Rabu, 25 Januari 2012

Sepasang Sepatu untuk Sumi by Ajeng Wahyu Lestari

Pelan pelan aku mengetuk pintu rumah itu, sebenarnya tidaklah tepat jika disebut rumah, karena bangunannya terbuat dari potongan kayu yang sudah ditambal disana sini karena telah berlubang, tambalannya pun berupa macam bentuknya dan jenisnya, ada kayu, kertas, potongan plastik, bahkan seng-seng yang sudah berkarat tertempel menghiasi dindingnya… “Assalammuallaikum….” Aku berseru… Tetap saja tidak ada jawaban dari dalam…. “Sumi…, ibu….sumi…..” aku berteriak mengeraskan suara… Tidak juga ada sahutan dari dalam rumah itu Kutajamkan pendengaranku “…sumi…, sumi….ibu…ibu…” aku mengulangi teriakanku.. Perkenalanku dengan sumi terjadi beberapa bulan yang lalu, saat itu aku sedang duduk diteras rumahku, sementara diluar sedang turun hujan gerimis, saat itu aku sedang asyik memandangi ikan ikan yang berenang dikolam kecil disudut teras rumahku. Gerakan- gerakan mereka yang lucu seolah sedang bermain saling menggoda, membuat aku terkadang tersenyum geli… “Assalamualaikum…” tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara sesorang yang memberi salam. Saat aku menoleh kedepan pintu pagar aku melihat seorang anak sebayaku berdiri…, ditangannya menggenggam tas kantong kresek. “Wa’alaikumsalam” aku membalas sapa anak itu. “Ada apa..ya…” ujarku “mau beli peyek kak?….” Gadis kecil itu berujar “aduh… gimana ya…” aku menjawab lirih “belilah kak, ini masih tersisa dua bungkus…” gadis itu sedikit merayu “ah… itu hujan, masuklah dulu…” ucapku “tidak apa kak,… beli ya kak…” gadis itu berucap gigih Titik hujan semakin membesar, sesekali kilat mencoba menerangi langit yang semakin menggelap Aku tergesa membuka pintu pagar dan mempersilakan dia masuk “ayolah nanti kita kebasahan nih.” Ujarku. Selanjutnya kita atau lebih tepatnya aku banyak mengajak dia berbicara, sementara dia hanya menjawab seperlunya saja. Saat itulah aku mengenal namanya sumi, sebuah nama yang singkat tapi lumayan enak juga didengar, dia saat ini sebenarnya masih bersekolah dan duduk dikelas 2 SMP, dia tidak mempunyai adik dan kakak serta tinggal hanya berdua dengan ibunya. Sumi tidak pernah mengenal ayahnya sementara ibunya bekerja sebagai buruh cuci. Itulah pertemuan pertamaku dengannya, yang tersisa dari pertemuan itu adalah kesanku bahwa sumi seorang gadis yang santun, memiliki sederet gigi putih serta senyuman manis. Hari minggu pagi, Cuaca cerah, aku bangun dan berkemas…, pagi ini aku telah berjanji dengan teman-teman sekolahku untuk bertemu di lapangan alun alun kota, untuk berolahraga. Sebenarnya jarak dari rumahku ke alun alun lumayan juga, makanya aku meminta tolong kepada kakakku untuk diantar, awalnya kakak laki-lakiku agak keberatan namun berkat sogokkan sebungkus cokelat dia tidak kuasa untuk menolak permintaanku. Jam 6.00, alun-alun kota, lumayan juga banyak orang beraktifitas, ada yang hanya berjalan, berlari lari kecil, sekelompok anak-anak kecil asyik bermain bola dengan suara riuh. Aku duduk dibangku taman dan merapikan tali sepatu, sesekali aku celingukan mencari teman-temanku, tapi belum ada yang terlihat batang hidungnya. Tidak lama kemudian suara seseorang memanggilku “Ajeng…!!!” ah tidak salah lagi itu suara Rani, dari arah kejauhan sambil turun dari mobilnya dia berjalan mendekatiku, langkah kakinya gemulai seperti seorang peragawati, emang sih Rani bercita-cita untuk menjadi seorang peragawati, menurutku pantas juga. “yang lain pada kemana jeng?… katanya ngumpul pagi?...” Tanya Rani “Paling masih pada molor….” Jawabku.. “tau gitu rani nggak bangun pagi-pagi, mana tadi cuma minum susu!.. “ rani menggerutu Sementara aku cuma cengar cengir menanggapinya, soalnya kalau lagi kesel tampang rani malah jadi lucu… Sementara rani masih disibukkan dengan kekesalannya, perhatianku tertuju pada sesosok tubuh yang sedang tekun berlari, langkahnya tetap dan pasti mencerminkan ia telah terbiasa berlari. Semakin dekat dia kearahku aku dapat memastikan dia adalah seorang anak perempuan sebayaku. “Ran…tuh liat.., gitu dong kalau olah raga” aku berucap “Emangnya apaan jeng?….” Rani setengah hati memperhatikan ucapanku “itu tuh masa sih nggak ngeliat, itu anak yang larinya kenceng!.., dari tadi aku peratiin larinya nggak berenti-berenti kok nggak ada capeknya sih?…” aku memastikan kepada rani sambil menunjuk kearah anak yang sedang berlari itu. “eh iya…gile juga tu anak, emangnya nggak capek apa lari kayak begitu.., udah berapa kali dia muterin lapangan jeng….” Akhirnya rani tertarik memperhatikan. “eh..nggak tau deh…, tapi kayanya dari tadi dia lari…” aku menjawab sekenanya. “wah itu si Tio jeng…” rani menunjuk kearah selatan “ iya..ya…, ngapain tu anak…olah raga ngurusin badan!” aku berkata asal “he…he mana bisa kurus dia, kalau ngeliatan makanan aja matanya celamitan..” rani berkata sambil tertawa. “ iya tuh ran, aku kalau makan siang disekolah nggak aman kalau ada dia…” aku menyahuti. “ha..ha.., jangan kan ajeng, rani juga gitu…, mesti makan ngumpet-ngumpet kalo ada dia..” Tio, adalah teman sekelas kita waktu masih kelas 7 dan 8, sekarang kami pisah kelas, lumayan kelas jadi nggak ribut, tapi kadang-kadang nggak enak juga habisnya tingkah tio terkadang lucu, lumayan jadi nggak buat ngantuk dan bosan dikelas, apa lagi celetuknya di kelas yang kadang buat perut lapar jadi kenyang. Anak perempuan yang tadi berlari saat ini sudah berhenti dia menggerak-gerakkan tubuhnya seolah melakukan senam pelemasan tubuh. Aku dan Rani berjalan kearahnya, sambil berjalan perlahan kami ngegosipin ulah Tio yang suka ngeselin kalau lagi ada maunya mengincar makanan bekal kami. “eh…kak ajeng Ya!…” sebuah suara lirih yang kukenal menyapa membuat aku menoleh kearah suara itu. “eh…sumi…ya…” ucapku “Ya…kak..” dia menjawab pendek Aku dan Rani beranjak mendekati sumi “Kak ajeng suka olah raga juga ?” sumi melemparkan pertanyaan kepadaku “ehh…sekali sekali sih…, kamu kuat banget larinya “ ucapku Itulah pertemuanku yang kedua dengan Sumi, saat itu aku melihat tubuhnya basah kuyup oleh keringat tapi senyum dan sederet giginya yang putih kembali meninggalkan kesan. Sebuah sabtu sore didepan rumah… Aku sedang menyiram bunga dipekarangan, papa dan mama suka merawat bunga, lucu juga mereka habisnya kalau ada bunga yang bagus, mereka sering berdebat mengakui bahwa bunga itu mereka yang merawat. “kak…Ajeng!” sebuah suara lirih menyapaku “eh.. sumi” aku setengah kaget menjawab Saat sumi seperti biasa menjajakan peyek, dan kami bertegur sapa, karena sudah beberapa kali bertemu sumi terlihat tidaklah canggung lagi, kami mengobrol agak lama, dari mulai berdiri dipinggir jalan depan rumah, sampai duduk diteras. Ternyata sumi, oleh sekolahnya sedang diprogram untuk menjadi atlit atletik, dua bulan lagi ia akan diseleksi, jika berhasil dia berhak mengikuti PORDA (Pekan Olahraga Daerah) mewakili kota kami. Sumi berharap dapat terpilih “Ada hadiahnya kak..” sumi berucap lirih, sambil matanya menerawang. “Aku ingin melanjutkan ke SLTA.., jika nanti aku terpilih dan menang, hadiahnya dapat dipakai untuk melanjutkan sekolah” lanjut dia berucap sambil menunduk. “wahh… hebat dong!…, kalau hadiahnya beasiswa kan lumayan sumi…” sahutku. “Iya.., hanya itulah satu-satunya harapan Sumi untuk menggapai cita-cita sumi untuk tetap bersekolah” ada kesan yang dalam waktu sumi mengucapkan itu, sampai aku sedikit terguncang haru. Sumi bercerita ia tinggal di Desa Pulau puter, sebuah tempat yang baru kudengar namanya, bahkan aku heran kenapa selama ini aku tidak pernah mendengar nama daerah itu. “kalau senggang datanglah main ke desaku ya kak…, tapi rumahku gubuk…, hanya.. disana pemandangannya nyaman karena dikelilingi oleh sawah dan ladang” sumi menawarkan keakrabannya “wah…asyik juga tuh, iya deh…nanti kapan-kapan ajeng main kesana ya…” aku menanggapi Cerita tentang sumi aku ceritakan kepada teman-teman disekolah, mereka terdiam ketika aku bercerita tentang keadaaan sumi serta usahanya untuk meraih cita-citanya. Ada yang terasa kurang beberapa hari ini, padahal semua aktifitasku berjalan normal dan lancar-lancar saja. Hanya satu hal yang tidak ada…Sumi…., sudah hampir 2 minggu sumi tidak mampir kerumahku, awalnya tidak kurasa, tetapi ternyata sumi meninggalkan kesan didalam fikiranku. Sore, Dalam perjalanan pulang dari sekolah. Aku dibonceng sepeda motor oleh kakakku, pada sebuah jalan tiba-tiba mataku menangkap sesosok tubuh yang berjalan agak gontai dan dia adalah sumi!.. Aku meminta kakakku untuk menghentikan sepeda motornya. “…Sumi…!, sumi…!” aku berseru kearah sosok tubuh yang berjalan itu. Sumi berhenti dan menoleh, ada sesuatu yang berubah kulihat selintas dari raut wajahnya, ada sebuah kesedihan. Aku setengah berlari menghampirinya. “Sumi…, ah…kemana aja sih…kok nggak mampir kerumah, mama nanyain katanya stock peyek sudah habis tuh dirumah” aku nyerocos kearah sumi. “eh, kak ajeng” sumi tersenyum lirih Setelah dengan susah payah akhirnya aku berhasil membujuknya untuk kerumahku, diapun bersedia naik sepeda motor walaupun harus berbonceng tiga. Dirumah , sumi kuajak makan karena memang perutku keroncongan. Sumi kulihat sangat sedih bahkan setengah putus asa. Akhirnya aku mengetahui duduk permasalahnya yang tengah melanda sumi. ..Sepatu Sumi hilang !!!! Sepatu satu-satunya milik sumi hilang pada saat setelah dicuci lalu dijemur dipagar rumahnya. Sepatu itu bagi sumi merupakan alat yang dapat mewujudkan keinginannya untuk meraih mimpi dan cita citanya. Dan Sumi tidak memilki jalan untuk memperoleh sepasang sepatu karena tidak mampu untuk membelinya. “biarlah kak ajeng…, mungkin ini adalah jalan hidupku…, aku tidak dapat menggapai cita-citaku” sumi berujar lirih. Demikianlah pertemuan terakhir dengan sumi Siang hari, saat istirahat kedua. “gimana jeng…, sudah ada kabar tentang sumi..?” Nadi teman sekelasku bertanya padaku “iya jeng.., gimana si sumi?…, tumben nggak ada kabar tentang dia belakangan ini..” tanya Dinah.. Saat itu kami sedang duduk berkumpul diteras masjid yang terdapat dilingkungan sekolah. Aku diam tidak menjawab pertanyaan Nadi. Semua mata teman-temanku menatap kearahku menunggu jawabanku atas pertanyaannya. “eh..kenapa sih kalian semua kok melototin ajeng sih…?” aku cemberut kearah teman-temanku “ iya jeng…., gimana dong kabarnya sumi?…” Tanya Rani, mereka hampir serempak meliat kearahku. Aku tidak bisa menahan diri lagi, lalu aku menceritakan kondisi sumi pada saat terakhir aku bertemu dengannya. Beberapa saat suasana hening dan mencekam, mereka terbawa oleh fikiran dan perasaan mereka masing masing. “wah gile…gawat tuh!…” tiba-tiba tio menyeletuk sambil berjalan menggondol sarung di bahunya, yang baru saja selesai melaksanakan shalat Dzuhur. “apanya yang gawat?…, kamu itu asal ngomong gawat aja…, kaya tau aja!…” Rani menjawab sewot kearah tio. “Iyalah!… kan kasihan tuh si sumi, kalau dia nggak punya sepatu, dia nggak bisa ikut test lari, nah..kalau dia nggak ikut test…dia nggak bakalan terpilih jadi atlit…trus…, kalau dia nggak bisa jadi atlit…dia nggak bisa menang…kalau dia nggak menang dia nggak dapat hadiah…kalau dia nggak dapat hadiah…dia nggak bisa ngelanjutin sekolah…., itu gawat jadinya…” Tio gantian nyerocos berusaha memberi penjelasan dengan gayanya yang kocak. “Tumben lu mikir yo…, biasanya yang lu pikiran cuma makanan melulu..” Nadi nyeletuk sambil tangannya nunjuk kearah kepala tio. “emangnya lu pikir di otak gw cuma makanan apa!...” sahut Tio dengan ngotot. “udahlah.. yo…, ga usah sewot.., jangan bikin ribet deh…” tambah Dinah. “eh.. iya.. ya, sumi gawat tuh…” Rani bergumam seolah berbicara dengan dirinya sendiri. Kembali suasana menjadi hening semua teman-teman sepertinya kembali asyik berfikir sendiri-sendiri. “Aku punya ide nih…” tiba-tiba Dinah menyeletuk, pandangan kami semua mengarah kearah Dinah. Sudah tiga hari setiap sore, aku celingukan kearah ujung jalan rumahku, sesekali mataku menatap kearah sebuah kotak yang sudah kubungkus rapih dan kuletakkan diatas meja teras rumahku. Sumi…ya!.. aku menunggu sumi, tapi sumi tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Penantianku berujung pada kegelisahan, karena waktu terus berjalan sementara sumi tidak kunjung datang. Pada saat menjelang malam akhirnya aku membulatkan tekad untuk menemui Papa, seluruh cerita tentang sumi beserta rencanaku dengan teman-teman aku ceritakan kepada Papa. “oke..besok hari sabtu, kamu akan papa antar untuk mencari sumi kerumahnya, sekarang istirahatlah “ papa akhirnya berjanji untuk mengantarkanku kepada sumi. Ternyata jalan menuju desa sumi cukup jauh juga, bahkan aku tidak pernah berfikir dilingkungan kota tempat tinggalku masih ada sebuah desa seperti desa tempat tinggal sumi. Aku berasa berada pada benua yang lain, memang ada kenyamanan disitu tetapi yang aku tidak mengerti mengapa para penduduk desa masih menempati rumah-rumah atau tepatnya gubuk yang sebenarnya kurang layak untuk ditempati. Setelah bersusah payah bertanya kian kemari akhirnya aku dapat juga ditunjukkan arah oleh penduduk setempat menuju kerumah sumi. Didepan gubuk inilah aku berhenti , oleh karena salamku tidak ada yang membalas aku mencoba untuk sedikit berteriak memanggil sumi. Dari arah samping belakang rumah tiba-tiba seorang perempuan tua datang dan mendekat kearahku dengan wajah menunjukkan kekhawatiran. Perempuan tua itu sedemikian kurusnya, dia mengenakan pakaian kain yang dililitkan sebatas dada, sementara kepalanya ditutupi oleh handuk tipis dan kumal. “Assalamuallaikum “ aku menyapa “ Wa’alaikumsallam “ sahutnya suara ibu itu terdengar lirih dan bergetar “Ibu.. benar ini rumah sumi? “ aku bertanya dengan harap Kulihat ibu itu sejenak tertegun, matanya menatap tajam kearahku seolah ingin mengamati seluruh tubuhku dengan teliti. “kamu..ajeng?” dia berkata setengah berseru lirih “ya bu..saya ajeng “ ujarku Kembali dia diam tangannya bergerak seolah ingin menggapai kearahku, tetapi dia berusaha untuk tidak melakukannya. “Ibu..ibunya sumi?” aku bertanya memastikan Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya, hanya anggukkan kepala memastikan pertanyaanku, dan itu cukup membuat aku menjadi lega. “Sumi ada bu..?” kembali aku bertanya Kembali Ibu tua itu tidak menjawab, dia membalikkan badan dan tangannya melambai kearahku meminta aku untuk mengikutinya. Aku berjalan dibelakang ibu itu kearah belakang rumah, setelah melewati pematang sawah kami sampai ditanah berbukit kecil, ibu itu berhenti dibawah sebatang pohon menungguku. “Disitulah sumi nak..” ibu itu bergumam menunjuk kesebuah arah. Dibawah gerombolan pohon kembang sepatu yang dipenuhi bunga berwarna jingga dan putih, terhampar seonggok tanah yang kelihatan masih baru, aku tercekat dan melangkah mendekat. Sebuah kayu terpancang disitu dengan tulisan sederhana, sebuah nisan kayu!… Dan nama sumi tercantum disitu. Sejenak aku tidak tahu apa yang ingin aku lakukan, kardus yang terbungkus rapih yang kubawa dari rumah tanpa terasa kupegang erat. Perlahan aku merasa ada sesuatu yang panas mengalir dipipiku Aku berlutut, perlahan aku meletakkan kotak itu dibawah nisan kayu yang terpancang. Aku cuma bisa bergumam “sumi aku dan teman-temanku ingin memberimu sepasang sepatu ini” Mataku nanar menatap sekitarku, kulihat dilangit awan berlari berkejar-kejaran, dalam anganku kulihat sumi dengan sepasang sepatu baru berlari, memenangkan setiap lomba, berkejaran bersama awan. Ah!.., bagaimana aku harus menyampaikan berita ini kepada seluruh teman-teman disekolahku?.. “SELESAI” *Ku dedikasikan ceritaku untuk anak-anak sebayaku di Desa Pulau Puter, Desa terpencil didekat Kota dimana tempat aku tersesat hampir tak bisa pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar