Rabu, 02 Februari 2011

Si Jalu by Bagus Insan Zarfani

”Hanya kau Jalu. Kau!” ujar Emaknya mantap.
”Kenapa mesti aku, Mak ?” tangkis Jalu. Suaranya serak ketika melanjutkan ucapannya. ”Bukankah aku masih kecil ? Kenapa bukan Emak sendiri?”
” Ya kau harus ke sana, ke rumah pakde Danu! Karena ibu harus menunggui ayahmu.
Ah, ke rumah pakde Danu? Jalu tidak pernah membayangkan pertemuannya dengan pakde Danu terjadi berulang kali.
Pertemuan itu selalu terasa sangat tidak sedap. Seperti pertemuan yang terdahulu. Pakde Danu tak pernah bersikap bersahabat. Ucapanya yang kasar amat memukul perasaannya. Uh!!
”Kau keponakan Pakdemu. Kepada perasaan Pakdemu pasti runtuh. Tapi kalau Emak kesana , belum tentu.”
”Maksud Emak, kalau Jalu yang kesana, Pakde Danu pasti memperhatikan permintaan kita? Memberinya?”
Emak menatap wajah Jalu. Lalu berpindah ke balai-balai. Di situ terbaring ayah Jalu. Jalu pun beranjak ke balai-balai. Di pandangnya wajah Emak. Di pandangnya pula wajah ayahnya. Di lekuk-lekuk wajah tua itu yang tampak hanya kepucatan. Di tubuhnya yang lunglai terbayang gambaran yang mengerikan. Kenapa ayahnya harus menderita sakit? Kenapa Tuhan tidak memindahkan sakit itu ke tubuh Pakde Danu misalnya. Ya, mengapa ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga mesti jatuh sakit? Seandainya ayahnya tidak jatuh sakit, ia tak perlu berulang kali menapakan kaki ke rumah Pakde Danu. Dan tentu ia tak perlu mananggung rasa malu yang berkepanjangan seperti hari-hari kemarin. Dan celakanya, hari ini justru Emaknya memerintah kesana lagi. Uh! Andai hari ini di suruh merumput untuk lembunya. Jalu pasti dengan senang hati mengerjakannya. Baginya itu lebuh menyenangkan daripada menemui Pakde Danu. Merumput dan pulangnya mandi-mandi di kali bersama teman-teman, uih...alangkah nikmatnya! Tapi hari itu, tidak terjadi untuk Jalu.
” Jalu,”sambung Emak lagi,” kita ini hidup melarat...” Jalu tidak menyahut. Ia menatap wajah ayahnya. Kerut-kerut ketuaannya tampak semakin jelas. Kepalanya terkulai lemah di balai-balai bambu yang reyot.
”Pakde Danu itu saudara tuaku. Jadi kalau kita minta pertolongannya, itu wajar. Lumrah. Biasa, Jalu!”!”
”Ya. Tetapi kita sudah terlalu sering, Mak. Bagaimana kalau kita terlalu banyak menggantungkan diri
Kepadanya? Bukankah kita sudah berumah sendiri?” jawab Jalu. ”Kau betul, Jalu. Tetapi bukankah sekarang ayahmu sedang sakit? Kita tidak akan minta bantuan dari Pakdemu untuk seterusnya. Nanti jika ayahmu sudah sembuh tentu kita tidak lagi minta-minta terus kepada Pakdemu. Semua pasti ada batas akhirnya, Jalu!”
”Batas akhir tidak minta-minta lagi, Mak?”
”Ya,” jawab Emak sambil mengangguk palan.
”Tapi kali ini masih kan?” sergah Jalu cepat.
”Terpaksa. Terpaksa, Le,”suara Emak menurun. Ada warna serak-serak di kerongkongannya. Sekilas terbesit warna merah di wajah Emak.
”Ya. Terpaksa. Terpaksa...Kapan tidak terpaksa lagi?”tanya Jalu mengulang-ulang seperti tertuju kepada dirinya sendiri. Ia melenguh. Seperti Lembu. Seperti melepasi sesak-sesak di dada. Jalu mendekati ayahnya. Ada keharuan yang tiba-tiba menyembul ketika keduanya saling memandang. Kedua mata itu begitu masuk ke dalam kelopak matanya yang cekung. Hari-hari yang dihabisinya di atsa balai-balai bambu itu telah membuatnya amat lemah. Jalu cepat-cepat membuang pandang. Ia tak ingin terlalu dalam terbanting dalam kedukaan yang menyendal-nyendal.
“ Jalu, bersabarlah. Keadaan tidak selamanya begini. Suatu saat kita tak lagi bergantung kepada belas kasihan Pakdemu,” tutur Emak sambil menahan perasaan yang mengiris.
“Tapi, setidaknya, sampai sekarang kita masih belum mampu melepaskan diri dari ketergantungan kepada belas kasihan Pakde, bukan?”
Emak diam. Mangangguk pelan. Pelupuk matanya berkedip-kedip. Ia menyambung lagi tanpa melihat ke arah Ayah dan Jalu yang sedang tercenung disisi balai-balai.
“Benar Jalu, tapi ketergantungan itu tak lama. Emak yakin jika nanti ayahmu sudah sembuh tentu sanggup bekerja seperti semula.”
Jalu menunduk. Pelan saja ia menimpali.
“Ya. Karenanya Jalu mesti ke rumah Pakde Danu. Apa pun yang akan terjadi, ini adalah upaya demi kesembuhan ayah.”
Emak menepuk-nepuk pundak Jalu. ”Benar. Benar Jalu. Datanglah ke rumah Pakdemu. Katakanlah bahwa beras habis, dan kita sudah tak punya uang untuk beli obat.
Ke sanalah sekarang. Katakan semua kebutuhan itu. Kau tidak boleh gagal, Jalu! Pinjam beras dan uang. Ini semua demi ayahmu!”
Jalu gugup menerima tugas yang dipikulnya. Tidak boleh gagal? Ah, kenapa mesti begini? Ah, kenapa mesti begitu? Pakde Danu, yang telah amat dikenalnya, bukanlah manusia biasa. Hatinya keras bak batu. Mampukah Jalu meluluhkan hati yang sekeras batu itu? Jalu sudah sering menemui Pakde Danu, bahkan dengan rintihan memelas dan cucuran air mata sekalipun. Bah!
”Yang saya minta itu beras atu uang, Mak?”
”Ya dua-duanya. Semua penting. Semuanya demi kesembuhan ayahmu. Pakdemu tahu bahwa ayahmu masih sakit. Jadi wajar sekali kalau saat ini minta bantuan saudara tuanya bukan? Nanti kalau ayahmu sudah sembuh kita semua akan bekerja keras untuk mengangsur semua utang kita. Kesembuhan ayahmu adalah harta yang paling mulia. Dan itu harus kita upayakan sekarang. Apa pun yang terjadi! Sekarang, berangkatlah!”
Jalu menunduk, napasnya terengah-engah, bagai ada sesuatu yang mengejar-ngejarnya. Memang benar. Kekhawatiranlah yang memburunya. Ujung jari kakinya menggores-gores tanah lantai rumah. Matanya ingin melihat wajah ayahnya yang tergolek di balai-balai reyot di depannya. Tetapi ia tak berani melakukannya. Kekhawatirannya yang menggejolak membuatnya bagai diburu oleh bayang-bayang memburam. Jalu tak ingin bayang-bayang dalam pikirannya itu menjadi kenyataan. Ia tak ingin kematian itu begitu cepat hadir merenggut ayahnya. Ia harus berusaha mati-matian untuk mengupayakan kesembuhan ayahnya. Ia membayangkan bakal pertemuannya dengan Pakdenya. Wuih, ngeri juga! Berat kedua kakinya dibawa melangkah. Tapi tak ayal berangkat juga.
Ia menapak di jalan menanjak yang berbatu-batu. Di sore seperti itu tak ada teman yang dijumpainya. Semua pasti masih ada di padang gembalaan. Sebagian lagi tentu tengah membantu orang tua memetik jagung, atau sedang menyiangi rumput di tegal.
Panen padi di dusun kecil di lerang pegunungan kapur itu hanya sekali dalam setahun. Yang dapat ditanam sesudah itu hanyalah palawija, seperti kacang panjang, jagung, ubi jalar, dan sejenisnya. Sawah di dusun itu adalah sawah tadah hujan. Di musim kemarau keadaanya lebih merana. Sumber air dari pucuk gunung, tak cukup untuk mengairi sawah-sawah di bawahnya. Orang-orang dusun itu kemudian menanam padi dan palawija berselang seling di sawah. Irigasi di daerah pegunungan tertentu tidak semudah pengaturannya apabila dibandingkan dengan di daerah dataran rendah. Kemiringan lahan pesawahan yang tajam membuat air dari atas seakan ditumpahkan begitu saja. Langsung habis.
Lewat ladang jagung di kanan kiri jalan sempit berbatu-batu itulah Jalu menuju ke rumah Pakde Danu. Ia tidak melewati padang gembalaan. Jalu mengambil jalan pintas di tepi kawasan padang menyebrangi kali kecil. Dari kejauhan Jalu dapat melihat teman-temannya sedang bermain-main. Ia merasakan gejolak pikiran yang tak menentu. Kadang timbul niatnya untuk berbaur dengan sahabat-sahabatnya itu. Kiranya tiada yang melebihi kebahagiaan anak sepantar dirinya selain bermain di tengah padang gembalaan. Kehendak itu terpaksa dikekangnya. Ia harus berkorban demi ayah. Dari kejauhan ia hanya menonton mereka.
Jalu meninggalkan daerah padang gembalaan bekas sawah yang telah usai dipanen itu. Bergegas menuju rumah Pakde Danu. Ia ingin cepat-cepat sampai tujuan walau semakin dekat pikirannya semakin bergetar dipenuhi berbagai perasaan ketidakpastian. Berhasilkah? Atau gagal seratus persen? Duh Gusti. Akan tetapi Jalu tetap melangkah menuju rumah Pakde Danu. Berhasil atau tidak ia meluluhkan hati Pakdenya, nyawa ayah adalah segala-galanya. Ia tak ingin ayahnya meninggal hanya karena Pakde Danu menolak meminjami beras dan uang.
Pake Danu sedang menerima tamu ketika Jalu memasuki pekarangannya. Hatinya berdebar keras. Ia ingin balik haluan. Tapi, oh, tidak! Tidak! Pakde Danu telah melihat kedatangannya. Dan lagi pula, misi itu harus berhasil. Demi ayahnya. Jalu tentu tak ingin ayahnya semakin parah lagi. Jalu harus tidak gagal. Berasnya atau uangnya. Syukur-syukur dua-duanya.
” Kau Jalu. Ada apa lagi? Disuruh emakmu, ha?” Belum lagi masuk rumah Pakde Danu sudah memberondong Jalu dengan ucapannya yang tidak bersahabat. Kaku.
” Eh, anu ... ya Pakde,” Jalu tercekat ingin menangis. Apa yang dibayangkannya ternyata meleset. Pakde Danu tak hiraukan kedatangannya. Namun kali ini Jalu sudah bersiap diri, tetap tabah, dengan perasaan hancur lebur menahan rasa malu yang berkepanjangan. Uh!
Tatapan mata Pakde Danu yang tajam menusuk ke dada Jalu. Menembus sampai ke punggung. Jalu ingin lari, tapi kedua kakinya terasa berat. Sangat berat. Bahkan terasa kesemutan. Mulutnya menganga. Ia ingin menjerit sekeras-kerasnya. Tetapi, tak sebentuk angin pun keluar, apalagi sepotaong suara. Duh Gusti.
” Anu-anu Pakde ... saya disuruh emak,” ujarnya tergagap. Matanya menatap ke arah Pakdenya. Sesaat saja. Lalu membuang pandang ke sisi. Ketika Pakde Danu memandangnya, Jalu bak diterkam harimau. Wuih ! Sorot mata itu begitu tajam. Seakan menyobek tubuhnya, melumat habis tulang belulangnya. Ih, ngeri!
” Disuruh emakmu? Pakde tahu itu, Jalu. Dan kau kemari mau minjam apa lagi?”
” Ayah masih sakit, Pakde.”
” Ya. Pakde tahu. Ayahmu memang sakit-sakitan. Ayahmu memang oramng malas, Jalu,” ujar Pakde Danu
” Tapi ayah masih sakit, Pakde!” ucap Jalu membela. Hatinya bergolak kala mendengar nama ayahnya diremehkan. Apalagi di rumah Pakde Danu ada tamu. Tak banyak yang dapat diperbuatnya untuk mengimbangi perlakuan tak mengenakkan itu. Ia takut kalau upayanya mencari pinjaman menjadi gagal.
” Kalau ayah sudah sembuh, kami akan mengangsur utang-utang kami semua, Pakde,”kilah Jalu menghiba.
” Kalau ayahmu sudah sembuh? Apa kerjanya? Ayahmu orangnya lemah. Sakit-sakitan pula. Sekarang cari kerjaan sulit. Tapi ... baiklah. Apa perintah emakmu kemari? Beras lagi? Atau uang?” Muka Jalu merah padam oleh ucapan yang sangat menyengat itu. Namun Jalu diam. Ia mengerling ke arah tamu itu. Tubuhnya menggetar menahan diri dari amukan perasaan yang mengguncang. Sementara itu orang-orang yang sedang berbelanja di warung Pakde Danu, di beranda itu, terdiam karenanya. Mereka mendengar suara Pakde Danu begitu jelas. Mereka takut mendengar suara Pakde Danu yang setengah membentak. Tapi ingin mengerti apa yang membuat Pakde Danu membentak-bentak sekeras dan sekasar itu.
” Pakde, ayah sakit!” ujar Jalu gemetar.
” Pakde tahu, Jalu. Tapi apa keperluanmu kemari Pakde sudah maklum. Disuruh Emakmu ’kan? Mau pinjam apa lagi? Pinjaman yang dulu pun belum dikembalikan. Sekarang mau tambah lagi?”
Demi mempertahankan kepentingan ayahnya, Jalu berani menyerang ucapan Pakdenya. ” Tapi utang itu kan bisa diperhitungkan nanti, Pakde?”
” Nanti? Nanti kapan lagi? Utang emakmu banyak. Sudah numpuk. Belum diangsur. Dari mana Emakmu mendapat uang melunasinya? Semakin menumpuk, Jalu!”
Lagi-lagi wajah Jalu menjadi merah padam. Namun sambungnya lagi membela diri. ” Tapi, Pakde, ayah masih punya rumah dan pekarangan. Itu bisa diperhitungkan nanti sebagai ... ” tutur Jalu terbata-bata.
”Sebagai pelunasan utang-utang ayahmu!”
Jalu menunduk. Kepalanya langsung terasa pusing. Pandangannya nanar. Tetapi Jalu pantang menyerah. Terbayang wajah ayahnya jika Pakdenya menolak upayanya mencari pinjaman itu. Ayahnya pasti semakin lemah dan terus semakin parah keadaannya, dan ... barangkali tak tertolong lagi. Uh! Ngeri!
”Jadi,” sambung Pakde Danu, ”kau disuruh Emakmu apa? Beras atau uang?”
”Dua-duanya Pakde!” jawab Jalu tegas. Ia memberanikan diri memandang Pakde. Di luar dugaan Jalu, Pakde Danu justru tertawa lepas. Jalu lega. Tapi ia tak habis mengerti, mengapa Pakde Danu tertawa begitu bening. Begitu kuat ia tertawa sehingga kedua kelopak matanya seakan tertutup oleh pipinya yang tambun.
”Pakde menghargai kau Jalu. Kau anak baik. Kau berani memperjuamgkan kepentingan ayahmu. Bagus. Bagus Jalu!” Jalu diam saja. Ia menanti kelanjutan ucapan Pakde Danu. Lalu sambungnya lagi, ”Tapi justru ayahmulah yang kurang kusenangi, Jalu.”
”Kenapa Pakde? Bukankah ayahku adik kandung Mbokde?” jawab Jalu membela. Dalam hati ia tak rela ayahnya dicaci-maki Pakdenya.
”Ayahmu sering sakit. Itu memberatkan keluarga bukan? Seperti kamu, sekecil kamu harus mencarikan kepentingan ayahmu. Apa itu pantas? Kasihan kamu, Jalu. Seusia kamu sepantasnya bermain di sungai bersama teman-teman sepengembalaan. Bukan cari pinjaman beras”.
Walu dalam hati Jalu membenarkan ucapan Pekde Danu, tapi ia masih tetap membela ayahnya.
”Terpaksa, Pakde! Karena ayah sakit. Dan Emak menunggu ayah. Jadi, sayalah yang harus kemari,” ujarnya alon tapi mantap.
Pakde Danu meninggalkan Jalu di ruang tamu. Ia ke warung, yang terletak di beranda rumah, menemui Mbokde Danu. Orangnya gemuk. Berkulit gelap. Pendiam.
”Jalu, kau membawa kantong?” tanya Pakde Danu dari warung. Jalu berlari mendekat dan menjawab, ”Tidak. Pinjami dari sini sekalian, Pakde.”
Jalu cepat belalu dari rumah itu ketika ditangannya telah terbawa kantong berisi beras. Juga uang lima puluh ribu rupiah. Kedua kakinya begitu ringan meninggalkan tempat itu untuk secepatnya sampai ke rumah. Di sana masih ada tugas yang lebih berat lagi. Membebaskan ayah dari kemungkinan yang paling buruk, kematian! Ia bergegas pulang melewati jalan berbatu. Di benaknya terbayang wajah ayahnya di balai-balai reyot ditunggui emaknya, sedang menyeringai menahan rasa sakit. Ah, wajah yang semakin menua itu seperti memanggil-manggilnya. Lalu melintas juga bayang-bayang wajah Pakde Danu yang mencibir tanpa belas kasihan. Dalam keserderhanaan cara berpikirnya, Jalu mulai dapat melihat adanya perbedaan sikap di antara dua bersaudara. Pakde Danu yang berhati batu dan ayahnya yang terpaksa minta pinjaman uang dan beras, karena ketidak berdayaan yang menghimpit relung-relung kehidupannya. Diam-diam Jalu tak kuasa menahan diri dan perasaannya untuk tidak membenci Pakde Danu. Walau hanya dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar