Fa, emang adek lo sakit apa?”. Ifa menjawab, “Adik gue kena penyakit tifus Fan. Sebenernya udah disuruh dokter dirawat di rumah sakit aja, tapi keluarga gue ga mampu biayain kalo dirawat di rumah sakit”. Rifan prihatin dengan keadaan Ify. “Fan, gue ke toilet bentar ya”, kata Ifa. Beberapa lama setelah Ifa pergi, dokter pun keluar dan berkata pada Rifan, “Keadaan adik Ify memang sudah termasuk parah, namun berhubung orangtuanya tidak mau membawa dia ke rumah sakit, saya berikan resep obat yang wajib diminum olehnya tiap hari. Obat ini membantu adik Ify cepat sembuh walaupun hanya di rawat di rumah”. Rifan berkata, “Makasih ya dokter”. Rifan tau kalau keluarga Ifa termasuk keluarga yang tidak mampu, jadi ia langsung pergi ke apotik dan mengambil serta membayar obat yang diperlukan oleh Ify. Rifan langsung mendatangi Ifa yang sedang berjalan ke arah tempat Ify diperiksa dan berkata, “Nih obatnya Ify”, sambil memberikan kantong plastik yang berisi obat-obatan Ify. “Loh kok jadi lo yang bayarin sih, Fan? Aduh gue ga enak banget, udah sini gue gantiin uangnya”, sambil mengambil dompet dari kantong bajunya yang tentu saja tidak akan cukup untuk membayar obat-obatan itu. “Udah, Fa”, sambil memegang tangan Ifa yang sedang membuka dompetnya, “Biar gue yang bayarin, anggep aja ini hadiah dari gue buat lo”. Ifa dan Rifan tersenyum bersama.
Malam hari di kamarnya, Rifan termenung sendiri. Fikirannya tertuju pada Ifa, temannya itu. “Wah, Ifa lumayan juga ya. Cantik, sederhana, apa adanya. Loh, kok gue jadi mikirin dia? Apa mungkin ya, gue suka sama dia? Ya wajar juga gue suka sama dia. Tapi, apa dia ngerasain perasaan yang sama kayak gue?”, kata Rifan didalam fikirannya. “Ah, gue sms aja deh tuh anak”.
Di malam yang sama, Ifa sedang menemani adiknya. Tiba-tiba fikirannya teralih kepada Rifan yang telah banyak membantunya. “Rifan tuh baik banget ya, dia mau aja bayarin obat-obatan kamu, Fy. Dia juga lumayan ganteng sih, tapi sayangnya dia masih ga bisa fokus ke pelajaran di sekolah. Apa aku coba bantu dia aja ya? Aku bakal bikin dia berubah, ga akan jadi anak badung lagi”, kata Ifa yang berbicara kepada adiknya, padahal adiknya sedang tidur. Tiba-tiba HP Ifa berbunyi, ternyata ada SMS masuk dari Rifan yang bertuliskan, “Hai Fa, lagi apa lo? Kok gue tiba-tiba kefikiran sama lo ya? Hehehe”. Senyum yang lebar terlihat dari wajah Ifa. Percakapan mereka di SMS pun berlanjut.
Pagi hari, Ifa berangkat sekolah dengan penuh semangat. Sesampainya ia disekolah, ia bertemu dengan Dhea, dan berjalan bersama ke kelas. “Eh. Fa, kok lo waktu itu ninggalin gue sih pas gue lagi di toilet?”, Tanya Dhea. Ifa menjawab, “Aduh, iya Fa, kemarin itu gue ketemu Rifan, terus dia ngajak gue ke kantin bareng”. “Hah? Lo sekarang jadi deket sama Rifan?”, Tanya Dhea kaget. “Iya Dhe, kemarin aja gue balik bareng sama dia, terus dia bantuin gue beli obat buat adek gue”, jelas Ifa. Dhea menjawab, “Cyeeaaa, sekarang Ifa sama Rifan tooh?”. Ifa dan Dhea tertawa bersama. Di dalam hati Ifa, ia memang manyukai Rifan.
Saat jam pelajaran dimulai, Ifa tidak bisa terlepas dari Rifan. Kemana ada Rifan, disitu pasti ada Ifa. Bagitu juga sebaliknya. Dari kedekatan mereka, bisa terlihat rasa sayang diantara mereka.
Ifa tetap ingin mengubah sikap Rifan, salah satu caranya adalah dengan membuat Rifan niat belajar dan membantu Rifan konsenterasi. “Fan, udah sini belajar yuk, gue bantuin”, kata Ifa sambil memegang tangan Rifan yang sedang memegang pensil, kehilangan konsenterasi belajarnya. Dengan waktu yang singkat, Ifa dapat membuat Rifan konsenterasi belajar kembali. Rifan pun senang dengan peranan Ifa di dalam kehidupannya. Ia menyadari kalau Ifa berusaha membuat dirinya menjadi seseorang yang berguna. Rifan sendiri juga menyadari kalau dirinya memang perlu bantuan. Rifan berkata pada Ifa, “Fa, makasih ya udah mau bantuin gue. Gue ngehargain bantuan lo. Tolong bantu ubah diri gue ya, biar semua bisa bangga sama gue dan ga nilai gue sebagai anak badung kayak dulu”. Ifa sangat senang dengan perkataan yang barusan Rifan ucapkan, “Iya Fan, pasti kok gue bantu semaksimal mungkin. Nah, nomor 1 kan lo udah ngerti cara ngerjainnya, sekarang lo coba nomor 2 tapi kerjain sendiri ya”, kata Ifa sambil mengajari Rifan.
Sepulang sekolah, Rifan pulang dan melihat Ibunya yang sedang duduk di ruang tamu. “Ma, aku pulang”, kata Rifan. “Tumben kamu pulang cepet, Fan”, kata ibunya. Rifan terdiam sejenak, lalu duduk di sebelah ibunya. “Ma, maafin aku ya kalau dulu aku sering bikin mama kecewa dengan sikap aku disekolah yang badung. Aku mau berubah sekarang, biar mama juga bangga sama aku”, kata Rifan sambil memandang ibunya. Ibunya menjawab, “Seharusnya mama yang minta maaf. Dulu mama terlalu sibuk, sampai perhatian mama ke kamu sangat kurang, maaf ya nak”, kata ibunya sambil memeluk Rifan yang hampir mengeluarkan air mata. Berjuta terimakasih ingin sekali Rifan ucapkan ke Ifa, yang telah membantunya. Tanpa berfikir, ia pergi mengendarai mobilnya ke rumah Ifa.
Sesampainya di rumah Ifa, Rifan melihat Ifa sedang duduk termenung di teras rumahnya. Rifan datang dan duduk di sebelahnya lalu berkata, “Hai Fa”. Ifa kaget melihat pujaan hatinya duduk di sebelahnya, menatapnya penuh arti lalu berkata, “Fa, makasih ya selama ini udah mau bantuin gue ubah diri gue yang dulunya….. sampai ga bisa gue bayangin”. “Iya, sama-sama Fan”, kata Ifa. Jantung Ifa dan Rifan berdetak kencang, tiba-tiba Rifan berkata pada Ifa, “Fa, gue sayang sama lo. Lo udah buat gue berubah, beda sama yang dulu. Lo juga sederhana, cantik, pinter lagi. Tiap hari gue mikirin lo terus, dan tiap gue ada di deket lo, gue pasti nyaman. Lo mau ga jadi pacar gue?”, kata Rifan sambil menatap mata Ifa. “Gue juga ngerasain hal yang sama kayak lo, iya gue mau”, kata Ifa. Ifa dan Rifan menjadi sepasang kekasih. Ifa selalu membantu Rifan dalam pelajaran sekolahnya.
Kehidupan Rifan yang termasuk berkecukupan sangatlah berbeda dengan kehidupan Ifa yang sederhana. Kehidupan berkecukupan tidak menjamin seseorang untuk berhasil menggali prestasi, contohnya Rifan. Namun, kehidupan Rifan dapat diubah oleh seorang sederhana yang memang berprestasi.
Ifa memang anak yang sederhana, namun itu tak menghentikannya untuk terus berprestasi. Usaha keras Ifa mengubah Rifan juga sangatlah baik dan akhirnya berbuahkan hasil. Ifa tidak mementingkan perbedaan diantara mereka, namun akhirnya perbedaan itu dapat menjadi perbedaan yang indah buat Ifa dan Rifan.

1 komentar: