Senin, 08 November 2010

Akibat Burger by Adam Prasetiantara

“Nah, Adam. Sekarang kita sudah sampai. Jangan lupa untuk memasukkan uang yang lima ribu ke kotak infak nanti.”
“Iya, Ma.” Adam pun turun dari sepeda motor dan mencium tangan mamanya. Tak lupa Adam mengucapkan salam dan melambaikan tangannya sebelum memasuki gerbang sekolah.
“Doakan aku menang ya, Ma!”
Di halaman, dua sahabat Adam telah menunggu. Mereka adalah Ken dan Ninda. Tangan mereka segera melambai saat Adam masuk ke halaman sekolah.
“Adam! Ke sini!” Teriak Ken tidak sabar. Adam pun berlari menuju bangku taman tempat kedua sahabatnya duduk.
“Kamu sudah siap untuk lomba nanti siang?” Tanya Ninda pada Adam.
“Insya Allah sudah. Semua perlengkapan menggambar telah kubawa. Aku juga sudah punya rencana tentang gambar yang akan kubuat. Sebuah air terjun yang jernih, dengan bau yang besar-besar. Di dekat air terjun itu ada sebuah gubuk kecil yang halamnnya banyak ditumbuhi bunga-bunga.” Jawab Adam sambil duduk menjajari mereka. Adam memang terpilih untuk mengikuti lomba.

* * *

“Wah, sepertinya akan menjadi gambar yang bagus. Semoga menang, ya.” Sambung Ken dengan mata berbinar.
“Eh, Ken. Lihat itu. Pak Burger datang lagi.” Ninda menunjuk seorang lelaki yang menghentikan gerobak di depan gerbang sekolah. Di dalam gerobak yang terbuat dari kaca, tampak tumpukan burger yang lezat. Di kaca tertempel harga burger Rp. 5.500 berwarna kuning.
“Iya, dia datang lagi.” Balas Ken. Adam yang selama ini belum pernah melihat Pak Burger jadi tertarik.
“Emang kalian pernah beli?”
“Iya. Dua hari yang lalu. Rasanya enak banget.”
“Isinya apa?”
“Ada daging ayam, sosis, selada,dan saus. Ehm…mm pokoknya lezat.” Ninda berkata sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.
“Kelihatannya enak.” Gumam Adam.
“Kamu pengen beli? Beli sekarang saja. Pak Burger nggak datang setiap hari lo.”
“Iya. Mumpung kita belum masuk kelas. Bisa-bisa Pak Burgernya pergi.”
“Ken, aku pengen ke kamar mandi. Anterin ya?” Ninda memegangi perutnya sambil meringis memandang Ken.
“Ayo. Eh, Adam kita ke kamar mandi dulu , ya.” Adam pun mengangguk.
Benar saja. Tak lama setelah kedua temannya pergi, Pak burger tampak menggeser gerobaknya. Adam pun bingung. Dia ingin sekali merasakan Burger itu. Tapi di tasnya hanya ada uang delapan ribu perak. Tiga ribu untuk jajan dan lima ribu untuk dimasukkan kotak infak yang biasa keliling tiap jum’at pagi sebelum pelajaran dimulai.
Adam berpikir sejenak. Seulas seyum pun segera menghias wajahnya.
“Aha…! Bukankah aku selalu dapat uang saku setiap hari? Kalau uang infak kupakai beli burger dua ribu lima ratus, minggu depan aku akan dapat menggantinya dengan uang sakuku.” Adam pun segera berlari menuju gerbang sekolah.
“Pak Burger! Belii…!” Teriakan Adam membuat Pak Burger menghentikan gerobaknya.
“Beli berapa, dik?” Tanya Pak Burger sambil membuka kotak kacanya.
“Satu aja, Pak.” Adam menyerahkan satu lembar lima ribu dan seribuan kepada Pak Burger. Kemudian Pak Burger memberinya sekeping uang logam senilai limaratus rupiah.
“Benar-benar burger yang enak.” Adam memakan burgernya dengan nikmat. Menggigitnya pelan, mengunyah dengan lembut dan menelannya. Tepat saat memasukkan potongan burger terakhirnya, bel tanda masuk berbunyi. Adam segera bergegas menuju kelasnya sambil membersihkan sisa burger yang menempel di sudut mulutnya.
* * *
Tee…et! Tee…et! Tee…et!
Waktunya istirahat. Itu artinya Adam harus menyiapkan alat menggambarnya untuk mengikuti lomba menggambar. Namun Adam tidak melakukan apap-apa. Ia hanya menunduk lesu.
“Adam. Kamu kan harus segera menuju lapangan sekolah. Semua peserta lomba menggambar sedang bersiap-siap menuju ke sana. Nanti kamu terlambat.” Ken menghampiri bangku Adam yang terletak dua bangku di belakangnya.
Adam mendongak sambil meringis.Wajahnya tampak pucat.
“Kamu kenapa?” Tanya Ken cemas.
“Perutku sakit sekali. Kepalaku juga pusing.” Adam kembali meletakkan kepalanya ke meja.
“Ninda, sebaiknya kamu menemui Bu Tini dan bilang kalau Adam sakit. Biar aku menemani Adam di sini.”
Ninda pun bergegas pergi. Tak lama kemudian, Ninda sudah kembali bersama Bu Tini.
“Kenapa Adam?”
“Perut saya sakit, Bu. Kepala saya pusing.”
“Tadi Adam makan apa?” Tanya Bu Tini.
Adam diam sejenak. Ia teringat burger lezat yang dimakannya sebelum masuk kelas. Adam pun sadar bahwa ia merasakan sakit perut dan pusing tak lama setelah makan burger.
“Makan burger, Bu.”
“Kalau begitu Adam ke ruang UKS dulu ya. Sebentar lagi mamamu akan menjemput. Tadi Ibu sudah menelpon mamamu.” Saran Bu Tini dengan lembut.
“Tapi saya harus ke lapangan untuk mengikuti lomba, Bu.”
“Saat ini kamu harus istirahat. Kalau memaksa ikut, kamu akan tambah sakit. Jadi sekarang kita ke UKS saja sambil menunggu mamamu datang.”
Adam tak bisa beruat apa-apa. Dengan lemas, ia mengikuti langkah Bu Tini menuju ruang UKS. Adam benar-benar menyesal telah membeli burger dengan uang yang seharusnya untuk infak.
Gara-gara burger itu, Adam tidak dapat mengikuti lomba menggambar. Perutnya jadi sakit dan kepalanya pusing. Adam hanya bisa menangis menyesali apa yang telah dia lakukan.

* * *

“Nah itu, mamamu sudah datang.” Kata Bu Tini sambil menunjuk seorang wanita yangs edang berjalan ke arah mereka.
“Mama..!” teriak Adam sambil berjalan sedikit cepat.
“Kenapa, Adam?”
“Ma, maafkan Adam ya, Ma. ..…” Sarah memeluk mamanya erat sambil menunduk.
“Adam kenapa? Adam kan nggak salah apa-apa.” Tanya mama bingung.
“Adam salah, Ma. Adam nggak menuruti pesan Mama. Tadi Adam hanya memasukkan uang dua ribu lima ratus ke kotak infak. Yang dua ribu lima ratus Adam belikan burger. Akhirnya Adam sakit perut dan pusing. Adam juga nggak bisa ikut lomba menggambar. Adam menyesal.”
Tangan Mama memeluk Adam dengan erat. Kemudian Adam diajak duduk di bangku.
“Kalau Adam sakit setelah makan burger itu, tandanya Allah masih sayang sama Adam.”
“Mana mungkin Allah masih sayang sama Adam? Bukankah Adam tidak patuh pada Mama?” Tanya Adam tak mengerti.
“Karena Allah tidak ingin Adam mengulangi perbuatan itu, makanya Allah memberi rasa sakit pada Adam. Kalau Adam tidak sakit, pasti Adam ingin mengulangi lagi perbuatan tadi. Allah ingin Adam menjadi anak yang baik.”
“Apa Allah mau memaafkan Adam, Ma?”
“Tentu saja. Asalkan Adam benar-benar menyesal dan tidak mengulangi perbuatan itu.Dan jangan lupa untuk meminata maaf pada Allah. Sekarang ayo kita pulang.”
Adam menurut. Ia tak peduli lagi dengan teman-temannya yang sedang mengikuti lomba menggambar. Hari ini Adam telah mendapatkan pelajaran berharga. Adam bertekad dalam hati untuk tidak jajan dengan uang infak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar