Rabu, 25 Januari 2012

Gadisku dan Aku by Nur Maudy Sudarsono

Pagi ini begitu indah, aku berdiri persis di sebelah mercusuar dekat dermaga mengenang masa masa remajaku dahulu, saat aku dan teman temanku masih SMA. Sekarang kami sudah lulus dari sebuah perguruan tinggi. Sekarang aku bekerja sebagai dokter di sebuah klinik di Bali. Sekarang aku berdiri bersama teman temanku, salah satu temanku berteriak “Aya! Relakanlah teman kami ini, kami tidak ingin dia terus terikat denganmu lagi!”. Ia begitu karena melihatku begitu murung melihat kearah matahari terbenam.  Namaku Kevin, sekarang ini aku sekolah di SMA Negeri 10 Bali. Banyak orang yang memandang aku itu jaim atau semacamnya, menurut mereka aku terlalu tertutup, tapi untunglah ada beberapa orang yang masih ingin berteman denganku, mereka adalah Ivan, Danu, dan Derry. Selama kurang lebih tiga tahun ini mereka masih setia menemaniku. Aku tinggal bersama kakekku yang bekerja sebagai pembuat peti mati, orang tuaku meninggal karena kecelakaan saat ingin menjemptku ke rumah kakek. Saat itu aku baru berumur 10 tahun dan hari itu hujan sangat deras, aku sedang memandang ke jendela rumah kakek dan menantikan kedatangan orang tuaku yang seharusnya sampai dua jam sebelumnya. Tiba tiba ada suara telpon yang menghmburkan lamunanku,sesaat setelah kakek menutup telpon ia langsung menarikku keluar rumah dan samoailah kami di suatu rumah sakit, disana aku menemukan jasad orang tuaku yang berlumuran darah. Kini kita kembali ke masa sekarang, sekolah dan rumahku jaraknya tidak jauh dan dekat dengan pantai serta segala sesuatu yang seharusnya berada di pantai. Aku dan teman temanku sering datang ke pantai untuk bermain, karena kami masih single, kami juga sekalian mencari kekasih. Kami tidak pernah menggunakan kendaraan bermotor dan kami juga tidak berjalan, kami menggunakan kendaraan ramah lingkungan yaitu sepeda. Hari minggu ini kami main ke pantai. Aku terpisah dengan teman temanku, karena bosan, aku pun merasa ingin melihat ke dalam air untuk mencari ketenangan. Di dalam air sangat indah dan tenang, terumbu karang yang berwarna warni, ikan yang juga tidak kalah berwrna warni yang bersembunyi di balik terumbu karang yang terlihat lembut. Saat aku ingin berenang ke permukaan, kakiku terasa sakit, ternyata aku kram! Aku tidak dapat bergerak, aku tidak kuat menahan nafasku lagi. Aku mulai tak sadarkan diri, tetapi aku merasa ada seseorang meraih pinggangku dan menarikku ke permukaan. Aku merasakan tanggannya yang lembut dan kecil, aku rasa orang yang telah menolongku adalah perempuan, sayangnya aku tak sempat melihat wajahnya. Beberapa saat kemudian aku mulai sadar dan membuka mataku, aku berharap dapat melihat wajah penolongku, setelah aku sadar, hanya wajah teman temanku yang terlihat. Ke esokan harinya, yaitu hari senin, kami berempat berangkat ke sekolah bersama sama. Saat di kelas, wali kelasku Ibu Marni, memperkenalkan seorang murid baru, aku kurang mendengarkan siapa nama lengkapnya namun aku sempat mendengar nama panggilannya, Aya. Aya adalah perempuan termanis yang pernah aku impi impikan, ia duduk satu bangku di depan yang deretannya bersebrangan dengan deretanku. Entah ini perasaanku saja atau Aya memang memandangi aku sambil tersenyum kecil sampai akhirnya terhenti saat pelajaran di mulai. Sekarang pelajaran bahasa dan kali ini pelajaran kami membahas tentang puisi masa lampau. Aku tidak pernah mengerti pelajaran ini, begitu juga dengan ketiga temanku. Saat di akhir pelajaran, pak Edi menunjuk Aya untuk menbacakan salah satu puisi yang dipilih oleh pak Edi. Setelah Aya terdiam sesaat, ia langsung berdiri dan mengucapkan puisi tersebu dengan lancar, bait demi bait dia ucapakan, yang aku ketahui pak Edi belum pernah membahas puisi ini di kelas kami. Di wajah pak Edi terpasang senyum bangga kepada Aya. Akhirnya waktu pulang sekolah pun tiba, aku melihat Aya berjalan keluar melewati gerbang sekolah. Banyak anak laki laki yang mengajaknya pulang bersama, ada yang membawa mobil, motor sampai jalan kaki, tetapi ia tolak. Setelah aku menaiki sepedaku, aku memberanikan diriku mendekatinya dan bermaksud untuk mencoba mengajaknya pulang. Untungnya teman temanku tidak keberatan kalau aku mengajak Aya, justru malah mendukungku. “Aya,” panggilku. “Iya, ada apa Kevin?,” tanyanya lembut. “Um.. Aku hanya berpikir apakah kamu ingin pulang bersama?” “Naik sepeda?” “Tentu, apa kau tidak suka?” “Ah.. tentu tidak, aku senang sekali,” “Naiklah,” Aku menantarnya pulang dan meminta nomor telponya. Aku pamit untuk pulang dan ia mengantar kepergianku dengan senyumannya yang manis itu. Ketika aku sampai di rumah, aku mencoba menelponnya, kami berbincang bincang hingga tengah malam, dia berkata, ia tinggal bersama orang tuanya, ia adalah anak satu satunya. Dia tidak banyak menceritakan tentang dirinya. Selanjutnya kami hanya berbincang bincang tentang aku dan kesannya mengenai tempat ini. Esoknya aku menjemputnya bersama Ivan, Danu dan juga Derry. Aya sangat ramah dan tidak pilih pilih siapa temannya. Saat aku memboncengnya dan ia memegang pinggangku, aku teringat kejadian di pantai beberapa hari yang lalu. Ketika aku memegang tangannya, rasanya sama saat aku memegang penyelamatku itu dalam keadaan setengah sadar itu, kucoba untuk menghapusnya dari pikiranku. Saat istirahat, aku menceritakan kejadian saat aku kram di pantai. “Aya, aku punya cerita yang mau aku kasih tau ke kamu,” mulaiku “Cerita apa?” tanya Aya “Beberapa hari yang lalu, aku dan yang lain lagi jalan jalan di pantai, aku mencoba untuk berenang ke laut tapi aku lupa untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu, sehingga aku kram,” “Lalu?” “Saat itu aku setengah sadar, tetapi aku merasakan ada sepasang tangan halus memegang pinggangku dan menarikku ke permukaan saat aku membuka mataku tak ku dapati penololgku itu. Saat setengah sadar itu aku sempat merasakan tangannya dan rasanya sama saat kau memegang pinggangku saat kita naik sepeda tadi pagi,” “Jadi?” “Apakah kau yang saat itu menolongku?” Aya hanya diam lalu ia tersenyum dan menjawab. “Iya, memang aku yang mengangkatmu, saat kau sedang terkagum kagum aku sedang berada di balik karang karang itu, aku melihatmu kesakitan dan terdiam maka aku langsung mengangkatmu,” “Jadi benar kau yang menelamatkan aku? Lalu kenapa saat hari pertamamu masuk kau terus tertawa kecil melihatku?” “Karena aku teringat saat aku menolongmu dan aku sangat tidak mengira kalau kita akan bertemu lagi,” Kami semakin akrab satu sama lain, teman temanku pun mendukung kalau kami pacaran. Tapi, ngga’ semua orang mendukung aku, contohnya Rangga dari klub basket, dia selalu mencoba untuk mendekati Aya. Hanya saja Aya-nya yang malah menghampiri aku, aku tahu Rangga benar benar benci sama aku. Lalu, Aldi dari klub sains, karena Aya cantik juga pintar, Aldi pun kesem sem sama Aya. Ia selalu mencoba mendekati Aya saat di klub sains, tapi, tetap saja Aya sangat acuh padanya. Terkadang terlintas di pikiranku ‘apakah Aya benar benar menyukaiku? Atau hanya mempermainkan aku?’ karena ia adalah perempuan yang cantik sehingga bisa mendapatkan semua laki laki. Aku sudah beberapa kali menanyakan ini kepada Aya tetapi ia hanya menjawab ‘Karena kau berbeda dari yang lain dan perbedaan itu yang aku suka,’ apakah itu benar? Tetapi aku hapus pemikiranku itu. Hari minggu ini aku ingin mengajaknya makan malam di pinggir pantai yang romantis, Ivan, Danu dan Derry ikut membantuku dalam menyiapkan segalanya. Hari ini pun tiba sejauh ini berjalan sesuai rencana, saat kami sedang saling menatap dan ingin bercumbu, sebuah bus travel menurunkan para turisnya. Karena mereka melihat kami ingin bercumbu, semuanya berseru ‘ahh.. romantisnya, membuat iri’ semua yang kami rencanakan pun landas sampai disitu. Tetapi Aya tidak marah atau pun malu, ia malah mengajakku bermain di pantai bersama turis turis itu. Saat sedang bermain air, tiba tiba saja hidung Aya mengelurkan darah dan Aya jatuh pingsan, aku dan para turis itu panik dan langsung membawanya ke rumah sakit atau klinik terdekat. Setelah Aya di masukkan ke ruang UGD, aku pun langsung menelpon orang rumah Aya dan juga teman temanku. Dalam beberapa saat orang tua Aya dan teman temanku sampai, orang tua Aya langsung masuk ke kamar dimana Aya terbaring. Lalu keluarlah Ayahnya Aya sambil mengusap usap wajah dan tengkuknya, ia menghampiri aku dan mengajakku duduk sambil berbincang bincang. “Kamu Kevin, ya?” tanyanya terlebih dahulu “Iya, om. Ada apa?” balasku “Aya sering bercerita tentangmu kepada kami, ia bilang kamu berbeda dengan laki laki yang lain,” “Oh.. begitu” “Begini Kevin, Aya bukanlah anak kandung kami. Dia anak dari kakakku, ayahnya meninggal saat Aya masih di dalam kandungan ibunya. Setelah saat itu, aku dan isteriku yang selalu berada di sampingnya. Sebenarnya ibu Aya takut sekali memiliki anak karena ia tahu kalau ia mengidap penyakit Leukimia atau kanker darah.” Aku tertegun mendengar cerita itu dan hanya bisa diam “Tetapi suaminya sangat ingin mempunyai anak. Akhirnya ibunya Aya pun setuju dan mereka sangat bahagia memiliki anak namun rasa kehawatiran itu tetap masih ada saat itu ibunya sedang mengandung tujuh bulan, malam itu hujan sangat lebat dengan petir petir yang menyambar, ayahnya dalam perjalanan pulang. Sampai pagi ibunya menunggu sang suami tetapi tak kunjung datang. Ternyata suaminya telah meninggal.” Pria itu terdiam untuk menahan kesedihannya, beberapa saat kemudian ia melanjutkannya kembali. “Beberapa bulan kemudian, ibunya Aya melahirkan. Aya lahir selamat dan sehat namun ternyata ibunya merelakan nyawanya agar Aya dapat merasakan bagaimana rasanya hidup. Setelah beberapa tahun, ternyata Aya juga memiliki penyakit yang sama seperti ibunya. Saat ini kankernya sudah mencapai stadium empat.” “Ia selalu menginginkan seorang teman yang rela menemaninya dan menerima keadaannya sekarang ini. Lalu ia bertemu kamu dan kamulah orang yang dipilih Aya. Selama ini kami yang menjaga Aya, kami ingin kamu yang menjaga dan hidup bersama Aya sampai akhir hayatnya.” Pria itu menatapku dengan penuh harapan. Tetapi ia melihat raut ketidak yakinan di wajahku, namun ia terus berharap. “Demi Aya, Kevin. Anggaplah ini adalah permintaan terakhirnya.” Aku menganggukan kepalaku dan memasang senyum. Pria itu pun terlihat lega mulai hilanglah kecemasan di wajahnya. Walaupun aku memasang senyum di wajahku, kekhawatiran, kecemasan, kesedihan dan rasa bahagia bercampur menjadi satu. Malam ini aku menemani Aya, Aya terlihat sangat lemah di atas tempat tidur yang berwarna putih itu. Pamannya sangat ingin aku membahagiakan Aya, tetapi aku ragu, apakah aku dapat membuatnya bahagia dan memberinya cinta yang berlimpah padanya sampai akhir hayatnya? Aku khawatir kalau saja ia meninggalkan aku di saat aku belum siap. Aku cemas, apakah ia benar benar harus pergi? Aku bahagia karena aku memiliki kesempatan untuk membuatnya tertawa walaupun itu adalah tawanya yang terakhir. Di sekolah aku hanya memikirkan Aya. Apa tempat tidur Aya nyaman? Apa dia sudah makan? Apa dia baik baik saja? Apa dia sudah sadar? Apa dia sudah baikan? Pertanyaan pertanyaan itulah yang terbayang bayang di benakku. Seharian aku hanya melamun. Setelah sekolah usai, aku pulang sebentar untuk berganti baju dan bermaksd untuk menemani Aya di rumah sakit. Ketika sampai di rumah, aku terkejut, rumahku berantakan. Aku mencari kakekku aku piker telah terjadi perampokan. Aku mendapati ia pingsan. Cepat cepat aku membawanya ke rumah sakit, rumah sakit Aya dan kakek adalah rumah sakit yang sama sehingga aku dapat mengunjungi mereka berdua. Malam ini aku menemani kakek. “Kevin?” panggil kakek lemah “Ada apa kek?” jawabku khawatir “Kevin, mungkin kakek nggga’ akan lama lagi..” “Jangan seperti itu kakek, mudah mudahan kakek akan sembuh” “Kevin, sewaktu ayahmu masih hidup, ia sangat bahagia akan kehadiranmu ia menabung untuk masa depanmu, begitu pula ibumu. Mereka juga memiliki villa di daerah Kintamani. Nanti saat aku sudah tidak ada pakailah uang itu dengan baik. Kalau bisa kau perbanyak uang itu.” Setelah kakek berkata demikian ia pingsan selama beberapa hari sampai akhirnya ia meninggalkan aku dan dunia ini. Kakek telah bergabung dengan ayah, ibu dan nenek di surga. Saat ini, Aya sudah baikan ia menjalani rawat jalan. Kami juga sudah berada di perguruan tinggi yang sama, kami mengambil jurusan yang sama, jurusan kedokteran. Aya selalu membantuku ketika ada sesuatu yang tak dapat ku mengerti. Sekarang aku yang selalu menjaganya, kami tinggal di sebuah villa peninggalan orang tuaku.Kami selalu menghabiskan waktu bersama sama. Suatu hari Aya semakin melemah sehingga ia harus dirawat di rumah sakit. Aya tidak ingin tinggal di rumah sakit, jadi aku memohon agar dokter mengijinkan Aya dapat di rawat di rumah. Karena aku ingin merawat Aya sepenuhnya, jadi aku berhenti kuliah untuk sementara. Setiap hari aku hanya menemani Aya, aku tidak keberatan tetapi, aku keberatan kalau ia meninggalkan aku. Walaupun kami tinggal satu rumah, aku tetap menghormatinya sebagai perempuan. Kami memang tir sekamar tetapi tidak stu tempat tidur, dia tidur di kasur dan aku di sofa panjang di sampingnya. Setiap pagi, kami menantiakan matahari terbit. Setiap senja kami menantikan matahari terbenam. “Kevin, bolehkah aku duduk di pangkuanmu?” tanyanya “Apa sih yang tidak boleh untuk kamu?” Aku pun memangkunya, kepalanya ia sandarkan di pundakku. Aku mencium rambutnya dengan lembut, ia tersenyum. Aku menggoreskan hidungku ke hidungnya, ia tertawa lemah. “Kevin? Apa kamu bosan mendampingi dan merawatku?” “Tentu saja tidak, aku senang merawat dan menjagamu. Aku senang berada di sisimu setiap waktu” “Benarkah?” “Iya..” “Sungguh?” “Iya, sayangku” “Ohh.. baiklah” Saat matahari sepenuhnya terbenam, aku menggendongnya untuk kembali duduk di kursi rodanya. Ia menghalangiku dan berkata gendonglah aku sampai ruang makan. Aku tidak mau mengecewakannya, aku pun menggendongnya ke ruang makan. Makan sudah tersedia di atas meja. Aya memintaku untuk menyuapinya makan. Hari ini Aya terasa sangat ingin di manja. Seusai makan, kami bermain air di kolam renang, kami memberi makan ikan dan bermain bersama sama. Keesokan harinya. Teman temanku datang mengunjungi kami. Mereka membawa pasangan masing masing. Ivan dengan pacarnya yang bernama Iren, Danu dengan Dania dan Derry dengan Riri. Kami membuat barbeque di samping kolam. Para perempaun merias meja dan yang laki laki memanggang. Hari ini, Aya tidak menggunakan kursi rodanya sama sekali. Katanya ia ingin merasakan bagaimana rasanya bermain dengan teman yang lebih banyak walaupun itu adalah hal terakhir yang ia lakukan. Ternyata teman temanku dan pasangannya ingin menginap dan ternyata Aya tidak keberatan ia hanya tersenyum. Malam itu seisi villa terasa penuh dengan cinta dan kasih sayang. Walaupun malam itu angina terasa dingin, namun semua orang di dalamnya merasa hangat. Keesokan paginya aku terkejut, Karen tidak mendapati Aya di atas tempat tidurnya. Setelah mencari cari ternyata Aya sedang menyiapkan sarapan untuk kami semua. “Pagi Kevin,” sapanya lembut “Kamu ngapain bangun sepagi ini?” tanyaku agak khawatir “Tenanglah, hari ini mereka kan’ akan pulang, aku ingin memberikan sesuatu yang special untuk mereka” “Baiklah kalau itu keinginanmu. Tapi, izinkan aku membantumu” “Baiklah” Selesai sarapan, mereka pamit untuk kembali. Rumah kami terasa sepi tetapi mau bagimana lagi. Setelah mereka pergi agak jauh, Aya langsung menyandarkan kepalanya di pundakku. Aya terlihat sangat letih tetapi selalu ada senyum yang menghiasi wajahnya yang pucat. Aku menggendongnya ke kamar, ia terlihat lemas. “Aku sangt letih hari ini, tetapi aku sangat bahagia” “Iya, sayang. Aku tahu itu, seharian kamu memasang senyum di wajahmu yang pucat itu” Kami menjalani hari itu seperti biasanya. Kami membuat kue kesukaanku dan Aya. Kami memberi makan ikan ikan. Kami bermain air di kolam. Kami menghabiskan hari itu denagn bermain. Hari itu aku memasak makn malam untuk Aya. Walaupun bukan makanan kesukaan Aya, tetapi Aya sangat senang memakannya karena makanan itu adalah makanan yang aku buatkan khusus untuknya. Malamnya kami melihat bintang bintang dari balkon kamar kami. Saat melihat ke atas, kami melihat bintang bintang yang bertaburan. Saat kami melihat ke bawah, kami melihat lampu lampu yang berwarna warni bertaburan. “Malam ini sungguh indah, aku rela kalau sekarang aku harus pergi” ujarnya “Kamu ini ngomong apa sih sayang?” kataku, sambil merngkulnya “Aku capek, aku mau tidur” “Baiklah” “Tapi aku mau kamu yang gendong aku ke kamar” “Iya deh” Aku menggendongnya ke kamar meletakkannya di atas tempat tidur dengan lembut dan perlahan. Ia hanya tersenyum, kadang aku berfikir, apa yang membuatnya begitu tabah dan selalu memasang senyum manis di wajahnya yang kini telah kirus namun tetap terlihat manis. Perempuan ini sangat berbeda dari yang lain, aku beruntung bisa menemaninya selamanya. “Sayangku Kevin, maukah kau menemaniku tidur di atas ranjang yang begitu besar ini. Kurasa suhu malam ini akan terasa dingin” ajaknya “Baiklah tapi hanya sekali saja ya.. aku tak mau orang orang berkata yang tidak tidak tentang kita” “Aku janji, ini yang pertama dan yang terakhir. Boleh ya..” Aku menemaninya malam itu, aku merangkulnya dengan erat. Tapi, ia benar, ia berkata kalau semalam adalah malam pertama dan terakhirnya ia tidur bersamaku. Karena ketika aku ingin membangunkannya dan membebaskannya dari pelukanku, aku mendapati sayangku Aya, hanya tinggal jasadnya. Ia telah meninggalkanku dan dunia ini untuk selamanya. Sama seperti ayah, ibu dan kakekku, namun aku turut senang karena kini ia sudah bergabung dengan orang tuanya.  Sekarang umurku sudah 45 tahun. Aku sudah beristeri dan memiliki dua orang anak. Tentu saja aku tidak menikah dengan Aya, nama isteriku Maya, kami memiliki seorang anak laki laki bernama Bima dan seorang anak perempuan bernama Melvina. Aku bertemu dengan Maya, saat aku mulai praktek di sebuah klinik di Bali. Kami menikah saat umurku 25 tahun dan Maya 23 tahun. Kami memiliki anak satu tahun setelah pernikahan kami. Kini anak anka kami telah beranjak dewasa. Suatu hari Bima dan Melvina membawa kekasihnya masing masing. Aku terkajut setengah mati, karena pacar Bima mirip sekali dengan Aya. Gadisku yang malang, kuharap kau melihat kebahagiaanku bersama keluargaku yang sekarng ini. Aku tidak pernah memberi tahu isteriku tentang kamu. Aya, aku merindukanmu, aku menginginkan berada di disisimu lagi, seperti dahulu.Hari minggu ini, aku berkunjung ke villa milik keluargaku. Saat di perjalanan, mataku terasa berat sekali, aku merasa aku ingin tidur. Bruak!! Kini aku sudah bergabung dengan orang orang yang kucintai. Ayah, ibu, kakek dan gadisku yang termanis, Aya. “Ara!! Ara!! Kamu ada dimana sih?” Panggil Icha. “Aku ada di kamar, Cha!” balasku dari kamar. “Ara, kamu lagi ngapain sih?!” “Ya.. Chatting-lah,” “Chatting lagi, chatting lagi. Betah banget ada di depan computer,” “Tapi ngga’ rugi buat kamu kan’?” “Iya juga sih,” “By the way, kamu ngapain kesini? Tumbenan” “Iya, sampai lupa. Nih, ada paket buat kamu yang salah kirim ke rumahku. Buka dong, apasih isinya?” “Ini? Ini buku yang aku pesan lewat internet,” “Dasar, kalau ngga’ Komputer, buku. Kutu buku banget sih kamu,” “Dari pada kamu, alat kosmetik terus. Udah ah.. aku ngga’ mau ngelanjutin lagi,”  Namaku Kiara, tapi orang prang terdekatku memanggilku Ara. Aku suka sekali Chatting dan baca buku, aku juga lebih senang berada di kamar dari pada di luar. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku, aku anak tunggal, kami tinggal di pedesaan dekat pegunungan, sehingga udara selalu dingin. Aku juga memiliki teman dekat, aku hanya ingin bercerita kepada dia saja, namanya Jesica, tapi aku manggil dia Icha, lebih simple. Icha tinggal di sebelah rumahku, sebenarnya tidak bisa di sebut rumah melainkan villa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar