Senin, 07 Februari 2011

Bagaimanapun juga

Manusia tak masuk akal, tidak logis dan egois.

Bagaimanapun juga cintailah mereka.



Bila Anda berbuat baik, orang menuduh Anda mempunyai maksud yang tersembunyi yang egois.

Bagaimanapun juga berbuat baiklah.



Bila Anda berhasil, Anda akan mendapatkan teman-teman yang palsu dan musuh-musuh yang sejati.

Bagaimanapun juga raihlah keberhasilan.



Kejujuran dan keterusterangan membuat Anda rentan.

Bagaimanapun juga jujurlah dan terus teranglah.



Kebaikan yang Anda lakukan hari ini besok akan dilupakan.

Bagaimanapun juga berbuat baiklah



Orang-orang terkemuka yang mempunyai gagasan-gagasan paling hebat dapat ditembak oleh orang-orang kerdil berpikiran picik.

Bagaimanapun juga pikirkanlah yang hebat.



Orang bermurah hati pada orang yang tertindas, tapi hanya mengikuti penindas.

Bagaimanapun juga berjuanglah untuk orang-orang tertindas.



Apa yang Anda bangun dalam bertahun-tahun munkin dapat hancur dalam semalam saja.

Bagaimanapun juga membangunlah.



dikutip dari majalah Reader Digest, Desember 1982

Rabu, 02 Februari 2011

Si Jalu by Bagus Insan Zarfani

”Hanya kau Jalu. Kau!” ujar Emaknya mantap.
”Kenapa mesti aku, Mak ?” tangkis Jalu. Suaranya serak ketika melanjutkan ucapannya. ”Bukankah aku masih kecil ? Kenapa bukan Emak sendiri?”
” Ya kau harus ke sana, ke rumah pakde Danu! Karena ibu harus menunggui ayahmu.
Ah, ke rumah pakde Danu? Jalu tidak pernah membayangkan pertemuannya dengan pakde Danu terjadi berulang kali.
Pertemuan itu selalu terasa sangat tidak sedap. Seperti pertemuan yang terdahulu. Pakde Danu tak pernah bersikap bersahabat. Ucapanya yang kasar amat memukul perasaannya. Uh!!
”Kau keponakan Pakdemu. Kepada perasaan Pakdemu pasti runtuh. Tapi kalau Emak kesana , belum tentu.”
”Maksud Emak, kalau Jalu yang kesana, Pakde Danu pasti memperhatikan permintaan kita? Memberinya?”
Emak menatap wajah Jalu. Lalu berpindah ke balai-balai. Di situ terbaring ayah Jalu. Jalu pun beranjak ke balai-balai. Di pandangnya wajah Emak. Di pandangnya pula wajah ayahnya. Di lekuk-lekuk wajah tua itu yang tampak hanya kepucatan. Di tubuhnya yang lunglai terbayang gambaran yang mengerikan. Kenapa ayahnya harus menderita sakit? Kenapa Tuhan tidak memindahkan sakit itu ke tubuh Pakde Danu misalnya. Ya, mengapa ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga mesti jatuh sakit? Seandainya ayahnya tidak jatuh sakit, ia tak perlu berulang kali menapakan kaki ke rumah Pakde Danu. Dan tentu ia tak perlu mananggung rasa malu yang berkepanjangan seperti hari-hari kemarin. Dan celakanya, hari ini justru Emaknya memerintah kesana lagi. Uh! Andai hari ini di suruh merumput untuk lembunya. Jalu pasti dengan senang hati mengerjakannya. Baginya itu lebuh menyenangkan daripada menemui Pakde Danu. Merumput dan pulangnya mandi-mandi di kali bersama teman-teman, uih...alangkah nikmatnya! Tapi hari itu, tidak terjadi untuk Jalu.
” Jalu,”sambung Emak lagi,” kita ini hidup melarat...” Jalu tidak menyahut. Ia menatap wajah ayahnya. Kerut-kerut ketuaannya tampak semakin jelas. Kepalanya terkulai lemah di balai-balai bambu yang reyot.
”Pakde Danu itu saudara tuaku. Jadi kalau kita minta pertolongannya, itu wajar. Lumrah. Biasa, Jalu!”!”
”Ya. Tetapi kita sudah terlalu sering, Mak. Bagaimana kalau kita terlalu banyak menggantungkan diri
Kepadanya? Bukankah kita sudah berumah sendiri?” jawab Jalu. ”Kau betul, Jalu. Tetapi bukankah sekarang ayahmu sedang sakit? Kita tidak akan minta bantuan dari Pakdemu untuk seterusnya. Nanti jika ayahmu sudah sembuh tentu kita tidak lagi minta-minta terus kepada Pakdemu. Semua pasti ada batas akhirnya, Jalu!”
”Batas akhir tidak minta-minta lagi, Mak?”
”Ya,” jawab Emak sambil mengangguk palan.
”Tapi kali ini masih kan?” sergah Jalu cepat.
”Terpaksa. Terpaksa, Le,”suara Emak menurun. Ada warna serak-serak di kerongkongannya. Sekilas terbesit warna merah di wajah Emak.
”Ya. Terpaksa. Terpaksa...Kapan tidak terpaksa lagi?”tanya Jalu mengulang-ulang seperti tertuju kepada dirinya sendiri. Ia melenguh. Seperti Lembu. Seperti melepasi sesak-sesak di dada. Jalu mendekati ayahnya. Ada keharuan yang tiba-tiba menyembul ketika keduanya saling memandang. Kedua mata itu begitu masuk ke dalam kelopak matanya yang cekung. Hari-hari yang dihabisinya di atsa balai-balai bambu itu telah membuatnya amat lemah. Jalu cepat-cepat membuang pandang. Ia tak ingin terlalu dalam terbanting dalam kedukaan yang menyendal-nyendal.
“ Jalu, bersabarlah. Keadaan tidak selamanya begini. Suatu saat kita tak lagi bergantung kepada belas kasihan Pakdemu,” tutur Emak sambil menahan perasaan yang mengiris.
“Tapi, setidaknya, sampai sekarang kita masih belum mampu melepaskan diri dari ketergantungan kepada belas kasihan Pakde, bukan?”
Emak diam. Mangangguk pelan. Pelupuk matanya berkedip-kedip. Ia menyambung lagi tanpa melihat ke arah Ayah dan Jalu yang sedang tercenung disisi balai-balai.
“Benar Jalu, tapi ketergantungan itu tak lama. Emak yakin jika nanti ayahmu sudah sembuh tentu sanggup bekerja seperti semula.”
Jalu menunduk. Pelan saja ia menimpali.
“Ya. Karenanya Jalu mesti ke rumah Pakde Danu. Apa pun yang akan terjadi, ini adalah upaya demi kesembuhan ayah.”
Emak menepuk-nepuk pundak Jalu. ”Benar. Benar Jalu. Datanglah ke rumah Pakdemu. Katakanlah bahwa beras habis, dan kita sudah tak punya uang untuk beli obat.
Ke sanalah sekarang. Katakan semua kebutuhan itu. Kau tidak boleh gagal, Jalu! Pinjam beras dan uang. Ini semua demi ayahmu!”
Jalu gugup menerima tugas yang dipikulnya. Tidak boleh gagal? Ah, kenapa mesti begini? Ah, kenapa mesti begitu? Pakde Danu, yang telah amat dikenalnya, bukanlah manusia biasa. Hatinya keras bak batu. Mampukah Jalu meluluhkan hati yang sekeras batu itu? Jalu sudah sering menemui Pakde Danu, bahkan dengan rintihan memelas dan cucuran air mata sekalipun. Bah!
”Yang saya minta itu beras atu uang, Mak?”
”Ya dua-duanya. Semua penting. Semuanya demi kesembuhan ayahmu. Pakdemu tahu bahwa ayahmu masih sakit. Jadi wajar sekali kalau saat ini minta bantuan saudara tuanya bukan? Nanti kalau ayahmu sudah sembuh kita semua akan bekerja keras untuk mengangsur semua utang kita. Kesembuhan ayahmu adalah harta yang paling mulia. Dan itu harus kita upayakan sekarang. Apa pun yang terjadi! Sekarang, berangkatlah!”
Jalu menunduk, napasnya terengah-engah, bagai ada sesuatu yang mengejar-ngejarnya. Memang benar. Kekhawatiranlah yang memburunya. Ujung jari kakinya menggores-gores tanah lantai rumah. Matanya ingin melihat wajah ayahnya yang tergolek di balai-balai reyot di depannya. Tetapi ia tak berani melakukannya. Kekhawatirannya yang menggejolak membuatnya bagai diburu oleh bayang-bayang memburam. Jalu tak ingin bayang-bayang dalam pikirannya itu menjadi kenyataan. Ia tak ingin kematian itu begitu cepat hadir merenggut ayahnya. Ia harus berusaha mati-matian untuk mengupayakan kesembuhan ayahnya. Ia membayangkan bakal pertemuannya dengan Pakdenya. Wuih, ngeri juga! Berat kedua kakinya dibawa melangkah. Tapi tak ayal berangkat juga.
Ia menapak di jalan menanjak yang berbatu-batu. Di sore seperti itu tak ada teman yang dijumpainya. Semua pasti masih ada di padang gembalaan. Sebagian lagi tentu tengah membantu orang tua memetik jagung, atau sedang menyiangi rumput di tegal.
Panen padi di dusun kecil di lerang pegunungan kapur itu hanya sekali dalam setahun. Yang dapat ditanam sesudah itu hanyalah palawija, seperti kacang panjang, jagung, ubi jalar, dan sejenisnya. Sawah di dusun itu adalah sawah tadah hujan. Di musim kemarau keadaanya lebih merana. Sumber air dari pucuk gunung, tak cukup untuk mengairi sawah-sawah di bawahnya. Orang-orang dusun itu kemudian menanam padi dan palawija berselang seling di sawah. Irigasi di daerah pegunungan tertentu tidak semudah pengaturannya apabila dibandingkan dengan di daerah dataran rendah. Kemiringan lahan pesawahan yang tajam membuat air dari atas seakan ditumpahkan begitu saja. Langsung habis.
Lewat ladang jagung di kanan kiri jalan sempit berbatu-batu itulah Jalu menuju ke rumah Pakde Danu. Ia tidak melewati padang gembalaan. Jalu mengambil jalan pintas di tepi kawasan padang menyebrangi kali kecil. Dari kejauhan Jalu dapat melihat teman-temannya sedang bermain-main. Ia merasakan gejolak pikiran yang tak menentu. Kadang timbul niatnya untuk berbaur dengan sahabat-sahabatnya itu. Kiranya tiada yang melebihi kebahagiaan anak sepantar dirinya selain bermain di tengah padang gembalaan. Kehendak itu terpaksa dikekangnya. Ia harus berkorban demi ayah. Dari kejauhan ia hanya menonton mereka.
Jalu meninggalkan daerah padang gembalaan bekas sawah yang telah usai dipanen itu. Bergegas menuju rumah Pakde Danu. Ia ingin cepat-cepat sampai tujuan walau semakin dekat pikirannya semakin bergetar dipenuhi berbagai perasaan ketidakpastian. Berhasilkah? Atau gagal seratus persen? Duh Gusti. Akan tetapi Jalu tetap melangkah menuju rumah Pakde Danu. Berhasil atau tidak ia meluluhkan hati Pakdenya, nyawa ayah adalah segala-galanya. Ia tak ingin ayahnya meninggal hanya karena Pakde Danu menolak meminjami beras dan uang.
Pake Danu sedang menerima tamu ketika Jalu memasuki pekarangannya. Hatinya berdebar keras. Ia ingin balik haluan. Tapi, oh, tidak! Tidak! Pakde Danu telah melihat kedatangannya. Dan lagi pula, misi itu harus berhasil. Demi ayahnya. Jalu tentu tak ingin ayahnya semakin parah lagi. Jalu harus tidak gagal. Berasnya atau uangnya. Syukur-syukur dua-duanya.
” Kau Jalu. Ada apa lagi? Disuruh emakmu, ha?” Belum lagi masuk rumah Pakde Danu sudah memberondong Jalu dengan ucapannya yang tidak bersahabat. Kaku.
” Eh, anu ... ya Pakde,” Jalu tercekat ingin menangis. Apa yang dibayangkannya ternyata meleset. Pakde Danu tak hiraukan kedatangannya. Namun kali ini Jalu sudah bersiap diri, tetap tabah, dengan perasaan hancur lebur menahan rasa malu yang berkepanjangan. Uh!
Tatapan mata Pakde Danu yang tajam menusuk ke dada Jalu. Menembus sampai ke punggung. Jalu ingin lari, tapi kedua kakinya terasa berat. Sangat berat. Bahkan terasa kesemutan. Mulutnya menganga. Ia ingin menjerit sekeras-kerasnya. Tetapi, tak sebentuk angin pun keluar, apalagi sepotaong suara. Duh Gusti.
” Anu-anu Pakde ... saya disuruh emak,” ujarnya tergagap. Matanya menatap ke arah Pakdenya. Sesaat saja. Lalu membuang pandang ke sisi. Ketika Pakde Danu memandangnya, Jalu bak diterkam harimau. Wuih ! Sorot mata itu begitu tajam. Seakan menyobek tubuhnya, melumat habis tulang belulangnya. Ih, ngeri!
” Disuruh emakmu? Pakde tahu itu, Jalu. Dan kau kemari mau minjam apa lagi?”
” Ayah masih sakit, Pakde.”
” Ya. Pakde tahu. Ayahmu memang sakit-sakitan. Ayahmu memang oramng malas, Jalu,” ujar Pakde Danu
” Tapi ayah masih sakit, Pakde!” ucap Jalu membela. Hatinya bergolak kala mendengar nama ayahnya diremehkan. Apalagi di rumah Pakde Danu ada tamu. Tak banyak yang dapat diperbuatnya untuk mengimbangi perlakuan tak mengenakkan itu. Ia takut kalau upayanya mencari pinjaman menjadi gagal.
” Kalau ayah sudah sembuh, kami akan mengangsur utang-utang kami semua, Pakde,”kilah Jalu menghiba.
” Kalau ayahmu sudah sembuh? Apa kerjanya? Ayahmu orangnya lemah. Sakit-sakitan pula. Sekarang cari kerjaan sulit. Tapi ... baiklah. Apa perintah emakmu kemari? Beras lagi? Atau uang?” Muka Jalu merah padam oleh ucapan yang sangat menyengat itu. Namun Jalu diam. Ia mengerling ke arah tamu itu. Tubuhnya menggetar menahan diri dari amukan perasaan yang mengguncang. Sementara itu orang-orang yang sedang berbelanja di warung Pakde Danu, di beranda itu, terdiam karenanya. Mereka mendengar suara Pakde Danu begitu jelas. Mereka takut mendengar suara Pakde Danu yang setengah membentak. Tapi ingin mengerti apa yang membuat Pakde Danu membentak-bentak sekeras dan sekasar itu.
” Pakde, ayah sakit!” ujar Jalu gemetar.
” Pakde tahu, Jalu. Tapi apa keperluanmu kemari Pakde sudah maklum. Disuruh Emakmu ’kan? Mau pinjam apa lagi? Pinjaman yang dulu pun belum dikembalikan. Sekarang mau tambah lagi?”
Demi mempertahankan kepentingan ayahnya, Jalu berani menyerang ucapan Pakdenya. ” Tapi utang itu kan bisa diperhitungkan nanti, Pakde?”
” Nanti? Nanti kapan lagi? Utang emakmu banyak. Sudah numpuk. Belum diangsur. Dari mana Emakmu mendapat uang melunasinya? Semakin menumpuk, Jalu!”
Lagi-lagi wajah Jalu menjadi merah padam. Namun sambungnya lagi membela diri. ” Tapi, Pakde, ayah masih punya rumah dan pekarangan. Itu bisa diperhitungkan nanti sebagai ... ” tutur Jalu terbata-bata.
”Sebagai pelunasan utang-utang ayahmu!”
Jalu menunduk. Kepalanya langsung terasa pusing. Pandangannya nanar. Tetapi Jalu pantang menyerah. Terbayang wajah ayahnya jika Pakdenya menolak upayanya mencari pinjaman itu. Ayahnya pasti semakin lemah dan terus semakin parah keadaannya, dan ... barangkali tak tertolong lagi. Uh! Ngeri!
”Jadi,” sambung Pakde Danu, ”kau disuruh Emakmu apa? Beras atau uang?”
”Dua-duanya Pakde!” jawab Jalu tegas. Ia memberanikan diri memandang Pakde. Di luar dugaan Jalu, Pakde Danu justru tertawa lepas. Jalu lega. Tapi ia tak habis mengerti, mengapa Pakde Danu tertawa begitu bening. Begitu kuat ia tertawa sehingga kedua kelopak matanya seakan tertutup oleh pipinya yang tambun.
”Pakde menghargai kau Jalu. Kau anak baik. Kau berani memperjuamgkan kepentingan ayahmu. Bagus. Bagus Jalu!” Jalu diam saja. Ia menanti kelanjutan ucapan Pakde Danu. Lalu sambungnya lagi, ”Tapi justru ayahmulah yang kurang kusenangi, Jalu.”
”Kenapa Pakde? Bukankah ayahku adik kandung Mbokde?” jawab Jalu membela. Dalam hati ia tak rela ayahnya dicaci-maki Pakdenya.
”Ayahmu sering sakit. Itu memberatkan keluarga bukan? Seperti kamu, sekecil kamu harus mencarikan kepentingan ayahmu. Apa itu pantas? Kasihan kamu, Jalu. Seusia kamu sepantasnya bermain di sungai bersama teman-teman sepengembalaan. Bukan cari pinjaman beras”.
Walu dalam hati Jalu membenarkan ucapan Pekde Danu, tapi ia masih tetap membela ayahnya.
”Terpaksa, Pakde! Karena ayah sakit. Dan Emak menunggu ayah. Jadi, sayalah yang harus kemari,” ujarnya alon tapi mantap.
Pakde Danu meninggalkan Jalu di ruang tamu. Ia ke warung, yang terletak di beranda rumah, menemui Mbokde Danu. Orangnya gemuk. Berkulit gelap. Pendiam.
”Jalu, kau membawa kantong?” tanya Pakde Danu dari warung. Jalu berlari mendekat dan menjawab, ”Tidak. Pinjami dari sini sekalian, Pakde.”
Jalu cepat belalu dari rumah itu ketika ditangannya telah terbawa kantong berisi beras. Juga uang lima puluh ribu rupiah. Kedua kakinya begitu ringan meninggalkan tempat itu untuk secepatnya sampai ke rumah. Di sana masih ada tugas yang lebih berat lagi. Membebaskan ayah dari kemungkinan yang paling buruk, kematian! Ia bergegas pulang melewati jalan berbatu. Di benaknya terbayang wajah ayahnya di balai-balai reyot ditunggui emaknya, sedang menyeringai menahan rasa sakit. Ah, wajah yang semakin menua itu seperti memanggil-manggilnya. Lalu melintas juga bayang-bayang wajah Pakde Danu yang mencibir tanpa belas kasihan. Dalam keserderhanaan cara berpikirnya, Jalu mulai dapat melihat adanya perbedaan sikap di antara dua bersaudara. Pakde Danu yang berhati batu dan ayahnya yang terpaksa minta pinjaman uang dan beras, karena ketidak berdayaan yang menghimpit relung-relung kehidupannya. Diam-diam Jalu tak kuasa menahan diri dan perasaannya untuk tidak membenci Pakde Danu. Walau hanya dalam hati.

Si Miskin, Si Kaya, Si Pintar, dan Si Bodoh by Azis Rinaldi Fauzi

Di sebuah Pedesaan yang sangat terpencil,hidup seorang manusia yang sangat kaya raya yang suka menolong tetangganya salah satunya adalah Si miskin.Pada hari itu Si miskin ingin meminjam uang kepada Si kaya untuk melanjutkan sekolahnya dan untuk kebutuhan sehari-harinya.Si miskin pun datang ke rumah Si kaya untuk meminjam uang.Dan Si kaya berkata kepada Si miskin “kamu sekarang sedang butuh uang ya”,Si miskin menjawab dengan hati yang berdebar ”saya ingi seikhlasnya saja” Si kaya pun memberinya uang yang lumayan banyak.Akhirnya Si miskin pun dapat bersekolah kembali di sekolah dasar yang terdapat di dekat rumahnya.Di sekolah Si miskin bertemu dengan teman-teman baru nya,salah satu teman yang dekat dengan Si miskin di juluki oleh temen-temannya adalah Si pintar,dan Si bodoh.Si pintar pun bertanya kepada Si miskin ”mengapa kamu tidak memakai seragam sekolah”.Dan Si miskin berkata “saya tidak punya dan saya tidak mampu untuk membeli baju seragam untuk makan saja saya bingung uang dari mana”.Dengan rasa kasihannya Si kaya pun mengajak bermain Si miskin sehingga mereka berdua pun menjadi teman dekat.Karena Si pintar adalah anak yang pintar,Si miskin pun tidak ingin kalah pintar oleh Si pintar.Akhir nya mereka berdua selalu berdua ,mereka berdua pun sering belajar bersama,dan akhirnya Si miskin pun lama – kelamaan menjadi lebih pintar dari yang sebelumnya.Si miskin pun selalu mendapat nilai yang bagus di kelasnya.Si miskin dan Si pintar pun sama pintarnya.Dan Si bodoh iri kepada Si miskin,Si bodoh pun berkata di dalam hati nya “mengapa saya bodoh sekali..?”.Akhirnya Si miskin pun mendapat kan keinginannya yaitu bea siswa sekolah dasar sampai SMP nanti.Hatinya pun sangat bergembira karena ia tidak lagi memikirkan biaya sekolah nya lagi sebelumnya pun ia tidak menyangka.Si miskin makin terpacu untuk lebih giat belajar lagi,dan si pintar juga mendapatkan bea siswa tetapi Si miskin lah sekarang yang paling pintar di kelas nya.Si bodoh pun kembali merasa iri kepada Si pintar dan Si miskin.Si bodoh pun mempunyai pikiran yang berniat ingin menjatuh kan Si miskin dengan cara mencontek semua semua hasil jawaban soal yang dijawab oleh Si miskin.Usaha si bodoh pun tidak pernah berhasil karena ia tidak penah berpikir panjang,dan akhirnya pada waktu ulangan Si bodoh pun mencoret-coret hasil ulangan Si miskin.Setelah Si miskin kembali dari kamar mandi sekolah ia hanya mengetahui kertas hasil jawabannya sudah terdapat coret-coretan yang sangat banyak.Si miskin pun bertanya-tanya kepada teman-temannya.semua teman di kelas pun tidak ada satu pun yang mengaku.Si miskin pun mengadu kepada Pak guru.Dan pak guru langsung bertindak dan beretanya kepada semua murid-murid di kelas itu “siapa yang telah mencoret-coret hasil ulangan Si miskin”.ucap Pak guru dengan nada yang kencang dan wajah yang tampak sangat kesal.





Semua murid pun tidak ada yang mengaku .Akhirnya Pak guru pun memberi ancaman yang sangat berat kepada semua murid jika satu pun ti
dak ada yang jujur,dan setelah itu Si bodoh pun mengaku dan ia berkata “saya Pak yang melakukan semua ini”.Pak guru langsung menatap wajah Si bodoh dengan raut wajah yang terheran-heran campur dengan marah nya.Pak guru pun lansung memanggil Si bodoh ke depan kelas.Dan Si bodoh pun meminta maaf kepada Si miskin,Pak guru bertanya kepad Si bodoh.
Pak guru : mengapa kamu melakukan ini semua ?
Si bodoh : saya melakukan semua ini karena,karena…
Pak guru : karena apa,jawab dengan jujur !
Si bodoh : karena saya iri kepada Si miskin,Pak.
Pak guru : mengapa kamu iri kepada si miskin ?
Si bodoh : karena saya tidak bisa pintar seperti dia,pak.
Dan akhirnya Pak guru menasihati Si bodoh di ruang guru.Walaupun Si bodoh sudah di nasihati ,Si bodoh pun tetap tidak akan menyerah untuk menjatuhkan Si miskin lagi.Dan Si bodoh terus saja berpikir bagaimana caranya untuk menjatuhkan Si miskin lagi.Akhirnya ada pikiran yang keluar dari akal kotor nya Si bodoh “bagaimana kalau aku mengadu dombakan Si pintar dan Si miskin”.Tanpa berpikir panjang lagi ia langsung menjalani niat nya yang sangat kejam itu.Si bodoh akhirnya pun kerumah Si pintar dan ia berkata kepada Si pintar,bahwa Si miskin sudah menyebarkan keburukan dan menghina Si pintar terus-menerus.Si pintar pun marah besar kepada Si miskin,ke esokan harinyadi sekolah Si pintar berkata kepada Si miskin.
Si pintar : hey, mengapa kamu menhina di belakang ku ?
Si miskin: aku sama sekali tidak menghina sipa pun.(dengan wajah yang heran)
Si pintar : bohong kamu.
Akhirnya Si pintar dan Si miskin pun bermusuhan.Si bodoh pun merasa puas atas perbuatannya yang telah berhasil.Si pintar lama-kelamaan kemudian berteman dengan Si bodoh,setelah Si bodoh berteman dengan Si pintar.Si bodoh pun mengalami kemajuan dalam hasil nilai sehari-hari,Si bodoh memanfaatkan pertemananya dengan Si pintar.Dengan cara mencontek Si pintar terus-menerus.Si pintar pun tidak tau dengan prilaku Si bodoh,Karena prilaku Si bodoh di depan Si pintar sangat amat baik,semua ucapan Si bodoh pun selalu di percaya oleh Si pintar.Tetapi simiskin sangat merasa sedih melihat Si pintar dan Si bodoh berteman baik dan Si miskin pun di jauhi oleh teman-temannya di sekolah.Si miskin pun berpikir untuk belajar sendiri agar nilai nya tidak menurun dan kalah dengan nilai Si pintar.Setiap malam setelah Si miskin membantu ibunya mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.Si miskin selalu berdoa dan belajar dengan tekun di atas meja belajar yang sudah terlihat rapuh di dekat kamar tidur semua keluarganya yang terlihat sangat sempit da kumuh.







Si miskin terlihat sangat serius dan tekun belajar untuk berusaha lebih pintar lagi,setelah belajar pun ia tidak langsung tidur.Ia berdoa dan meratapi nasibnya dan nasib keluarganya yang sangat kesusahan,ia berharap ada orang yang membantu keluarganya.Ke esokan harinya di sekolah Si miskin selalu sendirian karena sebelumnya hanya Si pintar lah yang ingin berteman dengan Si miskin,tetapi Si pintar sekarang sedang bermusuhan dengan Si miskin.Si miskin pun lama-kelamaan bertanya-tanya di dalam hati nya “mengapa saya di jauhi oleh Si pintar dan siapakah yang sudah memfitnah saya ?”.Si miskin pun mencari tahu apa yang sudah terjadi pada diri Si pintar dan Si bodoh.Si bodoh dan Si pintar pun selalu bersama-sama kemana pun mereka pergi dan Si miskin juga selalu mengikuti nya dari kejauhan untuk menyelidiki apa yang telah terjadi pada mereka berdua.Di suatu tempat Si bodoh berkata kepada Si pintar.
Si pintar : aduh sekarang cuacanya panas sekali ya ?
Si bodoh : iya,aku ingin ngomong sesuatu sama kamu.
Si pintar : ya sudah kamu ngomong saja kepada ku !
Si bodoh : Si miskin berkata kepada semua orang bahwa Si pintar sombong sekali
Si pintar : iya sekarang perasaan aku sangat kecewa sekali dengan Si miskin.
Si miskin pun dari kejauhan mendengar perkataan Si bodoh.”Oh sungguh kejam sekali Si bodoh” ucap Si miskin,sore itu Si miskin langsung mendatangi rumah Si pintar,dan Si miskin berkata kepada Si pintar.
Si miskin : aku minta maaf sekali atas kejadian semua ini.
Si pintar : minta maaf (ia berkata dengan wajah yang sombong).
Si miskin : iya,sebenarnya yang di ucapkan oleh Sib oh itu semuanya bohong.
Si pintar : aku sangat tidak percaya oleh ucapan mu semua ini.
Si miskin : ya sudah bila kamu memang tidak percaya,kamu boleh ikut aku.
Si pintar : ikut kemana ?
Si miskin : ikut aku untuk menyelidiki semua ini.
Si pintar : oh,iya oke kalau begitu.
Akhirnya Si pintar dan Si miskin melihat perilaku Si bodoh yang sedang memberi tahu kan kepada teman-temannya untuk menjauh kan Si miskin karena Si miskin selalu mengemis uang kepada orang yang lewat di perempatan lampu merah dekat rumah nya yang sangat terlihat kumuh.Dan Si pintar pun yang sedang melihat Si bodoh berkata seperti itu langsung bertanya kepada Si miskin.
Si pintar : apakah kamu sering mengemis di perapatan dekat rumah mu ?
Si miskin : jujur aku sama sekali belum pernah mengemis dimana pun.
Si pintar pun terlihat seperti orang yang sedang bingung,dan setelah itu Si pintar Dan Si miskin pun melihat perbuatan Si bodoh lagi yang selalu merendahkan diri Si miskin.








Akhirnya Si pintar pun percaya dengan Si pintar,dan Si pintar pun meminta maaf kepada Si miskin.Si miskin sekarang sedang merasa sangat gembira karena akhirnya Si pintar pun percaya kepada nya,dan Si miskin pun dengan senang hati memaafkan kesalahan Si pintar.Akhirnya mereka berdua menjadi teman dekat seperti sebelumnya.Dengan wajah yang masih bingung Si bodoh pun bertanya kepada Si pintar.
Si bodoh : hey,kamu kenapa tidak bermain dengan ku lagi ?
Si pintar : aku sekarang tidak akan bermain dengan orang yang jahat.
Si bodoh : kamu tahu dari mana tentang semua ini ?
Si pintar : tadi aku melihat kamu sedang mengadu domba.
Dengan wajah yang sangat merasa bersalah Si bodoh pun meminta maaf kepada Si pintar,Si pintar pun segan untuk memaafkan Si bodoh.Setelah semuanya terungkap Si bodoh pun sering berdiam diri dan bersedih memikirkan ulah nya yang telah terjadi,ia sangat merasa menyesal telah melakukan semua ini.Si miskin pun selalu belajar bersama dengan Si pintar,Si bodoh melihat mereka berdua lalu Si bodoh merasa iri hati dengan Si miskin karena Si miskin telah berteman kembali dengan Si pintar.Si bodoh pun selalu mengikuti dari kejauhan kemana langkah mereka berdua pergi.sebenarnya di dalam hatinya Sibodoh pun ingin sekali meminta maaf kepada Si pintar dan Si miskin,tetapi ia sangat merasakan ketakutan yang mendalam.Si pintar dan Si miskin pun memergoki Si bodoh yang sedang melihat kecerian nya.Si pintar dan Si miskin langsung mendatangi Si bodoh dan bertanya.
Si pintar : kenapa kamu melihat dan mengikuti kita berdua terus ?
Si miskin: iya memang nya kamu kenapa ?
Si bodoh : aku ingin minta maaf dan ingin berteman dengan kalian.
Si pintar : kita bisa memaafkan kamu tapi ada syarat yang kamu penuhi.
Si miskin: iya itulah bentuk balasan dari kita berdua.
Si bodoh : memang apa syarat nya ?
Si pintar : kamu harus menunjukan nilai yang bagus dengan jujur.
Si miskin: dan tidak boleh mencontek siapa pun
Si bodoh : oke, semua permintaannya akan aku penuhi
Tidak lama kemudian Si bodoh pun pulang kerumah nya dan ia langsung mengambil buku pelajaran dan belajar di dalam kamar tidurnya.Si bodoh terlihat sangat sungguh-sungguh belajar nya.Ke esokan hari nya Si bodoh pun datang ke sekolah lebih pagi dari hari-hari biasanya,sebelum bell masuk sekolah berbunyi Si bodoh menghabiskan waktunya dengan belajar.Teman-teman nya pun bertanya dan berkata.
Temannya: tumben kamu belajar ?
Si bodoh : iya,aku ingin berubahdan ingin orang yang pintar.
Temannya:oh,iya bagus kalau begitu.







Si bodoh pun melanjutkan belajarnya.Setelah bell masuk kelas berbunyi,Si bodoh langsung mengeluarkan buku pelajaran pertama.Pak guru pun bertanya tentang soal-soal yang lumayan susah di jawab dan Si bodoh pun langsung menjawab nya dan selalu benar di jawab nya.Se minggu kemudian Si bodoh dan teman-temannya pun ulangan harian.Si bodoh menjawab semua soal-soal ulangan nya dengan wajah yang ceria rupanya hasil ulangan yang telah di kerjakan oleh Si bodoh mendapatkan nilai seratus.Pak guru pun terkejut dan berkata.
Pak guru: kamu sekarang nilainya meningkat semua ya.
Si bodoh : iya Pak sekarang saya ingin berusaha agar mendapat nilai yang bagus.
Pak guru: oh,iya bagus kalau begitu teruskan usahanya ya nak.
Si bodoh : iya Pak terima kasih.
Si bodoh pun dengan hati yang bergembira pun bangga dengan hasil-hasilyang ia telah peroleh.Si bodoh pun segera memamerkan hasil ulangan nya kepada Si pintar dan Si miskin agar ia dapat berteman dengan mereka berdua.Ke betulan Si pintar sedang melewati depan meja Si bodoh,Si bodoh langsung memanggil Si pintar dan langsung melihatkan hasil nilai yang telah ia dapatkan.
Si bodoh ; ini semua nilai aku.
Si pintar : oh iya ya,nilai kamu sekarang telah bagus.
Si bodoh ; iya ini semua hasil kerja keras aku sendiri.
Si miskin pun datang dan Si pintar langsung menunjukan nilai Si bodoh kepada Si miskin.Mereka berdua langsung memaafkan Si bodoh dan langsung bergabung dengan mereka berdua.Mereka pun selalu bersama – sama.Dan Si bodoh pun berjanji tidak akan mengecewakan Si pintar dan Si miskin lagi.Akhirnya Si pintar,Si miskin,dan Si bodoh selalu tolong-menolong satu sama lain dalam ke sulitan apa pun.Lalu Si pintar pun mengabarkan berita kepada Si bodoh,dan Si miskin bahwa Si pintar sebentar lagi akan pindah tempat tinggal di sekitar luar kota.Si miskin dan Si bodoh setelah mendengar berita dari Si pintar pun langsung terkejut dan tidak menyangka.Mereka bertiga pun langsung memanfaatkan waktu yang tersisa yang tinggal sebentar itu.Akhirnya hari keberangkatan Si pintar pun dating,Si miskin dan Si bodoh pun mengantar kan Si pintar sampai stasiun kereta api.Di sana mereka bertiga sangat sedih sekali karena pertemanannya harus terpisah jauh,di saat itu pula Si miskin dan Si bodoh memberikan kado kenang-kenangan kepada Si pintar,begitu juga Si pintar.Si pintar pun pergi meninggalkan mereka berdua.Mereka pun sedih dan selalu bermain dan belajar hanya berdua saja.Akhirnya mereka berdua berteman baik sampai mereka dewasa.


Selesai

Awal dari Tiga Kerajaan by Ariyo Dewabrata

Awal dari Tiga Kerajaan

Cina, tahun 211. Masa dimana para penguasa bersaing untuk kekuasaan total akan segera pudar, dan digantikan dengan segitiga kekuatan. Tahun 208, Jendral Cao Cao, yang telah menguasai Dataran Cina Utara memutuskan untuk menginvasi Kerajaan Wu di selatan, tapi mengalami kekalahan di Pertempuran Tebing Merah. Setahun kemudian, Zhou Yu, ahli strategi Wu yang berperan besar dalam kemenangan atas Cao Cao, meninggal dalam usia muda. Sementara itu, Liu Bei mengambil alih provinsi Jing dari kerabat jauhnya, Liu Qi. Dari daerah Liang, Ma Cao mempersiapkan pasukannya untuk berperang melawan Cao Cao.
“Jadi bagaimana, Kongming?” Tanya Liu Bei pada ahli strateginya Zhuge Liang. Liu Bei dan Zhuge Liang sedang membicarakan langkah mereka berikutnya. Beberapa tahun lalu, Liu Bei berhasil mempertahankan wilayahnya Xin Ye beberapa kali, namun Cao Cao sendiri datang menyerang dan Liu Bei yang kalah jumlah pun harus kabur ke Xiang Yang. Ia kemudian membentuk persekutuan dengan pemimpin Wu, Sun Quan karena ia tahu, Cao Cao pasti akan mengincar Wu. Pertempuran di Tebing Merah pun dimenangkan Wu. Cao Cao cepat-cepat kabur setelah kapalnya terbakar, dan Guan Yu, adik angkat Liu Bei, hampir saja menangkap Cao Cao, tetapi Guan Yu merasa ia masih ada hutang dengan Cao Cao, maka ia pun melepaskannnya. Sekarang, Liu Bei menguasai Jing, dan menurut rencana Zhuge Liang, ia diharuskan mengambil provinsi Yi.

“Sudah kubilang pada pertemuan kita yang pertama, engkau akan mengambil Jing dan Yi, kemudian membangun fondasi yang kuat. Setelah Yi beres, tuan akan mendapatkan dukungan langit dari Cao Cao di utara, dan mengeruk keuntungan bumi dari Sun Quan di selatan” jawabnya. Zhuge Liang adalah murid dari Sima Hui alias “Cermin Air”. Gurunya mengatakan bahwa ia bisa disamakan dengan ahli-ahli perang di dinasti-dinasti sebelumnya. Liu Bei yang mendengar itu langsung segera menghampiri rumahnya di Long Zhong, namun ia tidak ada. Ketiga kalinya Liu Bei mendatangi rumahnya, barulah ia bertemu Zhuge Liang dan akhirnya berhasil mengajaknya bergabung.
“Ah, berat rasanya bagiku untuk menyerang Yi” kata Liu Bei. Ia pernah mengatakan ia adalah keturunan dari salah satu pendiri Dinasti Han, dengan begitu ia masih kerabat jauh gubernur Yi, Liu Zhang.
“Bagaimana pun tuan, kita telah merencanakan ini bertahun-tahun”.
“Yah, kau ada benarnya juga”.
--
Ma Chao sedang terduduk di perkemahannya. Ia akan memimpin serangan terhadap Cao Cao di Gerbang Tong. Sudah dua tahun dia menginginkan balas dendam. Ayahnya, Ma Teng, dipanggil Cao Cao ke ibukota dan kemudian jadi sandera. Ketika ia mendengar bahwa Ma Chao dan Han Sui telah menentangnya dan angkat senjata, Cao Cao segera mengeksekusi Ma Teng. Mendengar kabar bahwa ayahnya dibunuh, Ma Chao langsung marah besar. Ia pun segera mengumpulkan para penguasa dari daerah barat untuk membantu melawan Cao Cao.
“Tuan Ma Chao, apa kau sudah siap?” Tanya Pang De, jendral kavaleri Liang yang dikenal sangat kuat.
“Ya, Pang De. Aku sudah siap”. Ma Chao pun segera naik ke kudanya dan segera meninggalkan kemahnya, memimpin serangan.
--
Zhao Yun terduduk di dalam Benteng Gui Yang. Ia diberikan tugas oleh Liu Bei untuk menjaga kota Gui Yang, karena memang Zhao Yun yang menangkap kota itu. Zhao Yun adalah jendral yang bergabung dengan Liu Bei setelah Cao Cao menguasai utara China. Saat Liu Bei melakukan usaha kaburnya di Chang Ban, ia menyelamatkan Liu Chan, bayi Liu Bei yang nyaris tertangkap.
“Sebentar lagi kita akan menyerang Yi. Kurasa untuk sampai ke Cheng Du, harus mengalahkan Yan Yan dulu.”
--
Ma Chao berhasil mengambil Gerbang Tong. Cao Cao mengirim pasukan untuk mengambilnya dari Ma Chao, tapi kalah.
“Ah, itu dia! Ambil kepala Cao Cao!” seru Ma Chao begitu. Dia begitu yakin bahwa orangg yang didepannya adalah Cao Cao. Meskipun ia belum melihatnya, tapi ia yakin dari jubah yang dikenakannya.
“Sial!”
Ia pun terjatuh. Ma Chao medongkan tombaknya, hanya untuk mengetahui bahwa ia bukan Cao Cao.
‘Tuan, sepertinya Cao Cao menggunakan orang ini mengecoh kita.”
Mendengar itu, Ma Chao pun marah. Ia segera menusuk orang tadi.
“Aku rasa kita harus menunggu lebih lama lagi.”
--
3 tahun kemudian.
Zhang Fei berhasil mengalahkan Yan Yan. Sekarang tinggal Cheng Du, yang merupakan pusat pemerintahan Liu Zhang. Liu Bei bersiap-siap untuk melakukan pengepungan pada Benteng Cheng Du, tapi ia sedikit ragu-ragu.
“Kakak!”, teriak Zhang Fei.
“Ada apa? Bagaimana dengan tugasmu?”
“Selesai, tapi yang terpenting, aku membawa tamu istimewa.”
“Istimewa?”
Kemudian beberapa orang memasuki perkemahan Liu Bei. Ia tidak begitu familiar dengan tampang mereka, kemudian ia menanya pemimpin mereka.
“Siapa gerangan engkau ini?”, tanyanya.
“Namaku Ma Chao, mantan penguasa bagian barat laut!”
Semua orang terkejut mendengar itu. Liu Bei merasa heran, karena berbulan-bulan yang lalu, Ma Chao masih mampu melawan Cao Cao, meskipun koalisi Guanxi bubar dan masing-masing penguasa kembali ke urusannya sendiri.
Zhuge Liang, si “Naga Tidur”, pun berkata pada dirinya sendiri.
“Dengan tidak adanya Ma Chao di Xi Liang, pasti Cao Cao sudah menatap Han Zhong.”
“Sepertinya, kita harus melepaskan Han Zhong untuk sementara”, kata Liu Bei.
--
Setelah sekian lama menahan pengepungan, Liu Zhang pun akhirnya menyerah.
“Dengan ini, aku pasti akan jadi bahan tertawaan generasi berikutnya”, kata Liu Zhang.
Liu Bei, bagaimana pun menegurnya. “Kau tidak perlu takut tentang itu. Mengabdilah padaku, dan mengembalikan kejayaan dinasti ini seperti dimasa leluhur kita.”
Dengan ini, Liu Bei telah membangun pondasi yang kuat, dan dengan demikian, ia pun mengklaim dirinya sebagai adipati Kerajaan Shu, yang beribukota di Cheng Du,
--
Zhang Liao, Li Dian dan Yue Jin, bersiap untuk meninggalkan Benteng He Fei. Mereka ditugaskan untuk menjaga wilayah itu dari Wu.
Cao Cao baru saja behasil mempeluas wilayahnya setelah mengalahkan Zhang Lu dan mengambil Han Zhong, daerah yang terkenal strategis. Di saat yang bersamaan, Sun Quan melihat ada kesempatan untuk mengambil wilayahnya.
“Zhang Liao. Sepertinya mush telah datang”, kata Yue Jin.
“Kalau begitu, kita sudah boleh membuka suratnya.”
Surat yang dimaksud adalah surat dari Cao Cao. Surat itu ditujukan untuk mereka bertiga, supaya mereka tahu harus apa saat Sun Quan datang. Mereka pun membukanya, dan tertulis “ kalau Sun Quan sudah datang, Zhang Liao dan Li Dian akan melawan pasukan musuh, Yue Jin akan tinggal dan menjaga kota, dan tidak bertemu dengan musuh”. Mereka bertiga langsung kebingungan.
Malamnya, Li Dian mengumpulkan sekitar 800 prajurit.
--
“Aku, Zhang Liao, akan memporak-porandakan Wu!”
Zhang Liao benar-benar menunjukan kekuatannya. Dengan pasukan yang sedikit, ia berhasil mengacak-acak barisan pasukan Wu. Kini sampai pada titik dimana ia bisa melawan Sun Quan.
“Sun Quan! Turun dan lawan aku!”, teriaknya.
Sun Quan tak berani bergerak, tapi begitu melihat pasukan Zhang Liao yang sedikit, ia langsung memberi perintah untuk mengepungnya. Zhang Liao tetap bisa kabur dengan beberapa orang, tapi ada beberapa yang tertinggal
“Jendral Zhang Liao telah mengabaikan kita!”
Mendengar itu, Zhang Liao langsung menyerang lagi dan berhasil menyelamatkan prajurit yang terperangkap. Tidak ada lagi yang berani melawannya.
--
Sun Quan kemudian mengepung He Fei untuk beberapa hari tapi tetap saja tidak berhasil menaklukan He Fei, dan pasukannya juga mulai sakit.
“Hah, sepertinya kita harus mundur”, kata Sun Quan.
--
Liu Bei mengadakan rapat di dalam Benteng Cheng Du. Ia meminta pendapat para pengikutnya.
“Kita telah membagi Jing dengan Wu. Sekarang aku yakin kita akan beralih ke Han Zhong, yang baru saja ditaklukan oleh Cao Cao. Apa ada yang punya usul lain?”
“Ada, tuan”, sahut Zhao Yun. “Suku Nanman di selatan akan membuat masalah jika dibiarkan. Kusarankan untuk membereskan mereka dulu.”
“Mereka urusan Wu”, jawab Liu Bei. “Kita sebaiknya jangan ikut campur.”
“Kita baru saja menang, kakak. Jangan buru-buru. Paling cepat juga setahun”, kata Guan Yu.
“Pokoknya, kita fokus ke Wei. Ma Chao, karena kau dekat dengan orang-orang Qiang mungkin suatu saat aku akan menyuruhmu untuk mengajak mereka bergabung.”
“Baik, aku mengerti!”
Liu Bei hendak membubarkan rapat, tapi ada seseorang yang memotong.
“Anu…”
“Ada apa, Wei Yan?”
Ia pun menjawab, “Chneg Du sangat kaya sumber daya alam, kita harus memanfaatkannya secara maksimal.”
“Aku sudah tahu itu. Kalau tidak, aku tidak akan mengirim tiga petugas untuk menggali tambang emas.”
“Oh, ternyata tuan sudah tahu.”
Rapat pun selesai. Para petugas Shu keluar dari ruang rapat.
“Jendral!”
“Ada apa Zhao Yun?” Tanya Guan Yu.
“Dengan begini jadi ada tiga kekuatan, Shu, Wu, dan Wei. Aku tidak yakin kita bisa menang.”
“Zhuge Liang yang mengusulkan begitu, dan untuk sementara ini berjalan lancar.”
“Yah, sepertinya begitu. Tetapi, apakah Kaisar Xian akan baik-baik saja?”
“Dia sudah jadi boneka Cao Cao. Ia pasti baik-baik saja, tapi negeri ini tetap kacau.”
“Karena itu kita harus bertahan.”
Mereka pun berpisah. Zhao Yun segera naik ke kudanya untuk kembali ke perbatasan Shu dan Wu di selatan.

Tetangga yang Menyeramkan by Muhammad Anggi Abdullah Siregay

Dennis curiga akan tetangganya yang baru pindah itu. Rumah kosong yang ada didepan rumahnya itu sekarang sudah terisi. Menurut Dennis, gerak-gerik tetangganya itu sangatlah mencurigakan. Contohnya, pada suatu malam ia pernah melihat bayangan alien dari jendela tetangganya itu. “Apakah menurutmu tetangga baru itu tidak menyeramkan? Maksudku, lihatlah rumahnya, penuh dengan barang aneh!”, kata dennis kepada adiknya. “Aneh?aneh bagaimana?” , Tanya sherryl bingung. Dennis pun melanjutkan, “Apakah kau belum pernah melihat ruang tamunya? Aku pernah melihat seekor serigala di ruang tamunya.” Sherryl pun tertawa terbahak-bahak “Kau ini terlalu banyak menonton film horror, Dennis.”. Esok harinya, Dennis menceritakan tetangganya itu kepada temannya, Boris. “kau tahu kan tetangga baruku yang tinggal di depan rumahku itu?” , Tanya Dennis penasaran.

“ Hoo aku tahu, pak Deni kan?”
“Ya, betul. Dia sangat mencurigakan.”
“Hah? mencurigakan?”
“Apakah mungkin dia seorang buronan polisi?”
“hahaha kau ini, Dennis. Tak mungkin ia seorang buronan, tampang mukanya saja begitu membosankan hahaha.”
“Tapi, aku pernah melihat seperti sosok alien di jendela dapurnya. Walaupun hanya bayangan, tapi aku yakin alien itu asli.”
“Hmm.. Baiklah, bagaimana kalau kita selidiki?”
“Oke, bisakah kau menginap dirumahku?”
“tentu.”

Sepulang sekolah, Dennis pun langsung duduk di sofa dekat jendela dan memerhatikan rumah tetangganya itu. Ketika dia sedang melihat jendela rumah pak Deni, Pak Deni pun langsung melihat Dennis dengan tatapan muka yang sangar. Jantung Dennis berdebar-debar dengan sangat kencang. Ia tak pernah merasa setegang ini dalam hidupnya. Ketika dennis sedang bersembunyi, telepon rumahnya berdering.

“Halo, dengan siapa?” kata Dennis dengan suara seperti sedang ketakutan.
“Yaa haloo.. Ini saya, Pak Deni.”
Ketika mendengar pernyataan itu, urat deni rasanya seperti putus.
“Y-y-yyaa ada a-apaa?”
“Betul, ini dengan Dennis?”
“ya, ini aku.”
“Saya merasa diawasi denganmu, atau itu hanya perasaanku saja?”
“Eehhmm.. Sebenrnya memang aku kebetulan tadi sedang melihat jendela bapak.”
“Oh begitu?tetapi saya merasa sedang diawasi ketat denganmu.”
“Oh kalau begitu maaf.”
“Baiklah, semoga tak terulang lagi.”

Setelah menutup telepon, Dennis langsung berbaring di kamarnya. “Aapakah dia akan membunuhku?”, pikir Dennis. Tak lama kemudian terdengar ketukan di pintu depan. Dennis kaget bukan main. Ia takut bahwa Pak Deni datang untuk membunuhnya. Ketukan itu semakin keras. Dennis pun berteriak dari depan pintu “Siapa itu?”. Suara dari luar pintu terdengar “Aku akan membunuhmu, Dennis”. Dengan tanpa ragu Dennis membuka pintu, Ia mengenal suara itu, suara Boris. “lucu sekali, Boris” ejek Dennis. “Hey, aku hanya bercanda kan?”, balas Boris. “Yaya masuklah.”.

Ketika makan malam, Dennis dan Boris berencana untuk menyusup ke rumah Pak Deni. Kebetulan, Pak Deni pun sedang ada acara jadi, rumahnya kosong. Jam di kamar Dennis menunjukkan pukul 20.00. “Ayo berangkat Boris. Sebelum terlalu malam.”

Dennis dan Boris masuk rumah Pak Deni lewat jendela yang tak pernah ditutup oleh Pak Deni itu. Mereka cukup kecil untuk memasukinya. Di dalam ruang tamunya mereka melihat berbagai jenis mahluk, dipajang. YA, DIPAJANG! “Mungkin Pak Deni membunuh mahluk-mahluk ini lalu memajangnya.” kata Boris. Di salah satu monster-monster itu, terdapat alien yang dilihat Dennis. Mereka berdua takut setengah mati. “Dennis, bagaimana kalo kita pulang saja?aku mulai mengantuk.” kata Boris takut, dan berbohong. “Hey! Kau kan sudah setuju, jangan cengeng dong!” tegur Dennis.

Mereka beranjak pergi ke kamar Pak Deni. Mereka terkejut melihat kamar itu. Banyak sekali poster-poster film horror yang ditempel. Poster-poster yang sangat menakutkan!

“Aku masih mau hidup, Dennis! Ayo pulang sekarang!”
“tunggu sebentar! Aku belum selesai melihat rumah ini!
“kalau begitu bolehkah aku pulang?”
“kau sudah berjanji untuk menemaniku, Boris!”
“huufff, baiklah.”

Tiba-tiba, terdengar suara pintu membuka. “DENNIS! KAU HARUS BERTANGGUNG JAWAB BILA AKU MATI!”, jerit Boris ketakutan. “sssttt. Kau akan membuat kita terbunuh! Sembuyi!”

Pak Deni memasuki kamarnya. “Hey, aku tahu kalian ada disini! Keluarlah” kata Pak Deni mantap. “Aku menyerah tapi tolong jangan laporkan kami atau membunuh kami”, teriak Boris “BODOH!”, Dennis berkata dalam hati.

Setelah kejadian itupun, Dennis dan Boris pulang. Ibu Dennis mendapat telepon dari Pak Deni yang mengatakan bahwa anak mereka telah menyusup kedalam rumah Pak Deni. Ibu Dennis kecewa mendengar anaknya bertingkah seperti itu.

“Untuk apa kau menyusup ke dalam rumah pak Deni?” bentak ibu Dennis.
“Aku hanya ingin memastikan apakah dia memang aneh, atau hanya pikiranku saja. Aku berhasil membuktikannya, aku dan Boris melihat banyak monster-monster dipajang.”
“Monster? Jangan bercanda, Dennis!”
“Aku serius bu, Boris saja melihatnya.”
“Aku tak peduli. Tidurlah, sudah malam.”

Dennis pun menurut saja dan langsung tidur. “bodoh!kalau saja kau tidak mengatakan ‘menyerah’ kepada Pak Deni, kita tidak akan begini!” bentak Dennis kepada Boris. “Maaf, aku terlalu tegang untuk tetap bersembunyi.”. “Kau ini! Yasudahlah, kau tidur saja”. Tengah malam pun sudah lewat. Dennis masih tetap membuka matanya, sedangkan Boris sudah tertidur pulas. Ia sedang memikirkan bagaimana cara untuk meyakinkan ibunya tentang monster-monster itu. Bila iya melapor polisi pun, para polisi tak akan mempercayainya bahkan mungkin Dennis akan dikira gila!

Pagi telah menyambut mereka berdua. Burung berkicauan, ayam berkokok. Dennis semalaman tidak tidur dan sekarang matanya merah dan berkantung. “Kau kenapa, Dennis?”, Tanya ibu. “Aku tidak kenapa-kenapa. Hanya sedikit lelah saja.”, jawab Dennis. “Oh begitu, yasudah, makanlah sarapanmu.” balas ibu.

Tak lama kemudian, Boris datang dengan muka acak-acakan. “hooaaaaaamm… sarapan sudah siap ya?” Tanya Boris. “Ya, makanlah. Hey Boris, bagaimana kalo siang ini kita pergi ke bermai bola?” Tanya Dennis. “Baiklah. Wow aku lapar sekali! Kau kenapa? Kau kelihatan seperti orang kurang tidur.”, Boris heran. “Tak apa-apa kok. Aku baikbaik saja.”

Selesai sarapan, Dennis dan Boris mengajak teman-temannya untuk bermain bola. Sementara ibu sedang menerima telepon dari Pak Deni. Mendengar pernyataan Pak Deni, ibu tertawa terbahak-bahak. Ibu tak sabar untuk menyapaikan kabar ini kepada Dennis.

Sepulang bermain bola, Ibu berkata, “Dennis, Boris, duduklah, ibu ingin bicara dengan kalian.” Mereka pun menurut saja dan duduk. “Ini tentang Pak Deni.”

“Hah? Pak Deni? Ada apa dengannya?”
“Ibu setuju denganmu, Pak Deni menyembunyikan sesuatu, Dennis.”
“HA! Kubilang juga apa! Dan kau mempercayainya.”
“Ada apa dengan Pak Deni?”, Tanya Boris penasaran.
“HAHAHAHAHA”, ibu tertawa terbahak-bahak. “Sebenarnya dia tak aneh, ibu hanya bercanda dengan kalian haha”
“bercanda? Bercanda bagaimana?”, Tanya Dennis kesal.
“monster-monster yang kalian lihat itu, itu adalah koleksi pajangannya ketika ia masih muda dulu. Dia dulu adalah seorang sutradara, monster-monster dan poster-poster yang kalian lihat adalah kenangan-kenangan karirnya bersutradara.”

Mendengar ibu berkata begitu, Dennis merasa lega. Seperti semua beban yang dipikulnya hilang. Dennis pun kapok menyusupi rumha orang. Ia tahu ia bersalah. Dennis meminta maaf kepada semua orang ibu, Boris, dan pastinya Pak Deni. Mulai sekarang, Dennis berjanji tak akan menuduh orang tanpa bukti.

Battle of The Al-Asad by Muhammad Alif Magallatta

Evermann Chavez menatap langit di atasnya. Kepulan debu mengiringi helikopter Chinook mendarat di atas kota yang sangat sepi itu. Chavez melihat keadaan di sekitarnya, terdapat beberapa orang-orang yang bersembunyi di dalam rumah mereka. Kemudian Ia dan beberapa serdadu lainnya menuruni helikopter dan membuat kubu-kubu pertahanan di sekitar mereka, untuk berjaga-jaga jika tentara pemberontak datang untuk menyerang.

Kepalanya berdenyut. Metabolisme tubuhnya sedang beradaptasi dengan lingkungan yang sama sekali tidak ramah. Hawa menggigit di tengah malam, panas seperti oven di siang hari. Sebentar matanya menantang cahaya matahari yang garang memanggang. Chavez membuka helmnya, Sinar matahari memantul dari rambut pirangnya itu.

Chavez menelan ludah. Berlarian dari pojok ke pojok. Memantau jika ada musuh di dekat mereka. Ia memegang M-16 nya dengan tangannya yang basah karena berkeringat, di lihatnya beberapa orang bersenjata yang ternyata pasukan pemberontak. Chavez memanggil Preston Marlow, rekan dalam tim pemantaunya, Huxley McSalty, penjinak bom, dan David Andrew, dokter perang sekaligus Machine gunner di dalam timnya. Sebagai kapten dalam timnya itu ia menyusun strategi untuk menjatuhkan beberapa pemberontak yang di lihatnya itu. “Huxley, kau ke gedung itu, David, kau ikut dengannya, sementara aku dan Marlow akan menyerang mereka dari belakang”Bisik Chavez. Dor...Dor... “Itu sinyal dari kapten ! ! ! Tembak ! ! !”Seru David. Huxley melempar granat ke tengah-tengah para pasukan pemberontak. Dhuaaaar.... Mereka mati terpental..

“Gyaaa.... ! ! !” Tiba-tiba David menampakan dirinya dan Memegang senapan mesin M249 Saw dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang cerutu. David menembakan senapannya seperti orang gila, dan merokok dalam waktu yang bersamaan. Beberapa musuh jatuh dan mati terkena pelurunya. Dan semua pemberontak mati dalam waktu yang singkat.

”Damn I’m good” kata David dengan bangga.
”David kau gila!” Seru Preston.
”Dimana Huxley?”Chavez bertanya.
”Aku disini! Aku melihat beberapa Tank dan APC datang kesini!”kata Huxley.
”seberapa banyak, dan apa tipe mereka?”
“tiga tank T-72 dan dua BTR-60 serta puluhan serdadu lainnya”
“Oke, pertama kita harus memanggil serangan udara dan Extraxion segera ! ! mana Radio?”tanya Chavez.
“Ini pak” kata Huxley sambil memberikan radio kepada Chavez.
“Hotel two-niner ini Eagle-1 do you copy ?”
“ya kami mendengar kalian” terdengar jawaban dari seberang
”kami butuh serangan udara, di point B-2 arah utara tiga tank, dua APC dan puluhan serdadu dan Evakuasi segera di point F-4”
”Kami akan mengirim dua A-10 Thunderbolt di point B-2 dan Helikopter Black Hawk di point F-4, kalian punya waktu 5 menit untuk pergi ke Extraktion Point F-4”
”Ok, Eagle-one copy and out”
“Kita punya waktu 5 menit untuk ke tempat penjemputan, ayo tim. Maju ! ! !”

Mereka maju ke tempat evakuasi, ”cepat, cepat, tiga menit lagi sebelum penjemputan ! !”Perintah Chavez. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul para pemberontak.”Ya Tuhan, tembak mereka!”.
”Awas! RPG!” Seru Marlow
Syuuut... BOOM...!!! Bom meluluh-lantakan rumah-rumah penduduk di sekitarnya, sementara waktu mereka hanya dua menit untuk pergi dari sana.
”kita hanya punya waktu dua menit!”
Tiba-tiba terdengar suara pesawat yang terdengar seperti menembakan sesuatu.
”Apa itu?”tanya Huxley
”Itu serangan udara kita, menunduk!”Seru Chavez
GdeBOOM...GdeBOOM...
Rocket-rocket mengenai sasarannya, besi dan baja yang hancur dari tank-tank itu berterbangan, para pemberontak terlempar kesana-kemari.
”Hotel two-niner ini eagle-one serangan udara mengenai sasaran”
“diterima, kalian punya waktu 30 detik lagi, helicopter masih menunggu”
”baiklah, Eagle-one keluar”
”kita masih punya tiga puluh detik lagi, ayo maju!” Seru Chavez.
Mereka terus maju sampai di gerbang lapangan sepak bola yang sangat luas. Lapangan itu ditutupi oleh dinding yang tinggi ditutupi oleh kawat-kawat yang sangat tajam.

”Ini dia, Point F-4.”
”Aku tidak mendengar apapun”kata David mengira-ngira.
”kita harus membuka pintunya dengan Breach mine, bom pintunya Huxley.”Perintah Chavez.
”ya pak.”

Huxley memasang Breach mine, dan menunggu aba-aba dari komandannya untuk meledakan bom tersebut. BOOM...
”Masuk, cepat.”Perintah Chavez

Tetapi betapa kagetnya mereka ketika melihat puluhan pemberontak di depannya. Bukan helikopter Black Hawk yang sedang menunggu. Para pemberontak mulai menembak, Chavez dan timnya mundur perlahan sambil menembakan senjata mereka.

”Ya Tuhan, Tembak mereka”
”Hey, dimana helikopternya?”Tanya Preston sambil menembak.
”Aku sendiri tidak tau, Huxley, Radio!”Perintah Chavez sambil melemparkan granat.
”Ini dia pak”
”Hotel two-niner ini Eagle-one kau mendengar kami?”Tanya Chavez di radio.
“Ya ka… mendeng…. Mu”
“Kami tidak bias mendengarmu dengan jelas dari sini”
”Ya kam.. tau.. ad... markas pengg...gu ra...o di poi..t G-3, ka..i but..h kau untu.. menghan....kannya seka..... ... ... ... ... ... .... ... ”
”Halo? Hotel two-niner kau mendengarnya?”Tanya Chavez dengan keras.
”Sial, kita kehilangan sinyal.”
”Terus bagaimana komandan?”tanya Preston.
”Ada fasilitas pengganggu radio di point G-3”
“Itu satu mil dari sini”David mendengus capek.
“Ya, kita harus menghancurkannya agar bisa memanggil helikopter kembali, ayo maju!”
Mereka semua mundur seraya menembakan senapan mereka, perlahan tapi pasti, para pemberontak kehilangan jejak mereka.
“Mereka tidak menemukan kita”bisik David.
“Itu bagus, lebih baik menghemat amunisi kita. Kita tidak tahu apa yang habis ini menimpa kita.”
Chavez maju dengan sangat waspada, Preston benar, mereka tidak tahu apa yang akan menimpa mereka selanjutnya. Chavez dan timnya sampai di sebuah gang yang cukup besar, dan mereka melihat beberapa orang bersembunyi di pojok gedung dan pilar-pilar di sebuah gedung besar.
“Kalian melihat mereka?” tanya Chavez.
“Ya kapten, beberapa dari mereka ada di pilar-pilar di gedung besar itu.”jawab Huxley.
“Apa yang akan kita lakukan kapten?”
”David, tembakan beberapa peluru, biarkan mereka tahu kalau kita tahu mereka sembunyi disana”
”Apa?”tanya David.
”Sudah tembakan saja!”
Rttrrtttrrttt......Rttttrrrtrrttt......
Beberapa saat kemudian, Chavez mengenal seragam yang dipakai orang-orang yang bersembunyi itu, dan senjata mereka adalah senjata standar yang di gunakan marinir amerika.
”Kapten, sepertinya aku mengenal mereka”kata Preston mengira-ngira.
”Ya, aku tahu, sepertinya mereka adalah Batalion 117 The sleeping marmut” jawab Chavez.
Tiba-tiba mereka menampakan diri, mereka hanya berjumlah dua orang, tidak lebih.
”Marinir Amerika Serikat lewat”seru orang-orang yang menampakan diri tersebut.
”Ya Tuhan, tahan tembakan semuanya.”Seru Chavez, ia tidak mau mereka menembakan senjata mereka pada teman mereka sendiri.
Mereka semua berkumpul.
”Angkatan bersenjata apakah kalian?”tanya Chavez.
”Kami dari Batalion Marinir 117 The Sleeping Marmut, kami diberi perintah untuk memantau keadaan di Point G-4.”jawab salah satu dari mereka.
”Dimana yang lain?”
”Mereka sedang di point G-3 siap-siap untuk menyerang markas pengganggu radio di sana”jawab mereka.
”Berapa jumlah kalian, apakah kalian mempunyai tank-tank atau sebagainya?”tanya Chavez lagi.
”kami hanya berjumlah delapan orang, kita tidak mempunyai tank, mereka dipakai Jendral Stratson di Kremlin.”
”Kalau begitu kita harus maju sekarang, maju jalan!”Perintah Chavez.
Dengan bertambahnya dua orang tersebut mereka jadi berjumlah enam orang. Chavez menyeka keringatnya yang mengucur sangat keras. Preston meneguk sebotol air yang kedua dari delapan air minum yang mereka bawa. David mengecek amunisinya yang menipis. Sedangkan Huxley dan dua orang lainnya mengobrol di sepanjang perjalanan mereka.
”Aku capek komandan”keluh Preston.
”Aku juga.” Timpal Huxley.
43wlau begitu Kita beristirahat disini saja, Russel, Andy, tolong cek daereah sekitar sini apa ada pemberontak atau teman kita yang tersesat”Perintah Chavez.
”Siap pak.” jawab mereka ber-dua yang ternyata bernama Russel dan Andy.
Chavez, Huxley, Preston, dan David mengeluarkan perbekalan mereka dan membaginya sama rata dengan Russel dan Andy.
”kemana mereka?”tanya Huxley.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki.
”kapten, kami melihat gudang persenjataan pemberontak seratus meter dari sini.”kata mereka.
”Arah mana?”
”barat dari sini Kapten.”jawab mereka.
”Kalau begitu kita istirahat dulu di sini, jika tidak, kita mungkin akan kehilangan stamina dan mati dengan konyol”
Akhirnya mereka beristirahat di gubug tersebut, gubug itu memang kecil tetapi cukup nyaman untuk istirahat. Chavez berpikir, Amerika mungkin akan menang, tetapi mungkin ia pulang tinggal nama. Sudah belasan prajurit Amerika tewas, Chavez bertanya-tanya siapakah korban selanjutnya? Chavez lebih memilih diam agar tidak terpancing oleh pertanyaan itu.
Malam larut.
Dalam kelelahan dan kepenatan yang amat sangat, mereka memejamkan mata, mencoba bermimpi untuk pulang kembali ke rumah mereka, Amerika.
Evermann Chavez terbangun tiba-tiba.
Peluh mengucur membasahi dahi. Sempatkah ia terlelap tadi? Malam ini bom-bom dari pesawat B-2 Spirit di Basrah, dentuman yang luar biasa keras itu bisa terdengar dari sini. Tetapi di tengah-tengah suara bom itu, ada suara asing lain.. Suara-suara asing itu bergema. Menggaung. Membentur-bentur dinding hatinya. Ia tidak memahaminya, apa makna ucapan itu? Ia tidak pernah mendengar nyanyian semacam itu di Amerika. Nyanyian? Mungkin semacam itu. Nyanyian yang diserukan dari atas-atas puncak gedung, dari rumah-rumah yang runtuh, dari rumah sakit, dan dari rumah-rumah ibadah.
Nick sering mendengar nyanyian itu saat jalan-jalan ke Arab. Namun bila malam seperti ini, saat bom demi bom jatuh bertubi-tubi, nyanyian itu semakin gencar terdengar. Bukan seruan orang yang ketakutan, melainkan seperti seruan yang dinyanyikan para pahlawan untuk membangkitkan semangat ketika berangkat ke medan perang. Suara laki-laki itu begitu jernih dan syahdu. Menentramkan hatinya walau ia tidak tahu apa artinya.
”Serangaaan...!!”
Chavez terlempar dari tidur pulasnya. Erangan senjata mencabik subuh hari yang lenggang. Tembakan terdengar sana-sini, dan ia terbangun dalam ketakutan. Semua cerita indah dan kepahlawanan ala Amerika, menguap sudah.
Chavez menggenggam erat M16 hingga telapak tangannya licin berkeringat. Chavez memimpin di depan. Terdengar suara tembakan beberapa kali. Bangunan-bangunan kokoh berbentuk kubus berjajar diam. Tak tampak sosok yang menembakan senapannya. Tentara Iraq atau pemberontakpun Mereka harus siap dan menggandakan kewaspadaan jika tidak ingin nyawa melayang.
Trrrrrt....Trrrrrt.....Trrrrt...Syuuuut... BOOM...dor-dor-dor...
Siapa yang memulai atau mengakhiri tembakan tidak diketahui dengan pasti. Preston beberapa kali melepaskan tembakan ke arah gedung. Sedangkan Huxley, Preston, Russel, dan Andy memfokuskan tembakannya di jalan-jalan.. Chavez dan teman-temannya harus bertahan. Chavez mengarahkan senjata dan melepaskan tembakan ke arah atap gedung sebelah timur. Matanya sedikit silau membelakangi tubuh si penembak. Insting Chavez bereaksi, ia harus cepat sepersekian detik sambil menggulingkan tubuh ke samping atau akan menjadi sasaran tembak.
”Aaarggghhhh ...!!!”
”Kena kau ...!” Chavez terengah-engah. Ia membasahi bibir. Membunuh seseorang tidak seperti yang tampak di film-film. Rasanya begitu menakutkan dan membuatnya mual luar biasa. Tidak sama sekali gampang seperti yang tampak pada film-film. Tangannya mengokang M-16nya, lalu bergerak maju.
Syuuut... Jrep...
kakinya terserempet peluru, ia berteriak menyumpah-nyumpah untuk melawan rasa perih bercampur panas yang muncul dari luka, menjalar ke seluruh tubuh. Bersamaan itu, ketakutan tumbuh di jantungnya. Sekarang ia benar-benar berpikir, Akankah ia pulang dengan selamat, atau pulang tinggal nama? Akankah semua baik-baik saja, lalu ia dapat kembali ke America dengan sehat dan selamat? Sebelum ia melakukan misi ini ia mendengar berita terakhir, pasukan Israel melakukan perlawanan sengit di Basrah, Safwan, dan Najaf. Bahkan, jika pasukan koalisi berani menginjakan kaki dijajahan Israel itu, diramalkan ibarat orang yang menggali kuburannya sendiri.

”Kapten terluka, lindungi aku!!!”perintah Preston.
Preston lari ke pojok
”Kapten, kau tidak apa-apa?”tanya Preston.
”Ya aku...”Pembicaraan Chavez dipotong oleh Preston.
”Ya Tuhan, kakimu terkena tembakan, kita harus...”Chavez kembali memotong pembicaraan Preston.
“Dengar, dengarkan aku prajurit, kita harus segera ke point G-3 sekarang!! Kau mengerti Preston?”Kata Chavez tegas.
”Ya pak”Jawab Preston.
”Oke, seseorang harus mengangkatku”
”Biarkan aku melakukannya”jawab Russel.
Mereka maju dengan cepat ke point G-3, Chavez di gendong secara bergantian sampai di daerah G-3.
Chavez menatap ke langit.
Jika pasukan koalisi berani menginjakan kaki dijajahan Israel itu, diramalkan ibarat orang yang menggali kuburannya sendiri. Ancaman itu tak sepenuhnya salah. Para pemberontak yang terkenal kejam atau Pasukan Israel yang menjajah Irak selama bertahun-tahun tentu lebih mengenal wilayahnya sendiri. Terutama pasukan Pemberontak, walau Amerika mengedepankan teknologi canggih seperti, Pesawat pembom B-2 Spirit, Tomahawk missile, kendaraan lapis baja M1A2 Abrams, seratus pesawat tempur, ratusan helikopter Black Hawk, didukung dengan 160.000 tentara Amerika, dan 25.000 tentara koalisi. Strategi gerilya pasukan Pemberontak tak bisa di remehkan. Terbukti, di tahun 2003 sewaktu Amerika menyerang Irak, janji George Walker Bush untuk dapat menyelesaikan perang secepat mungkin tak dapat direalisasikan. Perang ternyata meminta tambahan dana 72 milyar dollar lagi. Berarti perang ini bukan sekedar permainan. Berarti, musuh bukan pihak yang bisa di remehkan. George W. Bush menuduh Irak memproduksi senjata kimia dan biologi karenanya harus mematuhi resolusi 1441 PBB, yang mengatakan bahwa Irak harus diinspeksi. Bukankah Hans Blix menyatakan bahwa Saddam Husein sudah memberikan jawaban kooperatif mengenai resolusi PBB? Tetap saja, Irak tetap digempur. Chavez pun mengangkat bahu. Right or wrong, America is still my country. Sudah diketahui dengan pasti, bahwa Bush adalah konglomerat minyak. Tujuan menggempur Irak dengan alasan menggulingkan seorang Diktaktor adalah alasan yang terlalu dibuat-buat. Begitu muliakah hati seorang Bush? Meski demikan, Chavez, dan jutaan warga Amerika lainnya tetap melakukan apa yang Presiden mereka komandokan. Setelah Israel menyerang Lebanon pada tahun 2008, Israel meminta bantuan dana dari Amerika Serikat, dengan alasan untuk membeli peralatan perang yang baru. Amerika tidak tahu kalau Israel mau menggunakan uangnya untuk menyerang Amerika itu sendiri.. Beberapa bulan yang lalu, Desember 2010 Israel menyerang salah satu pangkalan militer Amerika AREA-13 di New Orleans yang merupakan tempat peluncuran misil kedua utama setelah AREA-51. Dengan misi mencuri persenjataan dan menghancurkan pangkalan militer tersebut. Tetapi upaya mereka gagal, mereka hanya maju dan hancur. Mereka pikir pangkalan militer itu tidak dilengkapi oleh pertahanan yang ketat.
Waktunya istirahat, luka Chavez diperban, ia terus menahan rasa sakitnya yang amat sangat. Ia ingat sewaktu misinya di Safwan beberapa waktu lalu, ia melihat seorang bapak tua menggendong anak kecil yang mungkin anaknya. Latar belakang kepulan asap hitam membubung tinggi ke udara, menandakan daerah-daerah terbakar hancur dengan bom. Bapak tua itu menangis sedih, air matanya jatuh ke tubuh anak itu. Chavez hampir muntah ketika melihat usus anak itu keluar dan luka bakar yang sangat amat sangat parah. Ia membayangkan bagaimana rasanya tertimpa rasa sakit seperti itu, membayangkan jika perutnya hancur berkeping-keping.
”Istirahat selesai, ayo maju!” perintah Chavez.
Akhirnya mereka sampai di daerah G-3, Sungai Eufrat. Ia menyaksikan Beratus-ratus orang berlarian ketakutan. Ia tidak dapat mengingkari betapa sedih dan takut hatinya mendengar tangisan ketakutan wanita dan anak-anak. Menyaksikan mereka berdesakan antre di tepi sungai Eufrat untuk menyelamatkan diri.
”Itu mereka!”kata Preston sambil menunjuk kearah enam orang yang sedang menembaki sebuah gedung.
Mereka segera menghampiri keenam orang tersebut. Mereka menjadi berjumlah duabelas orang..
”Seraaang...!!”
Chavez diturunkan dari gendongan David, berlindung di balik pagar semen yang lumayan pendek tapi kuat untuk mempertahankan diri dari segala serangan. Sementara yang lain bersembunyi di balik tembok, di pojok-pojok, dan di balik mobil. Mereka adalah pasukan terakhir yang ada di Bagdad, mereka harus menghancurkan gedung itu untuk memanggil helikopter dan pergi dari situ, sebelum invasi besar Israel datang.
Dor, dor, dor.... Trrrrrt...Trrrrrt.....Trrrrrt..... Syuuuut… BOOM… Ratata.. Ratatatatatatata……. Clek… Dhuuuar…
Daerah Perang itu ribut dengan tembakan, dari pihak Amerika maupun Pemberontak. Mereka menembak secara bergantian. Beberapa wanita dan anak-anak menjadi sasaran tembak Pemberontak. Melihat itu Chavez semakin geram, di ambilnya granat, dan dilemparkannya ke jendela tempat Pemberontak itu bersembunyi. Dhuaaar... mereka bermentalan keluar jendela, dan salah satu pemberontak tergantung di jendela tersebut.
”Aman lima orang ikut denganku, enam orang tinggal disini!” Perintah Preston sebagai pengganti Chavez yang sedang terluka.
Akhirnya Chavez, Huxley dan empat orang lainnya, tinggal di luar gedung sementara Preston masuk dengan lima orang lainnya.
”Keluaaaaar...!!! bomnya akan diledakan!!”Seru Preston tiba-tiba.
Ia keluar bersama lima tentara, salah satunya Russel yang di gendong David karena terluka di bagian lututnya.
”Bomnya akan diledakan ayo maju dari sini!”
Mereka pergi sejauh yang mereka bisa, berlari meninggalkan gedung yang dipasangi bom itu
BOOOM.......
Bangunan itu runtuh hancur, runtuhan bangunan terpental kemana-mana. Huxley segera memanggil Jemputan mereka.
”Apakah bisa? Apakah kita tersambung?” tanya Chavez.
”Sebentar, halo, Hotel two-niner kau mendengar kami?” tanya Huxley sambil meneropong keadaan.
”Ya kami mendengarmu dengan jelas” terdengar jawaban dari seberang.
”Yes, terima kasih Tuhan, kami butuh evakuasi di point G-3 sekarang! Satu Chinook cukup!”
”Oke, Chinook dalam perjalanan, akan tiba disana dalam empat menit.”
”Eagle one keluar” jawab Huxley dengan puas.
”Helikopter akan tiba dalam empat menit.”Huxley menatap Chavez.
”Bagus, buat pertahanan sementara di sekitar sini, Israel akan datang...”Perintah Chavez dengan nada datar.
Beberapa saat kemudian terdengar suara baling-baling helikopter, disusul oleh terlihatnya pasukan Israel dan dua tank menuju ke arah mereka, mereka sadar itu bukan pertanda baik.
”Itu helikopternya!”Seru mereka.
”Dan itu mereka” kata Andy sambil menunjuk ke arah Pasukan Israel.
Helikopter mendarat di belakang mereka. Kru helikopter segera turun dan mengamankan area sekitar helikopter.
”Ayo masuk!! Cepat!”
Syuuuut... Jrep...
Untuk ke-dua kalinya Chavez tertembak. Ia tertembak di lengan kirinya.
”Ayo Chavez! Cepat!” Kata Preston sambil membantu Chavez berdiri.
Chavez berdiri dengan susah payah. Keringatnya mengucur dengan deras. Tangannya basah oleh darah. Ia naik ke helikopter dan segera duduk dengan tenang. Sementara helikopter siap maju.
”Sudah siap semuanya? Kalau begitu ayo jalan, aku John Volenteer, dan aku adalah pilot kalian untuk hari ini, pasang seat belt kalian, kita akan melaju dengan kencang.”Pilot mengoceh panjang lebar.
Chavez tidak mendengarkan pilot, kedua lukanya segera di obati. Ia berpikir tentang pantai luas Connecticut, bermain dan bersantai di pasirnya yang empuk.
Ia bermimpi tentang kembali ke rumahnya.... Amerika...
“Amerika, aku pulang....”