Rabu, 25 Januari 2012

Elegi by Zhafarina Shandira

“Rafa, aku sakit.” “Kenapa Seffy?” Jawab Rafa dengan lembut di telepon. “Aku.. Ah, nggak tau..” Aku tidak dapat meneruskan kalimatku. Karena aku tahu, kalau aku meneruskannya maka ia akan sedih. Rafa, sahabatku akan selalu sedih jika aku mulai berbicara tentang mantanku yang sampai saat ini masih sangat kusayangi, Nino. “Jangan sedih yaa, Seffy harus semangat, nanti aku beliin susu deh! Janji.” “Huaa nggak bisaaaaa..” Air mataku turun semakin deras. “Eeeh, senyum dooong, nanti nggak aku ajak main lagi nih?” Bujuknya. “Iyaaaaaa deh!” “Naah gitu dong, seneng deh kalo denger suara Seffy yang kayak gini, daripada denger suara kamu yang lagi nangis, jelek tau ih.” “Iya Rafaaaaaaaaaa..” Akupun luluh. Entah kenapa, dia selalu saja bisa membuatku senang disaat aku sedang sedih dan dia selalu ada disaat aku membutuhkan seseorang untuk menghiburku. Pagi itu aku terbangun dengan mata sembab akibat terlalu banyak menangis semalam. Namun, sedalam apapun Nino menyakitiku, sesering apapun ia membuatku menangis, aku tak akan pernah bisa menyingkirkannya dari pikiranku. Aku tidak pernah tahu dan tidak pernah mengerti kenapa perasaan ini begitu nyata dan tidak bisa kulupakan. Aku dan dia sudah bersama selama kurang lebih 7 bulan, dengan kenangan dan begitu banyak hal yang telah dilewati bersama membuatku semakin sulit untuk melupakannya, padahal Nino sendiri sudah melupakanku. Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya lebih jauh lagi. Telepon genggamku berdering dengan lantang, memperdengarkan lagu milik band Paramore yang berjudul That’s What You Get yang merupakan nada deringku. Ah, Rafa meneleponku. Segera saja kuangkat, siapa tahu ada sesuatu yang penting yang ingin ia sampaikan. “Halo?” Sambut suara “serak-serak basah” yang khas di seberang. “Iya, kenapa Raf?” Tanyaku singkat. “Hari ini Seffy mau kemana? Main yuk sama bocah-bocah?” Ajaknya. Kami biasa menyebut teman-teman sepermainan kami dengan sebutan “bocah-bocah”. “Nggak tau, nih. Tapi bosan banget sih di rumah, mau kemana kita?” “Ke Bogor yuk?” “Ayo!” Sambutku semangat. Segera saja aku mencuci muka dan mengeringkan mukaku dengan handuk, dan mengganti pakaianku. Rafa selalu tahu kapan aku merasa sangat bosan dan dia selalu mengajakku keluar di saat itu. Terkadang terlintas di pikiranku, mengapa dia bisa sangat mengerti akan diriku? Mengapa dia sangat baik kepadaku? Namun segera kubuang jauh semua pertanyaanku itu, karena aku tahu, dia bersikap seperti itu kepadaku karena dia adalah sahabatku, tidak lebih. Tin tin tin! Klakson mobil Arby berbunyi di depan rumahku. Akupun bergegas mengambil tas dan setengah berlari menuju mobil Arby. Di dalam mobil sudah ada Rafa, Gama, Angga, Alvin, Bimo, dan Arby. Ah, aku senang sekali melihat wajah mereka lagi, setelah sekian lama tidak bertemu karena semua sudah sibuk dengan urusan masing-masing, ada yang sibuk mencari kerja, ada yang sibuk mencari universitas untuk dirinya. “Hoy Sef! Apakabar lo? Sombong lo hahahahaha.” Sapa Alvin saat aku masuk ke dalam mobil. “Yah, lo tau gue kan, gak pernah baik nih, payah deh..” Jawabku sambil menghela nafas. “Sabar ya, Sef. Nanti juga ketemu penggantinya kok, hidup lo masih panjang, lo masih muda, nikmati aja dulu masa muda lo, jangan dibawa stress lah. Lagipula dunia tuh nggak selebar daun kelor kali, Sef.” Kata Alvin sambil mengedipkan matanya. “Hahahahaha, iya bang iya.” Aku hanya bisa menjawab dengan pasrah. Kata-kata Alvin terngiang-ngiang di kepalaku, namun aku tetap tidak pernah bisa melupakan orang yang telah bersamaku selama 7 bulan itu. Tapi aku memutuskan untuk melupakannya seharian ini dan bersenang-senang dengan teman-temanku ini. Kekonyolan-kekonyolan Alvin dan Bimo yang berakting sebagai pemain sinetron sangat menghiburku. Akupun tertawa tak henti-hentinya. Payah, sudah lama aku tidak tertawa selepas ini. Aku dikalahkan oleh perasaan dan kenangan yang begitu kuat. “Eh, gue laper deh.” Celetuk Gama di sela-sela gelak tawa. Benar juga, kataku dalam hati. Saking senangnya tertawa aku sampai mengacuhkan cacing-cacing di dalam perutku ini. “Makannya di Bogor Nirwana aja, sekalian kita ke Hantu Jungle.” Usul Rafa. Malam itu begitu dingin, membuatku kembali teringat akannya yang selalu memelukku disaat aku kedinginan. Hey, lupain Sef, dia udah pergi, pikirku. Aku pun kembali memperhatikan kebodohan-kebodohan yang dilakukan oleh teman-temanku, terutama Alvin, Bimo, dan Rafa. Mereka melakukan hal-hal bodoh seperti berkejar-kejaran di jalanan dan berfoto layaknya seorang striptease di tiang lampu pinggir jalan. Aku tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku mereka yang tidak ingat umur. Sudah seperti pelawak saja mereka! Tiba-tiba saja Rafa menghampiriku. “Lo kedinginan ya, Sef?” Kata Rafa. “Hah, eh, iya nih, nggak bawa jaket lagi gue, payah deh.” “Nih, pake kemeja gue aja, gak terlalu tebel sih, tapi ya lumayan lah buat ngangetin badan lo.” Rafa melepaskan kemejanya dan memberikannya kepadaku, sambil tersenyum dan mengusap lembut kepalaku. Aku tahu dia juga sebetulnya kedinginan, tapi ia rela meminjamkan kemejanya dan hanya memakai t-shirt. Ia pun duduk disebelahku dan menemaniku. Saat itu aku mulai berpikir, dia benar-benar baik kepadaku. Dan aku menyukai sentuhan lembut tangannya saat mengusap kepalaku. Hey, aku merasa nyaman berada di dekatmu, Rafa. “Sendirian aja lo, sana ikutan maen, hahaha.” “Gak ah, ntar ketularan autisnya lagi gue, hihi,” Aku tertawa kecil. “Emang lo udah autis kali Sef, cuma sekarang kayaknya autisnya kekurung di dalem diri lo deh.” Jawab Rafa. “Maksudnya?” “Seffy yang sekarang nggak kayak Seffy yang gue kenal, gue kayak ngeliat orang lain..” Aku terdiam mendengar kata-katanya. Aku tak bisa menjawab apa apa. Ia pun melanjutkan kalimatnya, “Seffy yang sekarang ngelamun terus. Nangis terus. Jelek, tau.” “Masa, sih?” Tanyaku penasaran. “Iya. Jangan sedih terus dong. Payah ah. Gue suka lo yang ketawa-ketawa kayak tadi deh, lebih manis.” Ungkap Rafa. “Suka?” “Iya.” Jawabnya singkat. Aku terdiam sejenak. Mencoba mengulang kembali perkataan Rafa yang baru saja kudengar. Apakah mungkin? Apakah aku salah mendengar? Ternyata kecurigaanku selama ini benar. Tapi, bagaimana bisa? “Semua cerita yang lo bagi, semua waktu yang gue habisin sama lo, semua hal bodoh yang kita lakuin bareng, semua itu bikin gue ngerasa sesuatu yang beda ke lo.” Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, aku benar-benar terkejut. “Iya Raf, gue juga suka sama lo, kok. Lo kan sahabat gue, masa gue gak suka sama lo?” Jawabku. “Tapi ini beda, Sef..” Kepalaku dipenuhi dengan begitu banyak hal yang membingungkanku. Perasaanku pada Nino masih begitu nyata, dan ternyata Rafa memiliki perasaan yang istimewa, padahal ia sudah tahu seberapa besar perasaanku pada Nino. Ada apa ini? Aku tidak mengerti! “Seffy, jangan tinggalin gue, ya.” “Nggak kok, kita kan sahabatan, kita gak akan pisah Raf.” “Hahaha. Iya, sahabat.” Ucap Rafa lirih. Ia terdengar begitu takut saat mengucapkan semua itu. Bodoh. Kenapa baru kusadari sekarang kalau ia memang memiliki perasaan seperti ini? Sekarang aku benar-benar tidak mengerti apa yang harus aku lakukan. Tidak pernah terpikir olehku kalau sesuatu seperti ini akan terjadi. Bagaimana ini? “Ah, gue jadi inget kata-kata kakak gue. Dia bilang sama gue kalo dia mau biayain gue buat sekolah khusus pilot di New Zealand.” Kata Rafa. “New Zealand? Jauh banget Raf?” “Iya. Gue juga belom yakin. Gue gak mau jauh dari lo, Sef. Sehari gak ketemu aja gue udah kangen banget sama lo, gimana nanti? Ah, nggak bisa ngebayangin deh gue. Kan percuma juga gue udah jauh-jauh kuliah disana tapi yang ada gue cuma mikirin lo. Gue gak mau pisah dari lo Sef.” Kata-kata Rafa begitu menyakitkan di telingaku. Perasaannya kepadaku begitu besar. Seketika saja detak jantungku tak beraturan. Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan namun sulit untuk diungkapkan. Sial, lagi-lagi aku dilanda rasa galau. Entah apa yang kini memenuhi pikiranku, namun kata-kata Rafa barusan terus terngiang di telingaku. Apakah semuanya akan tetap sama seperti adanya kini? Apakah perasaan yang begitu kuat ini akan perlahan pergi? Terlalu banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku sehingga membuatku tidak dapat memperhatikan orang-orang di sekitarku. Entah kenapa, aku merasa akan kehilangan sesuatu yang berharga kalaupun ia benar-benar pergi. Astaga, perasaan apakah ini? “Makanya lo jangan jauh-jauh dari gue, ya.” Pinta Rafa. “Gue gak tau Raf..” “Sakit hati juga sih ya pas gue pulang dari New Zealand, dengan keadaan masih sayang banget sama lo, tapi pas gue tanya sama yang laen ternyata lo udah punya cowok. Bunuh diri kali gue, hahahaha.” “Jangan bodoh ah, Raf!” Kataku. “Mau gimana lagi? Gue udah terlanjur sayang banget sama lo.” Pengakuan dari Rafa benar-benar mengejutkanku. Aku terdiam dan begitu banyak pertanyaan kembali muncul dalam pikiranku. Apakah masa depan akan begitu menyakitkan? “Rafa.. Gue pernah mimpi untuk hidup selamanya sama Nino, tapi sekarang itu semua telah sirna. Harapanku hilang tak tersisa. Begitu banyak janji manisnya yang akan selalu gue ingat. Apakah perasaan ini akan terus begini adanya?” Aku menghela nafas panjang. Aku tidak pernah berpikir Rafa akan memiliki perasaan seperti ini. Yang kupikirkan hanyalah Nino. Dadaku sesak dipenuhi oleh perasaan yang begitu hebat. Perasaan yang terus kupendam serasa ingin meledak. Mengapa cinta Nino begitu sulit? Begitu banyak hal yang telah dilewati, semua itu terasa hampa. Kenangan manis hanya membangkitkan perasaan yang begitu besar dan kenangan pahit menimbulkan penyesalan dan air mata lirih. “Membohongi perasaan sendiri itu sulit, ya? Gue mencoba untuk melupakan semua perasaan gue ke Nino, tapi semakin keras gue mencoba yang ada perasaan ini malah semakin nyata. Gue berusaha untuk menyingkirkan Nino dari pikiran gue dan semua kenangan itu, tapi semakin keras gue berusaha, Nino semakin memenuhi pikiran gue. Apa yang harus gue lakuin?” Ungkapku pada Rafa. Seketika saja raut wajah Rafa berubah, seperti telah kehilangan sesuatu yang begitu diinginkannya. Seperti merpati yang kehilangan sebelah sayapnya. “Bagaimanapun, gue akan selalu sayang sama lo, Sef. Semuanya udah terlanjur.” Obrolan itu harus berakhir ketika Arby dan yang lain mengajak kami pulang. Di perjalanan, aku terus memikirkan kata-kata Rafa. Aku tak mengucakan sepatah katapun, begitu pula Rafa. Sepertinya hatinya telah hancur berkeping-keping. Tapi perasaan ini tidak dapat kusembunyikan lagi. Aku langsung merebahkan badanku diatas kasur sesampainya di rumah. Tangisku pun terpecah. Beban pikiranku terlalu banyak. Aku tidak bisa berfikir lagi. Aku benar-benar kehilangan arah. Perasaanku terlalu nyata, dan perasaan Rafa juga bukan sesuatu yang mudah dilupakan. Aku mencoba menutup mata dan melepaskan semuanya... Aku terbangun oleh suara telepon genggamku. Saat kulihat layar ternyata Rafa meneleponku. “Iya, Rafa?” “Lo ada acara nggak hari ini?” Tanyanya. “Nggak kok, kenapa Raf?” “Gue mau ngajak lo ke suatu tempat. Siap-siap ya Sef, mandi dulu gih. 30 menit lagi lo gue jemput ya.” “Tempat apa Raf? Dimana?” “Udah, lo siap-siap aja dulu. Dadah Seffy.” Rafa menutup teleponnya. Aku penasaran tempat apa yang dikatakan oleh Rafa. Aku pun segera mandi dan bersiap-siap. Bel rumahku berbunyi. Itu dia Rafa, pikirku. Aku membukakan pintu untuknya. “Udah siap?” Tanya Rafa. “Udah. Kita mau kemana Raf?” “Ikut aja, yuk.” Ujarnya seraya menggenggam tanganku lembut. Aku tidak mendengar lelucon konyol Rafa seperti biasanya, dan aku melihat wajah Rafa begitu sedih. Beda seperti biasanya. Jarang sekali kulihat wajah Rafa yang seperti ini. Suasana di mobil begitu dingin, bukan karena udaranya. Dari wajah Rafa seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa. 25 menit kemudian kami sampai di sebuah tempat yang berbukit. Terdapat padang rumput hijau yang dihiasi oleh bunga-bunga segar yang baru mekar. Sejauh mata memandang hanyalah bukit dan langit yang begitu biru yang terlihat. Awan-awan terlihat begitu putih dan jelas, begitu besar namun indah, dan angin berhembus begitu lembut memanjakan diri kita. Tuhan, tempat ini begitu indah... “Rafa, lo tau darimana ada tempat seindah ini?” Tanyaku kagum. “Gue sebenernya udah lama mau nunjukin tempat ini ke lo, tapi setiap gue mau ngajak lo pergi berdua lo selalu ada acara. Akhirnya baru sempet sekarang deh, maaf ya Sef..” “Gue suka banget sama tempat ini Raf, huaaa gue pengen disini terus deh! Lo harus sering-sering ngajak gue kesini Raf!” Pintaku. Rafa tiba-tiba memelukku erat. Begitu erat, seakan tidak pernah ingin melepaskan. Seperti tidak ingin kehilangan. “Gue sayang sama lo, Sef.” Air mata Rafa jatuh untuk pertama kalinya, sejak aku mengenalnya. “Gue pengen menghentikan air mata, juga rasa sakit lo..” Pelukannya semakin erat. Tangannya membelai lembut kepalaku. Dari ujung jari seperti ingin menyampaikan perasaan yang nyaris tertumpah. “Tapi hari ini gue harus berangkat ke New Zealand, Sef..” Aku tertegun mendengar kata-katanya. “Kenapa Raf? Katanya lo gak mau jauh dari gue? Katanya lo sayang banget sama gue?” Aku menangis terisak. “Karena gue sayang banget sama lo, makanya gue harus ngelakuin ini. Gue gak mau nambahin beban pikiran lo, Sef.” “Rafa bodoh! Waktu itu kan lo pernah bilang kita mau kuliah bareng kan? Lo lupa Raf? Lo jangan jauh-jauh dari gue Raf, gue butuh lo, gue butuh sahabat gue!” Tangis tak dapat terelakkan. Aku tidak ingin kehilangan Rafa. Tapi menurutnya, inilah jalan yang terbaik. Kenapa harus begini, Raf? “Jangan lupain gue ya, Sef.” Rafa tersenyum kepadaku. Dari matanya seakan menyampaikan perasaan paling tulus yang pernah ada. Suatu saat, hal seperti ini akan terjadi. Kenangan yang manis akan selalu tersimpan dalam diri, kenangan pahit biarlah menjadi saksi hidup yang tak selalu indah, kesalahan di masa lalu biarlah menjadi cermin, karena jalan hidup manusia telah ditentukan sejak awal. Perasaan yang telah tersampaikan kini telah abadi tersimpan dalam ingatan. Setiap waktu yang dihabiskan bersamanya tak akan pernah pergi, senyum dan kelembutan itu akan tinggal dalam benakku. Satu hal di dunia ini yang kutahu pasti, bahwa cinta adalah perasaan yang tak akan ada habisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar