Senin, 19 Oktober 2009

Bukan Sekolah Biasa by Herikia Angie

“ Berapa uang jajan kalian sehari ?” tanyaku sambil mengarahkan fokus handycameku ke anak itu.
“ Tergantung berapa dapetnya kak, kadang-kadang tiga ribu, atau paling gede lima ribu” jawab anak yang bernama Ari itu seadanya. Teman-teman di sampingnya mengangguk setuju.
Aku mengangguk kecil. “ Terus, orang tua kalian gimana…?” tanyaku agak hati-hati.
“ Bapak gak tau kemana, ema jadi tukang cuci” jawabnya Dedi enteng. Hebat banget anak –anak ini, usianya baru sekitar tujuh tahun. Tapi beban hidupnya sudah begitu berat. Dan mereka bisa menjalani kehidupan mereka itu dengan senyum.
Sejak aku mendapat tugas dari dosen untuk melakukan riset terhadap anak-anak jalanan itu. Aku jadi tau betul bagaimana kehidupan mereka sebenarnya. Tidak seperti yang di gambarkan di tv atau surat kabar, gak semua pengamen atau tukan minta-minta itu bekerja seperti itu karna males atau di suruh orang tua mereka.
Sebagian dari mereka bekerja seperti itu juga hanya untuk mendapat uang jajan atau hanya untuk sekedar makan. Memang ada yang jadi tukang minta-minta karna malas bekerja, tapi untuk anak-anak ini ? Mereka meminta-minta karna memang gak ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Kantor atau perusahaan mana yang mau menerima anak kecil? Orang dewasa yang lulusan S1 aja ada yang gak dapet kerja, apalagi anak-anak seperti mereka.
“ Kalo Ari, kerjanya jadi apa ?” tanyaku lagi.
“ Macem-macem kak, kadang jadi pengamen kadang kalo gitar lagi di pinjem, Ari jadi tukang minta-minta. Kalo pagi sih jadi penjual koran” jawabnya dengan tawa yang gak di buat-buat sedikit pun.
“ Pernah kena razia ?”
“ Sering banget !” tukas Ari yang di sertai anggukan anak-anak lain.
Aku jadi tertawa melihat ekspresi mereka.
“ Kakak denger, kalian sekolah di bawah kolong jembatan ya ?”
Mereka mengangguk bersamaan.
“ Bisa tunjukin di mana nggak ?”
Mereka mengangguk lalu menarikku ke suatu tempat. Di bawah kolong jembatan itu ada beberapa orang yang masih tidur, ada juga ibu-ibu yang menggendong anaknya.
Di pojok kolong jembatan itu ada bagian yang ditutupi terpal biru. “ Itu sekolah kita kak” kata Mia. Anak perempuan berusia enam tahun yang rambutnya terlihat agak acak-acakan.
“ Bu Selma, ada kak Rey nih ! Kakak yang Ari ceritain kemarin !” seorang wanita berjilbab yang seumuran denganku datang menghampiri kami.
Ia mengucapkan salam lalu menjabat tanganku. “ Selma”
“ Rey” balasku. Ia tersenyum hangat.
“ Anak-anak sudah banyak cerita tentang kamu. Katanya kamu anak kuliahan ya, kuliah di mana ?” tanyanya sopan. Logat Sundanya sangat kental.
“ Di UI. Kamu sendiri, kuliah ?” tanyaku.
Dia mengangguk. “Tapi sekarang lagi cuti, belum ada biaya”
Kami duduk di dekat salah satu pilar besar itu.
“ Kok mau ngajar di sini ?” tanyaku langsung.
Selma tertawa. “ Kamu tau, semua anak itu berhak mendapat pendidikan. Termasuk anak-anak seperti mereka” Selma menatap Ari dan kawan-kawannya yang lagi asyik bermain.
Aku mengangguk setuju. “ Anak-anak itu pinter ?”
Selma mengangguk. “ Pintar… dan kuat”
Aku mengerti maksudnya. “ Apa kamu pernah mendengar anak-anak itu mengeluh ?”
Sesuai dugaanku Selma menggeleng. “ Mereka sadar, banyak anak yang lebih beruntung dari mereka. Tapi mereka juga sadar, banyak anak yang lebih tidak beruntung dari mereka. Karna itu mereka masih bisa bersyukur”
“ Orang tua mereka gimana ?” tanyaku sambil meminta persetujuannya untuk menyalakan handycame. Bagaimana pun semua ini tetap saja tugas.
“ Kebanyakan sih gak peduli, tapi ada beberapa juga yang mendukung. Kayak bapaknya Ari, dia sangat senang Ari bisa sekolah walaupun hanya di tempat seperti ini. Ari pernah cerita, bapaknya sangat menyesal karena dulu tak bisa menyelesaikan sekolah karena kekurangan biaya. Makanya ia sangat mendukung Ari untuk sekolah”
“ Terus, selama ini buat beli kapur atau buku…,buku bekas itu dananya dari mana ?”
“ Kadang pake uang aku, kadang kita patungan buat belinya” Selma tersenyum tipis. “ Kalo gak cukup, kita belajar lisan aja”
Aku tersenyum kecil. “ Nama sekolah ini apaaan ?” tanyaku penasaran. Yah walaupun sekolahnya kayak gini, tapi pasti tetep ada namanya kan…
“ Mungkin, BSB” Selma tersenyum.
Aku menyerengit heran. “ Apaan tuh ?”
“ Bukan Sekolah Biasa”
Aku tertawa ngakak.

Di rumah…
“ Ma, minta uang jajan dong” rengek Mitha.
Mama terbelalak heran. “ Yang kemarin sudah habis ?” tanyanya.
“ Ya udahlah, dua puluh ribu mana cukup ?” Mitha mendengus kesal.
Aku menarik tangan Mitha.
“ Aduh…,kenapa sih kak ?” adik perempuanku itu merengek kesal.
Aku menyuruhnya duduk di sofa yang langsung menghadap ke tv. Dengan cepat aku memasang kabel-kabel dari handycame ku ke tv. “ Liat, perhatiin baik-baik…” aku menekan tombol play.
Kerja kerasku selama beberapa minggu ini tertera jelas di layar. Dari pertama kali aku mengenal Ari dan yang lainnya sampai aku yang sibuk menanyai kisah hidup mereka.
Mitha benar-benar tertegun. Dia gak menyangka masih ada anak-anak seperti itu. “ Dengerin kakak, kamu terlalu banyak bergaul dengan anak-anak kalangan atas. Sesekali kamu harus melihat ke bawah, anak-anak itu…”aku menunjuk ke layar. “ Anak-anak itu punya hak yang sama dengan kamu untuk mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak”
Mitha terdiam.
“ Mitha mau bantu kakak ?”
Mitha langsung mengangguk. Aku tersenyum.

“ Memang ini semua cuma sedikit, tapi kami semua tulus membantu kalian” ucapku pada bu Selma dan anak-anak itu.
Bu Selma tersenyum. “ Ini udah banyak banget buat kami. Anak-anak, bilang apa sama kakak-kakak itu ?”
“ Makasih kak…”ucap mereka serempak . Aku Mitha dan teman-temannya tersenyum kecil.
Waktu itu, aku meminta Mitha untuk mengumpulkan sumbangan di sekolahnya. Ia memperlihatkan rekamanku pada teman-temannya. Dan mereka semua setuju untuk membantu.
Kami bisa menyumbangkan alat tulis, buku-buku sampai baju-baju. Memang gak seberapa, tapi yang jelas semua ini pasti bisa membantu mereka.
“ Dan ada satu lagi, kami akan memberikan pasokan kapur untuk kalian tiap bulan”ucapku.
Mereka semua bertepuk tangan dengan senyum bahagia. Padahal bagi kami itu gak seberapa, tapi bagi mereka. Itu semua sangat berarti, bukan bantuannya, tapi perhatiannya. Di dalam risetku, aku menjelaskan betapa kecewanya aku dengan pemerintahan yang tidak memperhatikan hal-hal seperti ini. Padahal harusnya inilah yang harus dijadikan preoritas, dan untuk informasi nilai risetku kali ini benar-benar tinggi. Dosen pun memuju hasil kerjaku.
“ Jadi gimana ? Kamu mau terus ngajar di sini ?” tanyaku ke Selma.
Dia mengangguk yakin.
“ Kuliah kamu ?”
“ Aku masih ngumpulin uang. Tapi aku masih bisa kok kuliah sambil ngajar”
Dia hebat banget, mau ngajar tanpa di bayar. Tanpa ada penghargaan apapun.
“ Sebenernya alasan kamu ngajar di sini apaan sih ?” tanyaku penasaran.
“ Maksud aku tuh, aneh aja kamu mau ngajar di tempat kayak gini. Dan…,yah gak ada penghargaan apa-apa buat kamu. Kayaknya…,aneh aja..” aku menggaruk kepalaku. “ Apalagi tempatnya kurang nyaman banget…”
Selma tersenyum kecil. “ Karena ini, Bukan Sekolah Biasa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar