Selasa, 20 Oktober 2009

Maafkan Aku by Yustisia Sekar Pratiwi

Aku benci semua orang! Aku benci orangtuaku! Aku benci pada diriku! Aku benci pada Tuhan yang telah menciptakan Aku sebagai perempuan! Kenapa selalu Aku yang dilarang?! Perasaan kesalku ini selalu mengganguku sejak menjelang kelulusan SMP. Perasaan kesal ini disebabkan oleh larangan orangtuaku untuk melanjutkan sekolah dan menyewa kamar kos di Bandung. Alasannya karena Aku belum mandiri, karena Aku masih labil, dan karena Aku seorang perempuan! “Pokoknya, Utie mau sekolah di Bandung!” kataku, “Tapi nanti kamu tinggal dimana?” tanya ibuku, “Kan, Aku bisa nge-kos,” “Emang kalau nge-kos itu gampang? Nanti yang nyuci baju kamu siapa? Yang masak makanan kamu siapa?” tanya ibuku lagi. “Aku kan bisa nyuci baju sendiri, masak sendiri. Aku kan bukan anak kecil lagi, Bu.” sambarku, “Tapi kamu anak perempuan, Nak. Kalau kamu sakit, ibu sulit untuk menjengukmu. Lagipula anak perempuan sulit untuk dijaga. Bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan?” kata-kata ibu barusan seperti menonjok perutku. Memang benar kata-kata ibu barusan. Tapi bukan Utie namanya kalau tidak keras kepala dan tetap pada pendiriaanya. “Ah, terserah, deh!” tangkisku. Aku pun langsung menuju kamar tidurku dan membanting pintu kamarku sekeras mungkin dihadapan kedua orangtuaku.

Keesokan harinya, Aku memulai aksi mogok makan dan mogok bicara yang sudah Aku rencanakan sejak kemarin malam kepada orangtuaku. Setelah bangun pagi, Aku langsung mandi dan memakai seragam sekolah, setelah itu Aku pun keluar kamar hendak pergi ke sekolah. Saat Aku melewati meja makan, ibuku bertanya, “Kamu gak makan dulu?” tapi Aku tak menghiraukan pertanyaan ibu.

Sesampai di sekolah, Aku menceritakan perdebatanku dengan kedua orangtuaku semalam kepada kedua sahabat baikku, Iwie dan Tisya. “Menurut Gue, orangtua Loe benar.” Kata Iwie. “Gue juga berpendapat sama kayak Iwie,” sambar Tisya. Tisya, temanku yang satu ini memang tidak bisa dimintai pendapat. Disamping karena ia masih lugu, ia juga sering telat mikir dan tulalit. “Oh, jadi menurut kalian lebih baik Gue jadi anak manja yang selalu bergantung sama orangtua dan tidak pernah bisa maju dengan kemampuan Gue sendiri! Gitu?” bentakku, “Gak gitu juga, tapi menurut Gue kalau Loe mau nge-kos nanti aja pas mau kuliah.” nasihat Iwie yang memang lebih dewasa sikapnya dibandingkan Aku dan Tisya. “Ah, kalian sama aja kayak orangtua Gue. Gak bisa ngertiin perasaan Gue!” Aku pun bergegas meninggalkan mereka.

Pada malam harinya, tepatnya pada pukul 01.25 dini hari, perutku terasa sakit sekali, Aku belum makan seharian ini. Maka Aku pun pergi ke dapur secara diam-diam. Saat sedang menuju ke dapur, Aku mendengar suara-suara dari arah ruang makan. Saat Aku mendekat agar Aku dapat mendengar suara itu lebih jelas, Aku melihat sosok ibuku dan ayahku sedang berdebat mengenai sesuatu, “Tapi Utie belum makan seharian. Ayah kan tahu kalau Utie punya penyakit Typhus.” kata ibu, “Ayah tahu, tapi kalau kita mengizinkan Utie untuk bersekolah di Bandung, kita tidak dapat mengawasi Utie sepenuhnya.” kata ayahku, “Tapi kesehatan Utie adalah prioritas utama. Apakah Ayah tidak memikirkan kesehatan Utie dan Ibu?” sambar ibu, “Apa maksud ibu?” tanya ayah, Aku bisa mendengar ada nada kecemasan pada setiap katanya. “Kalau kita selalu mengkekang Utie, dia akan memikirkannya terus, itu sama saja dengan menyakitkan perasaan Ibu.” jawab ibu. Suasana menjadi hening sesaat. “Baiklah, kita izinkan Utie untuk bersekolah di Bandung. Tapi kalau terjadi sesuatu, ia harus pulang segera.” Keputusan ayah telah bulat.

Pagi harinya, kami sekeluarga mengadakan rapat di ruang keluarga. Aku yang sudah tahu isi rapat tersebut dengan senang hati menghadirinya. Setelah rapat selesai, Aku segera membereskan baju-baju dan barang-barangku yang ingin kubawa ke Bandung. Ayah bilang Aku akan berangkat ke Bandung tiga hari dari sekarang. Dan Aku akan menyewa kamar kos milik teman ayah yang berada di Bandung.

Tiga telah berlalu, akhirnya hari yang Aku tunggu telah tiba. Aku diantar oleh ayah dan ibu sampai di tempat Aku akan menyewa kamar dan mendaftar di sekolah menengah atas terfavorit di Bandung. Setelah mendaftar, ayah dan ibu kembali ke Jakarta. Sebelum mereka pergi, mereka memberikan dua buah kartu, masing-masing adalah sebuah kartu ATM dan sebuah kartu kredit. Ibu bilang, ia akan mentransfer sejumlah uang ke kartu ATM tersebut setiap bulanya. Sedangkan kartu kredit hanya bolah digunakan apabila ada keperluan mendadak. Tentu saja Aku senang sekali. Karena ini adalah kali pertama Aku memililki kartu ATM dan kartu kredit.

Sebulan telah berlalu, hari sempurnaku dimulai disini. Di kota Bandung, kota yang dikenal sebagai kota kembang. Di sekolah, Aku memiliki banyak teman baru. Dan di tempat kos, Aku memiliki banyak teman baru juga. Walaupun harus ku akui bahwa semua teman kos ku berumur lebih tua dariku. Tapi Aku senang, karena mereka menganggapku sebagai adik, dan Aku pun menganggap mereka sebagai kakak-kakakku. Pada suatu malam, saat Aku sedang mengerjakan PR, Aku mendapat panggilan telepon dari ayah. “Halo?” sapaku, “ Utie, ibu masuk rumah sakit. Ayah harap kamu dapat pulang ke Jakarta segera!” jawab ayah dengan tergesa-gesa, “Apa? ibu masuk rumah sakit! Sakit jantung ibu kambuh lagi?” tanyaku berusaha untuk tenang. Aku sangat terkejut mendengar pernyataan ayah. Aku tidak menyangka bahwa penyakit ibu akan kambuh lagi. “Ya, sebisa mungkin kamu pulang ke Jakarta. Karena ibu tidak mau menjalani operasi kalau kamu tidak ada untuk mendampinginya.” Jelas ayah.

Setelah menerima telepon dari ayah, Aku langsung berangkat ke Jakrata. Aku sama sekali tidak membawa pakaian sehelai pun. Hanya tas kecil berisi dompet dan handphone yang kubawa saat ini. Waktu menunjukkan tengah malam, tapi bus yang kutumpangi belum juga sampai ke Jakarta. Sementara para penumpang lain tertidur pulas, Aku hanya bisa diam, berusaha menenangkan diri dari kemungkinan terburuk yang kupikirkan tentang kondisi ibu. Saat ini Aku hanya bisa berdo’a.

Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Aku baru sampai didepan kompleks perumahanku. Aku pun berjalan lebih cepat untuk segera sampai ke rumahku, karena disanalah tanteku menunggu kedatanganku untuk mengantarkanku ke rumah sakit tempat ibu berada. Jantung ini berdetak sangat cepat saat Aku berada di belokan rumahku. Tapi ada sesuatu yang aneh disini. Para tetanggaku dan para kerabat keluargaku juga sedang berjalan menuju ke arah yang sama sepertiku. Mereka memakai sarung dan peci bagi yang laki-laki dan jilbab bagi yang perempuan. Tidak sedikit dari mereka yang membawa Al-Quran atau Yaasin. Tapi ini masih pukul 3 pagi. Belum waktunya untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Tetapi pertanyaan itu Aku kesampingkan dahulu. Kerena sekarang yang terpenting adalah keadaan ibu. Saat Aku berada di depan rumahku, sekali lagi pemandangan aneh menyambutku. Semua tetangga dan kerabat yang kulihat tadi sedang berada di rumahku. Saat Aku datang, mereka memandangku dengan tatapan yang membingungkan. Tetapi kemudian pertanyaan itu terjawab. Aku pun melihat sebuah bendera kuning terikat di selusur tiang rumahku. Kaki ini mulai mati rasa, tapi Aku memaksa agar kaki ini berjalan. Saat berjalan, waktu terasa lambat sekali. Tapi kemudian di ruang tamu Aku melihat sesosok tubuh yang telah dibalut oleh kain kafan yang berwarna putih bersih. Tetapi bagian muka sosok itu sengaja dibuka agar dapat terlihat oleh semua orang. Saat melihat muka itu, hati terasa hampa. Tanpa kemaunku, Aku berteriak histeris saat mengenali sosok itu sebagai ibu kandungku sendiri. “Ibu! Ibu jangan pergi, Bu! Ibu jangan tinggalin Utie!” kata-kata itu terus menerus keluar dari mulutku. Kemudian Aku merasa seseorang memelukku. Orang itu yang tak lain adalah ayahku berkata, “Sudah, Nak. Ikhlaskan ibumu. Mungkin ini yang terbaik bagi ibu.” Aku bisa mendengar suara ayah bergetar, tapi Aku tidak melihat sedikit pun kesedihan di mukanya.

Setelah menyaksikan pemakaman ibu. Aku pulang dengan langkah berat. Saat sampai di rumah, Aku menuju ke kamarku. Disana Aku memandangi foto ibu dan diriku saat Aku masih bayi. Aku mulai membelai foto itu. Air mata menetes dari mataku. Aku teringat kenangan-kenangan yang telah Aku lalui bersama ibu. Saat Aku pertama kali belajar bersepeda, ibu selalu mendampingiku. Saat Aku pertama kali masuk sekolah, ibu selalu menungguku diluar kelas sampai Aku pulang. Saat Aku harus dirawat inap di rumah sakit karena typhus, ibu selalu menjagaku, memberi obat, menyuapi makan, dan merawatku sampai Aku keluar dari rumah sakit. Tapi sekarang, semua itu hanya bisa kukenang. Kemudian Aku merasa seseorang duduk disebelahku. Orang itu adalah ayahku. Beliau juga mengamati foto yang sedang Aku genggam. Kemudian ia berkata, “Kamu tahu apa kata-kata terakhir ibumu?” Aku hanya bisa menggelengkan kepala. “Ibumu berkata bahwa ia meminta maaf karena ia tidak dapat menunggumu. Ia juga meminta maaf atas kesalahanya selama ini kepadamu, anak semata wayangnya.” saat mendengar pernyataan ayah, tangisanku meledak. Aku memeluk ayah, Aku juga merasakan ayah memelukku juga sambil menangis. Baru kali ini Aku melihat ayah menangis sejak kematian ibu. Saat ini, Aku menyesal sekali karena tidak dapat melihat saat-saat terakhir ibu, dan karena tidak dapat meminta maaf kepada ibu. Sekarang Aku hanya bisa berdo’a agar ibu mendapatkan tempat di sisi Nya. Diakhir do’a Aku selalu membisikan, “Maafkan Aku, Ibu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar